Bab 5 - Misteri dalam Luka

115 14 4
                                    

Maya tidak pernah merasa sedamai ini.

Hidupnya berubah seratus delapan puluh derajat semenjak menempati mansion di dalam hutan ini. Rupanya pilihannya tepat. Setelah sekian lama, akhirnya ada atap yang menaungi dirinya lagi. Dia tidak perlu menggigil saat hawa dingin menggigit. Kulitnya tidak lagi melepuh saat matahari bersinar terik. Dia tidak perlu repot-repot mencari sepetak tempat berteduh ketika hujan turun. Untuk itu saja, dia sangat bersyukur.

Bertahan hidup di dalam hutan pun ternyata tidak sesulit itu. Di siang hari, Maya dapat mengumpulkan buah-buahan dan beberapa tumbuhan lain yang dapat dimakan, lalu mengolahnya di rumah. Suatu kali dia menemukan sebuah sungai dan dapat membawa pulang beberapa ekor ikan.

Tidak ada orang lain di sini, yang berarti dia tidak perlu memasang senyum palsu atau memusingkan bagaimana pandangan mereka akan dirinya. Memang setahu Maya, pemuda berambut biru itu masih ada di sana, namun nyaris tidak ada tanda-tanda akan kehadirannya. Sejak malam itu, Maya belum pernah bertemu dengannya lagi. Meskipun demikian, beberapa kali Maya mendapati sebungkus daging tergeletak di kaki tangga. Pemuda itu masih rutin memberinya daging. Sebagai gantinya, Maya juga meletakkan sebagian hasil perburuannya—ikan, buah-buahan, dan sayuran—di kaki tangga. Namun, hingga hari berganti pemuda itu tidak menyentuh pemberian Maya.

***

Maya tergeragap bangun saat mendengar suara berdebum.

Astaga, apa itu? Dari suaranya, pasti benda berat yang jatuh. Jelas bukan tikus. Otaknya yang masih setengah pulas tersendat berputar. Lemarinya masih berdiri tegak. Apa mungkin rak buku di ruang keluarga? Tunggu, tapi suaranya seperti berasal dari lantai atas. Seraut wajah berkelebat di benaknya. Jangan-jangan...pemuda itu?

Maya segera menyambar lampu minyak di sisi tempat tidurnya dan melesat ke lantai atas. Saat itu masih pagi-pagi buta. Fajar baru saja menyingsing, kabut menggantung di hutan, memerangkap hawa dingin yang menusuk tulang. Namun kaki Maya tak beralas, mantel kamarnya masih menggantung di belakang pintu. Persetan dengan itu, saat ini mungkin pemuda itu tengah terluka. Saat menginjak anak tangga terakhir, barulah Maya memperlambat langkahnya.

Sebuah koridor panjang menyambutnya. Terdapat pintu-pintu di sisi kanan dan kiri lorong, sepertinya mengarah ke kamar-kamar seperti di lantai bawah. Hanya saja, di sini gelap gulita. Banyak sekali barang berserakan—sebuah kursi yang keempat kakinya telah patah, meja besar yang entah bagaimana terbalik dan tergeletak melintang di tengah-tengah koridor, serta puluhan buku rusak yang bertebaran. Maya menahan napas, dan mulai melangkah dengan seribu kali lebih berhati-hati. Dia sungguh tak ingin menginjak pecahan kaca atau serpihan kayu dengan kaki telanjang.

Semakin jauh berjalan, semakin Maya menyesali keputusannya naik kemari. Kertas dinding tercabik di sana-sini, begitu pula lukisan-lukisan berbingkai yang digantung di sepanjang koridor. Yang mengerikan adalah, cabikan-cabikan itu tampak disengaja. Empat goresan memanjang, seolah seseorang menggunakan kukunya untuk merusak rumah tersebut. Maya bahkan dapat melihat jejak darah kering di beberapa bekas goresan.

Lalu, semakin banyak bekas darah di sana.

Jejak di karpet, noda di dinding, hingga tetesan-tetesan yang belum sepenuhnya kering. Maya nyaris berbalik dan turun ketika melihat bekas darah yang membentuk telapak tangan manusia, namun tubuhnya membeku saat mendengar rintihan seseorang. Pemuda itu, tidak salah lagi. Tidak pernah Maya mendengar suara lain semerdu ini, bahkan saat dia tengah merintih sekalipun. Oh baiklah, dia jelas tidak dapat pergi sebelum memastikan pemuda itu baik-baik saja.

Suaranya berasal dari ruangan di sebelah kanan Maya. Tanpa pikir panjang, dia segera menghambur masuk ke sana. Ruangan di baliknya jauh lebih rapi, dan kosong, daripada koridor yang baru saja dilaluinya. Hanya terdapat sebuah sofa berlengan dan meja kecil di sana. Mejanya telah tergeletak di lantai, dan...pemuda berambut biru itu tengah bersimpuh di sebelahnya. Dia nampak menderita. Punggungnya tegang. Napasnya terengah-engah. Dengan tangan gemetar, dia mengikatkan sehelai kain—atau, perban?—ke belakang kepalanya.

Lelaki yang Merindukan MatahariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang