Sebuah obeng terlepas dari genggaman Saeyoung, menimbulkan bunyi dentang keras yang menggema di bengkel kecil itu. Pemuda itu tidak menyadarinya. Bahkan, untuk saat ini dia sama sekali lupa akan apa yang tengah dia kerjakan. Tangannya membeku di udara, kedua matanya membelalak begitu lebar, menatap seorang pria berambut kecokelatan sebahu.
Dengan susah payah, Saeyoung berhasil menemukan suaranya kembali.
"Kau bilang...apa?"
Pria yang menjadi lawan bicaranya tampak jengkel. Dia memutar bola matanya seraya bersandar ke ambang pintu yang nyaris reyot.
"Dia sudah sadar," katanya lambat-lambat, seolah mengajar seorang imbesil membaca puisi. "Adikmu, Saeran, sudah terbangun dari koma."
Apabila tadi Saeyoung seolah mengalami kerusakan di sirkuit otaknya sehingga dia berhenti berfungsi, tiba-tiba saja sekarang dia bergerak begitu cepat. Meninggalkan semua yang ada di meja kerjanya-bahkan nyaris membuat meja itu sendiri terguling-Saeyoung menghambur dari kursi, melewati si pria yang untungnya memiliki reflek baik untuk menghindar, lalu berlari secepat yang dia bisa menuju kamar utama di rumah itu.
Sesampainya di ambang pintu, Saeyoung berhenti. Jantungnya berpacu, dan ini bukan akibat berlari. Saeyoung yakin, tanpa dia berlari seperti barusan pun, jantungnya tetap akan berpacu hebat. Keringat dingin mengaliri tengkuknya saat rasa cemas menyisip dalam hatinya.
Akan seperti apa reaksinya jika dia melihatku?
Bagaimana jika dia mengamuk lagi, seperti waktu lalu? Bukankah itu yang membuatnya terbaring koma sedemikian lama?
Bagaimana jika aku membuatnya koma lagi?
Lebih parah lagi, bagaimana jika kali ini aku membunuhnya?
Pada akhirnya, Saeyoung menarik kembali tangannya yang nyaris menyentuh gagang pintu. Seraya mengembuskan napas berat, dia merosot di tembok, membenamkan wajahnya di lengan. Ya Tuhan, adiknya terbaring hanya beberapa meter darinya. Kali ini dia terjaga, setelah beberapa tahun terbaring koma. Saeyoung kini dapat menatap ke dalam matanya, mendengar suaranya, bahkan mungkin melihat senyumnya lagi.
Tapi akankah itu terjadi?
Maukah Saeran tersenyum baginya?
Atau berbicara padanya?
Atau bahkan sekedar melihatnya?
Betapa pedih rasanya mengetahui bagaimana satu-satunya orang yang dia anggap sebagai keluarga, satu-satunya orang yang dia kasihi sepenuh hatinya, berada begitu dekat namun tak terjangkau.
Terdengar derap langkah disusul sengal napas seseorang. Pria berwajah masam tadi rupanya berlari menyusul Saeyoung dari bengkel kerjanya. Saeyoung bahkan tidak perlu mengangkat kepala untuk mengetahui bahwa itu dia.
"Apa yang kau lakukan di sini?"
Meski kepayahan, intonasi pria itu masih terdengar sarkastis.
"Vanderwood." Gumaman Saeyoung tidak terdengar jelas akibat teredam lengannya. Mau tidak mau (sembari memutar bola matanya, lagi), Vanderwood duduk di sebelah pemuda itu agar dapat mendengarnya dengan lebih baik. "Aku tidak berani masuk ke dalam."
Raut wajah Vanderwood tampak seperti dipaksa menjilat buah lemon.
"Apa-apaan itu? Bukankah biasanya kau menghabiskan harimu di dalam sana? Memegangi tangannya, bercakap-cakap dengannya walaupun kau tahu dia tidak mendengar, bahkan tertidur di sisinya. Daripada melakukan itu, jauh lebih baik jika kau mempergunakan waktumu untuk menyelesaikan pekerjaanmu yang menumpuk, kau tahu?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Lelaki yang Merindukan Matahari
FanfictionIni adalah kisah tentang seorang gadis yang terbuang, terkucilkan, tersisih, dan tersingkirkan seumur hidupnya, bahkan setelah itu pun mereka masih meminta kepadanya, satu-satunya yang dimilikinya, nyawanya. Kisah tentang seorang pemuda, yang telah...