Bab 24 - Ciuman Kehidupan (atau Kematian?)

94 10 0
                                    


Beberapa hal terjadi secara bersamaan.

Rika menumpukan seluruh berat badannya ke belati tersebut, membuat bilahnya menancap dalam-dalam ke tubuh Maya, sekaligus mendorong Maya jatuh ke lantai. Benturan yang terjadi cukup keras, sehingga Maya terbatuk. Namun saat dia terbatuk, sesuatu mengganjal di tenggorokannya, membuat dia terbatuk lagi, dan lagi, hingga sesuatu termuntahkan dari mulutnya.

Darah.

Maya membelalak melihat ini.

Para warga desa terkesiap.

Seketika suasana menjadi hiruk-pikuk. Rika mencabut belati tersebut lalu mengangkatnya tinggi-tinggi, siap menusuk Maya lagi. Para warga buru-buru menahannya, menariknya dari atas tubuh Maya, melepaskan belati dari genggamannya, di saat dia masih menjerit dan meronta liar.

Sementara, Maya sudah teralihkan oleh rasa sakitnya.

Darah membanjir keluar dari luka di perutnya. Setiap tarikan napas terasa menyakitkan. Berbaring terlentang seperti ini, otot-otot perutnya tertarik, seolah meregang lukanya. Susah payah Maya berguling ke posisi meringkuk, berharap itu dapat sedikit meredakan rasa sakitnya.

Saat itu pula, sebuah raungan menggelegar di seantero mansion tersebut.

Raungan tersebut sama sekali tidak terdengar manusiawi, lebih menyerupai hewan buas yang terluka, namun Maya dapat mendengar secercah putus asa di dalamnya. Langit-langit berguncang, seakan-akan seseorang di lantai atas tengah mengamuk bak kesetanan. Lalu bunyi debum yang memekakkan telinga, berkali-kali, hingga terdapat retakan menjalar di dinding. Serbuk dan cuilan-cuilan beton berguguran.

Para warga desa sontak memucat ketakutan.

Monster itu benar ada!

Hanya saja tidak ada yang berani mengucapkannya sekarang, takut si monster mendengar lalu marah karenanya. Di antara mereka, satu raut wajah tampak sangat kontras dengan yang lain.

Rika.

Dia tersenyum, begitu damai.

"Jihyun..." katanya. Matanya mengarah ke langit-langit yang bergetar, sarat kerinduan. "Aku tahu kau masih ada. Aku tahu...aku tidak gila..."

Tetapi para warga desa tidak menggubrisnya. Mereka menyeret Rika keluar, lalu berlari terbirit-birit dari sana.

Segera setelah mereka semua pergi, keheningan kembali.

Namun kini telinga Maya berdenging akibat rasa sakit. Dia merintih, mengertakkan gigi, lalu berusaha menghela tubuhnya untuk bangun. Pandangannya kabur. Napasnya terputus-putus. Butuh beberapa saat hingga indra pendengarannya kembali berfungsi. Keributan di lantai atas sepertinya telah berakhir. Samar-samar Maya mendengar suara V.

"Maya...?"

'Aku baik-baik saja' sudah berada di ujung lidahnya, namun yang keluar adalah erang kesakitan.

Kembali terdengar suara debum di lantai atas, kemudian suara V lagi, jauh lebih panik. "Maya?!"

"V, jangan...turun...kemari..." kata Maya susah-payah melalui gigi terkatup.

Saat ini matahari masih bersinar terik. Seluruh jendela di lantai satu terbuka, membiarkan cahaya matahari masuk dengan berlimpah. Jika V turun ke sini sebentar saja, sudah pasti dia akan terbakar.

Karena V tidak bisa kemari, berarti Maya yang harus ke sana, bukan?

Maka Maya mengerahkan segenap tenaga untuk merangkak. Jaraknya dengan tangga tidak seberapa jauh, mungkin sekitar lima meter, namun gerakannya sangat lambat. Butuh usaha yang tidak sedikit untuk menggeser lutut dan tangannya, sehingga tak lama Maya sudah bersimbah keringat. Darah terus mengalir dari lukanya, membentuk genangan di lantai, tersapu oleh gaunnya, membasahi kakinya. Dia dapat membayangkan dirinya pasti meninggalkan semacam jejak darah di lantai. Jika ada yang menemukannya, apa yang akan mereka pikirkan?

Lelaki yang Merindukan MatahariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang