Bab 9 - Rahasia Terkuak

94 11 2
                                    

Siapa sangka Maya akan mendapat jawaban keesokan harinya.

Hari itu, V dan Maya menemukan bahwa rumah itu bukan memiliki tiga lantai, melainkan empat. Yah, tiga setengah, barangkali. Saat itu jadwal mereka membersihkan lantai tiga. V tengah berkonsentrasi menyikat suatu noda di lantai kayu ketika terdengar debum keras dan jeritan Maya dari ruangan sebelah. Sontak pemuda itu meninggalkan pekerjaannya dan melesat menghampiri Maya. Maya bukan seorang penakut. V pernah melihat gadis itu melepas seekor tikus besar ke luar rumah dengan tangan kosong. Apabila dia menjerit seperti tadi, itu pasti bukan hal sepele.

Syukurlah dia memiliki kemampuan fisik yang luar biasa, sehingga dia tiba di tempat Maya dalam waktu kurang dari tiga detik. Seandainya masih bisa, jantungnya pasti sudah berpacu saat ini.

"Maya, kau baik-baik saja?" tanyanya. Suaranya setenang biasa. Napasnya tidak tersengal. Kepanikannya pun tak nampak. Terkadang dia merindukan sifat-sifat manusiawi tersebut.

Gadis itu pucat pasi. Dia duduk di lantai, punggungnya menempel ke dinding. Kedua matanya melebar ketakutan.

"Uh, ya, aku baik-baik saja," katanya. Sedikit getar masih mewarnai suaranya. "Hanya sedikit terkejut."

V berlutut di sisi Maya. Untunglah kemarin dia berpuasa, sehingga hari ini dia tidak perlu melakukan ritual paginya. V membiarkan matanya memindai tubuh Maya, memastikan gadis itu sungguh baik-baik saja.

"Apa yang terjadi?"

"Aku sedang menyikat lantai saat langit-langit ruangan ini mendadak ambruk. Lalu, whoa— Lihat itu, V! Rupanya rumah ini memiliki loteng!"

Itu benar. V sudah melihat tangga yang mengarah ke loteng saat dia masuk ke ruangan ini. Tetapi itu tidak penting. Prioritasnya saat ini adalah Maya.

V sama sekali tidak berpaling dari Maya. "Astaga. Apa kau terluka?"

"Tidak, kok," kata Maya. Gadis itu berdiri sambil menepuk-nepuk gaunnya. Sangat terlihat antusiasmenya akan loteng yang tadinya tersembunyi itu. "Untunglah aku tidak berada persis di bawah tangga itu tadi. Kira-kira apa yang ada di atas sa—ow!"

Dengan sigap, V menangkap tubuh Maya yang limbung. "Maya, kau kena—"

V menegang saat mencium aroma yang telah bertahun-tahun disangkalnya. Dia tahu sebaiknya dia tidak melihat, namun tak urung matanya bergulir ke arah sumber aroma tersebut. Lantai ruangan ini dipenuhi serpihan-serpihan kayu akibat langit-langit yang ambruk barusan. Sialnya, Maya menginjaknya hingga sebuah serpihan yang cukup panjang kini menancap di telapak kakinya.

Lebih sialnya lagi, V ada di sini.

Tapi tidak, untuk saat ini situasi belum terlalu gawat. Belum ada darah yang menetes karena serpihan kayu itu masih menancap di sana. Kecuali jika...

"Ugh!" Maya mencabut serpihan kayu tersebut seraya meringis. Sebelah tangannya masih berpegangan pada bahu V sehingga pemuda itu tidak dapat kabur dari sana. V menahan napas dan mengertakkan giginya kuat-kuat. Pandangannya tak dapat lepas dari telapak kaki Maya yang kini mengucurkan darah. Giginya yang beradu mulai terasa mengganjal.

Gawat.

***

Maya memandangi kakinya yang berlumuran darah. Sakitnya tidak seberapa. Dia lebih sedih karena ruangan yang telah dia sikat kini berantakan dengan debu, kayu, dan darahnya sendiri.

"Oh, lihat kekacauan ini. Jerih-payahku seharian menjadi sia-sia." keluh Maya. "V, maaf, bisa bantu aku ke sana?" Maya menunjuk sudut ruangan yang masih bersih. "Agak susah berjalan dengan satu kaki."

V menggeleng. "Jangan di sana," katanya dengan gigi terkatup. "Sebaiknya kita ke bawah."

Sebelum sempat memprotes, V meraup Maya lalu membopongnya. Sekejap mata kemudian, pemuda itu telah menurunkan Maya di sofa depan perapian. Bunga-bunga yang mulai bermekaran di taman mungil mereka tampak dari jendela. Maya terperangah.

"Ini lantai satu? Bagaimana bisa—"

"Maya, maaf sekali, aku harus pergi," ujar V penuh sesal.

"Tunggu, tunggu," kata Maya. Secara refleks dia berdiri, berniat menahan kepergian V, tetapi dia bertumpu pada kaki yang salah. Untuk kedua kalinya hari itu, Maya kehilangan keseimbangan.

Lagi-lagi dia mendapati dirinya berada di dalam dekapan V.

"Astaga, Maya," geram V, secara harafiah. Pemuda itu menggeram, seperti binatang buas. Maya merasakan bulu kuduknya berdiri. Apa dia membuat V marah? "Kau ceroboh sekali."

"M-maaf." Maya memberanikan diri menatap V. "Aku hanya ingin meminta sedikit perban, kalau kau tak kebera...tan."

Maya merosot di sofa, tangannya menekap mulut. Belum pernah dia melihat raut wajah V seperti itu. Alisnya mengerut. Matanya menatap nyalang, bagian putihnya memerah, seperti orang mabuk. Pembuluh darah di pelipis dan lehernya menonjol. Tetapi yang paling mengerikan adalah....

"Gigimu..."

V tersentak, segera menutupi mulutnya dengan kedua tangan. Terlambat. Maya sudah melihatnya. Sepasang taring V telah memanjang. Ujungnya lancip, setajam jarum.

"V, kau—"

"Maya, maaf, aku benar-benar harus pergi."

Lalu pemuda itu menghilang.

Lelaki yang Merindukan MatahariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang