Maya susah-payah menahan air matanya.
V sendiri sepertinya telah tenggelam dalam kisah tersebut. Matanya menerawang, pikirannya tidak lagi berada di tempat ini. Diam-diam Maya mengeluarkan sehelai sapu tangan dan menyeka bulu matanya yang mulai basah.
"Astaga, Maya, kau menangis?"
"Tidak," sahut Maya seraya menyembunyikan sapu tangannya. Sial, padahal dia sudah bergerak sedemikian rupa agar tidak kentara. Rupanya mustahil mengelabui pandangan seorang vampir.
"Mari kita sudahi saja cerita hari ini," kata V seraya berdiri.
"Tunggu, tunggu," sergah Maya. Dia menyambar lengan kemeja V, membuat pemuda itu terhempas kembali ke sofa. "Ups, maaf."
V tergelak. "Bukan masalah. Sepertinya aku menjadi lemah karena kurang mendapat pasokan darah belakangan ini."
"Sungguh?" tanya Maya, khawatir. "Apa tidak ada lagi hewan buas yang berkeliaran?"
"Begitulah," sahut V. "Sepertinya mereka sudah memasuki masa hibernasi. Aku harus lebih kreatif sekarang."
"Yah, setidaknya masih ada aku."
"Apa?"
"Kalau musim dingin tiba dan sama sekali tidak ada hewan lagi berkeliaran di hutan, masih ada aku di sini."
V memandangi Maya beberapa saat. Perlahan-lahan, sorot kosong di matanya berganti dengan kengerian yang amat sangat.
"Apa kau sudah gila?"
Maya sedikit gentar akibat hardikan V, tetapi dia balas menatapnya keras kepala. "Memangnya kenapa?"
"Kau pikir apa yang barusan kau tawarkan?"
"...darahku?"
V tampak seolah nyaris meledak akibat gusar. Seandainya dia masih manusia, wajahnya pasti telah merah padam. "Apa kau sebegitu inginnya mati di tanganku?"
Maya memutar bola matanya. "Jangan berlebihan begitu, V. Aku tidak akan mati hanya karena memberimu sedikit darah."
"Bukan itu masalahnya," sahut V kasar. "Setetes darahmu pun cukup untuk membuatku gila. Kau lihat sendiri bagaimana reaksiku saat kakimu terluka. Seandainya kau membiarkan aku mencecap darahmu, sedikit saja..." V bergidik. "Kau pikir aku dapat berhenti?"
Maya terperangah memandangi V, terkejut namun masih belum paham mengapa dia semarah itu.
"Baiklah, baiklah..." kata Maya. Intonasinya menenangkan. "Kalau begitu bisa saja aku menyimpannya di sebuah gelas dan memberikannya padamu. Jadi kau tidak perlu melihatku berdarah."
V mendengus. "Lalu siapa yang akan menghentikanku memburumu setelahnya?"
Kali ini Maya kehabisan akal. V menghembuskan napas. Tangannya menepuk kepala Maya ringan.
"Jangan pernah menawarkan hal seperti itu lagi, Maya. Aku sungguh, sungguh, tidak ingin melukaimu."
Maya mengangguk. "Maaf..."
Senyum lembut V kembali. "Tidak apa-apa. Sekarang sebaiknya kau beristirahat. Belakangan ini kau pasti kurang tidur karena sibuk mengobrol denganku."
Maya menyeringai. "Tidak juga. Sekarang aku mengikuti gaya hidupmu. Tidur sepanjang hari dan terjaga sepanjang malam. Yah, meskipun tidak sepenuhnya begitu. Aku biasa terbangun saat matahari berada di puncak tertinggi angkasa."
V terkekeh. "Kurasa aku tidak dapat menegurmu soal itu karena gaya hidupku pun buruk sekali, bukan?"
"Yup," sahut Maya. "Oh, tunggu dulu. Masih lama hingga matahari terbit. Aku belum mendengar cerita soal pertemuanmu dengan Yoosung dan Jumin."

KAMU SEDANG MEMBACA
Lelaki yang Merindukan Matahari
FanfictionIni adalah kisah tentang seorang gadis yang terbuang, terkucilkan, tersisih, dan tersingkirkan seumur hidupnya, bahkan setelah itu pun mereka masih meminta kepadanya, satu-satunya yang dimilikinya, nyawanya. Kisah tentang seorang pemuda, yang telah...