Hari ini gue bangun lebih awal, lebih tepatnya jam setengah 5 subuh. Gue ada janji sama Yaya yang katanya mau ngajak gue ke toko buku di daerah Bogor. Memang jauh sih, tapi Yaya bilang toko buku bekas di sana asyik banget. Karena toko buku bekas itu kini, sudah sedikit di renovasi dan berubah menjadi cafe baca. Si pemiliknya ini, seneng banget ngoleksi buku bekas. Jadi kesannya malah kayak toko antik. Gue sendiri lebih suka baca buku bekas karena, di setiap lembaran buku bekas, pasti ada tulisan-tulisan atau gambar dari pemilik sebelumnya.
Gue mengetatkan jaket denim yang gue pakai, karena tadi hujan baru ajah reda. Otomatis udaranya masih dingin banget, apalagi ini masih jam 5 pagi. Sesekali gue menggosokkan kedua telapak tangan gue, untuk sedikit mengusir rasa dingin. Fiks, si Yaya Dateng langsung gue bunuh sih. Gue udah nungguin dari tadi loh dan sampai sekarang dia belum nongol juga.
Drtt...
Gue kaget setelah merasakan getaran hp yang ada di kantong celana. Setelah gue lihat, ada satu telpon masuk dari Yaya. Panjang umur, baru juga gue omongin, eh udah nongol ajah.
"Hallo ya?"
"Kay, lo dimana?"
"Gue nungguin Lo di depan rumah,"
"Sip, gue samperin lo sekarang."
Enggak sampai 3 menit, nih dedemit udah nongol dengan motor beat merahnya. Yaya emang gitu, meskipun ortunya tajir melintir, dia enggak pernah pakai barang-barang mahal yang notabennya pemborosan. Dia lebih suka berpenampilan apa adanya dan sederhana, Yaya juga sering naik angkot bareng gue kalo lupa ngisi bensin. Tapi enggak enaknya jalan bareng Yaya itu, ongkos bensin di tanggung patungan. Alias 50, 50. Padahal ya, seumur-umur gue di bonceng cowok, baru sama Yaya yang minta setengah uang bensin ke gue.
"Ayok Kay, buruan. Biar enggak kemaleman baliknya," gemes gue denger dia ngomong gitu, gue tabokin ajah helmnya. Sekenceng dan sepuas hati gue, bodo amat, abisnya gue kesel anjer.
"Kok gue di pukul sih, Kay? Dan kenapa elo bego banget dah, mukul kok, ke helmnya? Yang ada tangan lo yang sakit, lah." Bener juga, ya udah sekarang gue cubit ajh pinggangnya. Biar pinggangnya ramping kayak Lisa blackpink.
"Sakit, tahu Kay."
"Bodo amat, abisnya gue kesel." Kata gue yang sekarang udah berhenti nyerang dia.
"Kesel kenapa, dah?"
"Gue berdiri di depan rumah udah dari jam setengah lima, dan lo baru dateng sekarang?!"
"Suruh siapa nunggu jam segitu?"
"Suruh elo, kan, semalem?!!!!"
"Eh iya, gue lupa."
Dia kemudian nyengir kuda, bikin gue enggak sabar pengen cepet matiin dia.
"Tahu ah, gue kesel sama lo!"
"Ya udah maap,"
"Tidak dimaafkan."
"Ya udah deh, berarti gue ke Bogor nya sendiri ajah kalo gitu. Babay Kayra, i love you!" Dia mulai tancap gas pelan dan sedikit membuat jarak diantara kita.
"Arkaaaa!"
"Apa bep?"
"Gue ikut!"
"Heuh dasar cewek,"
"Apa?!"
"Enggak," gue kesel sumpah, padahal ini masih pagi. Selanjutnya Yaya memutar motornya kearah gue dan menyuruh gue untuk segera naik.
"Silahkan naik tuan Putri,"
"Diem, berisik lo!"
"Tuan putri, jangan marah-marah terus dong. Cepet tua loh, nanti."
"Diem enggak, kalo enggak nanti gue enggak mau bayar bensin!"
"Baiklah, keinginan mu adalah perintah untuk ku Putri."
"Jalan!" Kata gue sambil nyubit keras pinggang dia.
"Sakit tuan putri!"
"Ya udah jalan!"
Pagi itu di sekitaran jam 6 pagi, gue dan Yaya akhirnya bisa tancap gas ke Bogor. Dia bawa motornya kayak angin, kenceng banget. Gue ajah sampe udah enggak bisa liat jalan, saking kencengnya dia.
"Yaya, pelan-pelan ajah!" Kata gue dengan sekuat tenaga agar dia bisa denger.
"Apa?!"
"Pelan-pelan ajah!"
"Lo mau beli apel?"
"Pelan-pelan Yaya, bukan apel!"
"Ngomong apa sih, enggak kedengeran?"
"Yaya, awas ada yang nyebrang!" Karena panik sekaligus bingung, dia banting setir ke arah Kiri dan akhirnya kita jatuh di deket trotoar. Yaya nya sih, enggak papa. Cumanya ini gue yang kenapa-kenapa, untungnya enggak ada yang lecet karena gue pake jaket dan celana jeans panjang. Gue coba untuk bangun, tapi kaki kanan gue berasa linu banget. Sebisa mungkin gue paksain bangun karena enggak mungkin gue nungguin Yaya untuk gendong gue ala bridal style, dianya ajah sibuk nangisin motor butut murah kesayangannya. Cuih. Setelah berhasil berdiri, gue dibantu sama ibu-ibu untuk duduk di bangku yang ada diatas trotoar.
"Makasih Bu,"
"Iya sama-sama, lain kali hati-hati ya?"
"Iya Bu,"
"Kayra, lo enggak papa kan?"
"Kaki gue kayaknya keseleo deh, Ya."
"Makanya kasep, kalo naik motor tuh hati-hati. Kasian kan, pacarnya jadi begini?"
"Eh dia bukan pacar saya Bu, dia temen sekelas saya." Sergah gue cepat, ogah banget gue dikira pacarnya Yaya.
"Oh gitu, ya udah ibu pergi dulu ya, assalamualaikum."
"Walaikumsalam," jawab gue dan Yaya, kompak.
"Sini gue bantu naik lagi ke motor, kaki lo pasti sakit, kan?"
Gue mengangguk, setelah itu gue mengalungkan tangan gue di leher Yaya. Kemudian dia memapah gue naik ke motor. Bisa gue lihat dari raut wajahnya, dia kelihatan ketakutan banget. Mungkin dia khawatir tentang ekspresi ibu, setelah liat anak gadisnya dibuat begini.
"Enggak papa Ya, ibu enggak akan marahin lo. Dia juga ngerti kalo ini kecelakaan,"
"Tetep ajah Kay, kaki lo jadi begini karena gue." Matanya dia mulai berkaca-kaca, dan beberapa detik kemudian, satu persatu air mata berhasil lolos dari matanya.
"Eh jangan nangis,"
"Gue bakal tanggung jawab Kay,"
"Iya, udah jangan nangis. Gue enggak papa Arka," gue mulai menepuk-nepuk punggung nya saat sudah diatas motor. Setelah menghapus air matanya, kita kembali ke Jakarta dengan kecepatan yang sangat pelan. Kali ini Yaya jauh lebih berhati-hati, bahkan menurut gue dia terlalu hati-hati. Dasar Yaya, selaku belajar dari kesalahan. Kalo enggak salah, ya enggak belajar.
***
Panjang yah, part ini? Sengaja, lagi bagus soalnya mood saya:)
KAMU SEDANG MEMBACA
IPS 1 ✓
Teen Fiction[completed] Nama gue Kayra, cewek bermuka biasa yang nyasar ke SMANSA lewat jalur zonasi. Jujur, kehidupan SMP gue jauh lebih seru dibandingkan kehidupan SMA gue. Tapi gue belum pernah tuh, ketemu manusia jenis Arka (Yaya) yang overprotektif banget...