Bab 7 - Teman

106 12 0
                                    

"Wah, aku nyaris tidak mengenali tempat ini."

Maya hampir terpeleset saat melihat V. Pemuda itu sepertinya telah berganti pakaian (meski Maya tidak yakin pemuda itu memakai apa sebelumnya—di atas sana gelap sekali, demi Tuhan) menjadi sehelai kemeja putih longgar dan celana berwarna khaki. Kancing-kancing atasnya dibiarkan terbuka, memperlihatkan kulit mulus seputih susu. Sungguh membuat iri. Rambut biru mudanya masih meneteskan air. Namun yang membuat Maya menganga adalah kedua matanya.

Perbannya yang berlumur darah telah dilepaskan. Alih-alih melihat dua buah lubang menganga atau luka yang masih berdarah, Maya justru mendapati sepasang mata biru terang menatapnya lembut. Warna yang sangat cantik—bukan, sepasang mata yang sangat cantik. Maya menahan napas. Dia telah lupa betapa menawannya pemuda ini. Sudah lama sejak terakhir mereka bertatap muka seperti ini. Yah, tentu mereka telah menghabiskan waktu bersama seharian, tetapi separuh wajah V masih tertutup perban tadi.

"Hebat sekali," katanya lagi. Kedua matanya memancarkan senyum. Astaga. Sungguh tidak adil rasanya ada manusia seindah ini. "Kau mengerjakan semua ini sendirian?"

"Yah, begitulah," kata Maya. Rasanya jauh lebih nyaman bersama V ketika kedua matanya tertutup. Di bawah tatapannya, nyali Maya menciut. Ugh, sebetulnya nyali Maya memang akan menciut di bawah tatapan siapapun. Terlalu banyak yang menatapnya dengan sinis dan menghina, sehingga tanpa sadar dia selalu berjengit atau mengalihkan pandangan sebelum bersitatap dengan orang lain. Tetapi kini, dia begitu terpukau dengan kedua mata V. Meski hatinya gentar, dia tak kuasa memalingkan wajah.

"Tapi sebenarnya ini belum selesai. Aku masih ingin menyikat sudut-sudut yang berjamur, lalu menggosok karat dan kerak dari peralatan dapur, juga mencuci separuh lagi persediaan baju, seprai, dan selimut yang ada di sini."

Wow. Entah mendapat keberanian dari mana, Maya dapat bertutur sepanjang itu.

"Padahal sebaiknya kau menuntaskan pekerjaanmu di sini dulu saja," kata V. "Kau kan lebih banyak menggunakan area ini."

"Tentu, karena area lantai atas terlarang untukku, bukan?"

Maya hanya berbicara apa adanya, tidak ada niat sarkastik ataupun usil, tapi rupanya ucapan tersebut membuat V salah tingkah.

"Ah, lupakan saja larangan itu. Toh kau sudah berjanji untuk membantuku membersihkan area lantai atas, tentu kau harus memiliki akses ke sana."

Maya berusaha menyembunyikan senyumnya. "Akses selama pekerjaan kita belum selesai?"

V menggaruk belakang telinganya canggung. "Selama kau tinggal di sini pun tak masalah. Silakan gunakan seluruh area rumah ini sesukamu."

Lagi-lagi sensasi hangat itu menyeruak di hati Maya. "Terima kasih banyak. Sungguh. Tetapi aku akan lebih banyak menggunakan area lantai satu saja. Kau sudah berbaik hati membagi tempat tinggalmu denganku, aku tidak ingin mengusik kehidupanmu juga."

V membuka mulut, seolah ingin membantah, tetapi Maya buru-buru melanjutkan, "Tentu saja aku tidak akan melupakan kewajibanku membersihkan setiap inci rumah ini hingga mengkilap. Anggap saja sebagai bayaran karena memperbolehkanku tinggal di sini."

V terkekeh. "Semangatmu sungguh luar biasa, Nak." Nah. Lagi-lagi dia memperlakukan Maya seperti anak kecil. "Tetapi tidak pantas rasanya menerima semua itu, karena sesungguhnya aku pun bukan penghuni asli rumah ini."

Apa?

Maya membelalak. Serentet pertanyaan telah berkecamuk di benaknya, namun perutnya berbunyi mendahului mulutnya. Maya menggigit bibir, malu.

"Astaga, sebaiknya aku tidak mengganggumu lebih lama lagi. Ini daging yang kumaksud." Dia menyerahkan sebungkus daging ke tangan Maya. "Selamat makan dan selamat berisitrahat. Sampai bertemu...besok?"

Lelaki yang Merindukan MatahariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang