Bab 20 - Khawatir

71 10 0
                                    

V sama sekali tidak menduga bahwa Maya akan sepanik ini.

Memang, diskusi mereka berjalan lebih lama daripada yang V perkirakan. Hingga ketika dahi Yoosung nyaris membentur meja akibat terkantuk-kantuk (untung Zen sempat menyelamatkannya), barulah V membubarkan pertemuan mereka. Saeyoung berjanji untuk mampir ke mansion esok hari dan melakukan eksperimen kecil mereka. Sudah nyaris dini hari saat V keluar dari kedai tempat mereka berkumpul. Secepat yang dia mampu, dia melesat kembali ke mansion.

Di ambang pintu, Maya menyambutnya dengan berderai air mata.

"Dari mana saja kau?!" serunya seraya setengah menangis.

V terperangah. "Oh, m-maafkan aku. Sepertinya aku pergi terlalu lama, ya?"

"Memang! Tidak tahukah kau betapa cemasnya aku semalaman ini? Apalagi matahari sudah hampir terbit dan kau tidak kunjung kembali..." Maya terkesiap, lalu menoleh ke arah jendela. Kemudian tangan mungilnya melingkari pergelangan tangan V. Bahkan dengan temperatur tubuhnya yang rendah pun, V dapat merasakan betapa dinginnya tangan Maya.

"Maya..."

"Nanti," tukas gadis itu. "Kita bicarakan ini di atas."

V membiarkan dirinya ditarik oleh Maya. Semenjak dia memperbolehkan Maya ke lantai atas, dia meletakkan lampu minyak yang selalu menyala di sudut-sudut koridor, agar gadis itu dapat melihat dengan lebih baik di sana. Berkat itu juga konsumsi minyak mereka jadi meningkat drastis, tapi itu bukan masalah. Yang penting Maya dapat berkeliaran di rumah ini dengan nyaman.

Maya akhirnya berhenti di ruang tengah lantai dua. Dia mengempaskan diri di sofa, kemudian menepuk tempat di sisinya, masih dengan wajah kesal penuh air mata. V menghela napas, sebelum duduk dan meraih gadis itu ke dalam pelukannya. Tubuh Maya sedikit menegang. V tahu, Maya masih merasa canggung dengan kontak fisik semacam ini. Biasanya jika V menyadari ada sikapnya yang membuat Maya merasa tidak nyaman, dia akan segera menghentikannya. Tetapi soal ini, V keras kepala. Dia bertekad untuk terus menghujani Maya dengan sentuhan-sentuhan kecil darinya agar gadis itu terbiasa. Dia tahu, Maya membutuhkan itu.

Bukan. Mereka membutuhkan ini.

V mulai membelai rambut panjang gadis itu.

"Shh...tenanglah," katanya. "Aku ada di sini."

Maya tersedu semakin keras. V mengeratkan pelukannya, mengerti bahwa gadis itu tengah menumpahkan kegundahannya semalam.

"Maaf, maafkan aku." V menggunakan suaranya yang paling menenangkan. "Kau pasti sangat ketakutan, ya? Maaf. Tidak seharusnya aku meninggalkanmu sendirian. Tapi tenang saja, Rika tidak akan menyakitimu. Kau aman, Maya. Aku akan melindungimu darinya."

"A-apa maksudmu?" isak Maya. Dia melepaskan pelukan V, seketika membuat pemuda itu merasa kehilangan. Bulu matanya masih basah, membingkai sepasang mata lebar yang mendelik kepada V. Sungguh membuat V ingin mengecupnya.

Astaga. Pikiran macam apa itu?

"Apa sih yang ada di pikiranmu?" sentak gadis itu.

Seandainya bisa, V pasti telah memucat. Atau justru merona habis-habisan. Ya Tuhan, apakah Maya baru saja membaca pikiran genitnya? Atau lebih parah lagi, justru dia yang menyuarakannya tanpa sadar?

"M-Maya, maaf—"

"Kau pikir aku takut Rika akan melukaiku?"

Tunggu. Apa?

"Kau pikir aku gelisah semalaman karena takut Rika akan datang kemari dan menyakitiku?" Maya tertawa histeris. "Konyol sekali."

Pada titik ini Maya sudah berdiri sehingga V harus mendongak untuk memandanginya. Ditambah dengan mulutnya yang menganga, V yakin wajahnya saat ini memang konyol sekali.

Lelaki yang Merindukan MatahariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang