Bab 10 - Pergi

82 11 0
                                    

V tidak kembali.

Hari itu, setelah Maya membersihkan lukanya di kamar mandi, dia mendapati segulung perban di meja ruang keluarga. Terdapat secarik kertas di bawah gulungan perban tersebut. Isinya singkat.

Maafkan aku, Maya.

Hanya itu. Tidak ada kata-kata pamit atau ucapan selamat tinggal. Pada hari-hari pertama, diam-diam Maya bersyukur akan ketidakhadiran V. Didorong rasa takut dan bingung, dia mengunci kamarnya, lalu mendinginkan kepala di sana. Dia sungguh tidak tahu harus bersikap seperti apa jika bertemu pemuda itu.

Hari-hari berikutnya, Maya mulai khawatir. Batang hidung V sama sekali tidak terlihat. Dia telah menyisir seluruh area rumah tersebut, tetapi nihil. Ke mana pemuda itu pergi? Apa dia sedang berjalan-jalan di luar? Tapi matahari tengah bersinar dengan terik. Ya Tuhan, dia tidak berbuat nekat, kan?

Satu minggu lagi berlalu. Kini Maya berusaha menerima kenyataan bahwa V telah pergi dari hidupnya. Mungkin memang ini yang terbaik. Ternyata selama ini, tanpa dia sadari, hidupnya selalu berada di ujung tanduk. Sekarang bahaya itu telah berlalu. Itu lebih baik, bukan?

Minggu berikutnya, Maya sadar usahanya gagal. Hidupnya tidak menjadi lebih baik tanpa V. Malah, dia kesepian setengah mati. Hutan ini terlalu hening. Rumah ini terlalu luas untuknya. Lucu, padahal sudah bertahun-tahun dia sendirian. Maya kira dia sudah terbiasa dengan itu. Tetapi tidak, hari-harinya bersama V justru membuat dia melupakan tahun-tahun kesendiriannya.

Oleh karena itu, pada suatu malam saat Maya sudah tidak tahan lagi, dia menghambur keluar dari rumah tersebut. Bulan purnama tengah bersinar, cantik sekali. Sayangnya, suasana hati Maya sedang tidak cukup baik untuk menikmati pemandangan tersebut. Dia mendongak ke arah rembulan dan menjerit sekeras-kerasnya.

"V! KEMBALI KE SINI KAU, LAKI-LAKI KURANG AJAR!"

Sekelompok burung beterbangan, terkejut mendengar jeritan Maya, tetapi gadis itu tak mengindahkannya.

"KELAKUANMU ITU SUNGGUH TIDAK SOPAN! LIHAT SAJA, AKU TIDAK AKAN MEMAAFKANMU! TIDAK SAMPAI AKU MEMBERIMU PELAJARAN!"

Pada titik ini, entah mengapa Maya justru merasa geli. Dia mendongak dan meraung ke arah rembulan seperti manusia serigala, yang menurut mitos adalah musuh bebuyutan V. Jika dia memang manusia serigala, wajar bukan dia mengamuk pada pemuda itu?

"KAU DENGAR ITU, V? AKU AKAN MEMBERIMU PELAJARAN! AKU AKAN MENGEJARMU HINGGA KE UJUNG DUNIA LALU MENENDANG BOKONGMU!"

"Astaga, Maya."

Maya melompat saat sebuah suara menyahutinya. "Kau berkoar-koar bahwa aku ini kurang ajar, tapi harusnya kau tahu, tidak pantas seorang gadis baik-baik sepertimu menyebut-nyebut 'bokong' di tengah hutan. Dengan lantang pula."

V muncul dari balik bayang-bayang hutan, nampak geli. Dia masih mengenakan sehelai kemeja putih tipis seperti yang dikenakannya sebelum menghilang. Malam itu hawa dingin menggigit, tetapi dia tidak nampak terganggu. Padahal pemuda itu telah berkelana di hutan selama berhari-hari, namun penampilannya tetap tak bercela—tidak ada sehelai pun rambut mencuat dari tatanannya, tidak ada setitik pun noda mengotori pakaiannya.

Mungkin Maya sudah gila, karena tiba-tiba saja muncul dorongan kuat dalam dirinya untuk menangis. Memalukan sekali. Mati-matian Maya menahan air matanya.

"Dari mana saja kau?" Maya merutuki suaranya yang bergetar.

"Secara teknis, sebetulnya aku tidak ke mana-mana. Aku masih berkeliaran di sekitar sini, berjaga-jaga seandainya ada hewan liar menerobos masuk ke rumah."

"Omong-kosong macam apa itu? Selama ini tidak pernah ada hewan liar yang—" V menatap Maya penuh arti. "Oh. Jadi selama ini, kau..."

V tersenyum. "Menurutmu, dari mana daging-daging yang kuberikan kepadamu itu berasal?"

Maya menganga. "Astaga, jadi kau menghabisi hewan-hewan itu lalu memakan mereka?"

V meringis. "Tidak semua hewan, tentu saja. Aku tidak akan tega melukai kelinci, tupai, atau hewan-hewan mungil lainnya. Namun binatang-binatang buas yang berbahaya...yah, mau tidak mau harus kubereskan, bukan? Lagipula, kau yang memakan hewan-hewan itu. Aku hanya meminum darahnya."

Ah, itu sebabnya daging-daging pemberian V selalu tampak kering. Tetapi ada satu hal yang lebih mengganggu pikiran Maya. "Jadi...kau memberiku daging..."

"Beruang," sahut V mantap. "Yang terakhir itu daging beruang. Lalu sebelum ini, kalau tidak salah babi hutan. Uh, Maya? Kau baik-baik saja? Kau kelihatan pucat."

Maya memang merasa perutnya seperti diaduk-aduk. "Aku memakan daging beruang... Selama ini aku hidup melarat, ketika akhirnya aku dapat makan daging...itu daging beruang.... Ahaha...ha..."

V tampak khawatir sekarang, tetapi dia tidak beranjak selangkah pun dari tempatnya berdiri, sekitar sepuluh meter dari Maya. Separuh wajahnya masih terhalang bayang dedaunan. Dia membeokan tawa kering Maya.

"Seperti biasa, reaksimu selalu menarik, Maya," katanya hati-hati. "Tetapi, tidakkah seharusnya kau mengkhawatirkan hal lain saat ini?"

Mengikuti kebiasaan V, Maya menelengkan kepalanya. "Memangnya aku harus khawatir soal apa?"

"Soal ancaman yang jauh lebih besar yang sedang berdiri di hadapanmu sekarang."

Saat mengatakan itu, angin malam bertiup, meniup dahan pohon di sekitar mereka sedemikian rupa sehingga bayangnya kembali menutupi wajah V. Maya memicingkan mata, berusaha melihat ekspresi pemuda itu, namun gagal. Dia menghela napas panjang.

"Aku tidak pernah menganggapmu sebagai ancaman, V."

"Itu karena kau tidak tahu..."

"Tidak juga," kata Maya. "Bahkan setelah aku tahu pun, pandanganku akan dirimu tidak berubah. Yah, mungkin sedikit, pada awalnya. "

"Maya, aku ini—"

"Seorang vampir. Aku tahu."

Pemuda itu terdiam sejenak. "Kau tahu bagaimana aku bertahan hidup, bukan?"

"Dengan meminum darah," sahut Maya tenang.

"Darah manusia," tandas V. "Aku meminum darah manusia, Maya. Aku ini monster. Tidak terhitung berapa orang yang telah aku lukai, bahkan...yang tewas di tanganku."

"Tidak—"

"Dengar, Maya," potong V.Matanya menatap Maya nanar. "Kau memiliki sangat banyak pertanyaan tentangdiriku, bukan? Izinkan aku menjawab semuanya sekarang."


Post-chapter notes:

Pengakuan di dalam hutan, sedikit-banyak mengingatkan kita akan adegan dalam film Twilight, bukan? 

Lelaki yang Merindukan MatahariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang