8.

585 58 0
                                    

Gue sampe di depan halaman rumah sekitar jam 2 siang.

Tok... Tok...

Ini adalah suara Yaya yang mengetuk pelan pintu rumah gue.

Tok... Tok... Tok...

"Assalamualaikum tante,"

"Walaikumsalam," perlahan pintu rumah gue mulai terbuka, dan....

"Ya ampun Kayra!" Teriak ibu histeris setelah melihat wajah Yaya diambang pintu.

"Tante, tolong jangan histeris dulu. Saya-"

"Ya ampun Kay, kamu punya pacar seganteng ini, kok baru di kenalin sekarang?"

"Tante, tante salah paham. Saya dan Kay cuma temenan ajah,"

"Bener apa kata Yaya Bu,"

"Oh jadi mas ganteng ini, namanya Yaya?"

"Kenalin tante, nama saya Arka Elramdan. Biasa di panggil Yaya,"

"Loh, kenapa Yaya?"

"Ceritanya begini tante, dulu Mama saya pengen banget punya anak kembar sepasang perempuan. Tapi pas keluar malah kembar pengantin, kakak kembaran saya mamanya Yerin. Biar inisialnya sama-sama Y, jadinya saya di panggil Yaya."

"Unik sekali namanya, ya udah ayo silahkan masuk."

"Ibu, tadi Kay jatuh dari motor. Bukan salah Kay, tapi salah Yaya." Kata gue kemudian.

"Patah, kakinya?"

"Enggak, kayaknya keseleo doang, Tante." Ujar Yaya kembali gugup, setelah ibu melirik tajam kearahnya. "Tapi saya janji, besok saya akan panggilkan tukang urut. Soal biaya, semuanya saya yang tangguh."

"Ya ampun Kay, dia ini manis dan bertanggung jawab banget! Ibu setuju loh, kalo kalian pacaran."

"Ibuuuu!"

Di siang menjelang sore hari ini, ibu banyak ngobrol dengan Yaya. Soal sekolah, pelajaran, bahkan ibu juga bahas soal universitas dengan Yaya. Mereka berdua menjadi akrab secara alami. Iya, saking akrabnya, sampai lupa kalau anak sendiri lagi sakit kakinya. Gue kemudian pijat-pijat kecil pergelangan kaki gue yang berasa senat-senut. Dari ekor mata, gue bisa lihat kalau Yaya sedang memandang gue dengan lekat.

"Kalau gitu Tante ke warung dulu ya, mau beli garam."

"Iya Tante," setelah dengar itu, ibu melenggang pergi meninggalkan ruang tamu yang posisinya berhadapan dengan kamar gue.

"Sakit?" Tanya Yaya yang sudah ada di tepi kasur, sambil meringis enggak tega lihat kaki gue.

"Menurut lo?"

"Gue panggilin kang Sora sekarang ajah, deh, biar kaki lo cepat ditangani."

"Terserah lo ajah, yang penting gratis."

Mendengar jawaban gue, dia langsung mengeluarkan handpone dan menelpon seseorang yang gua duga adalah kang Sora. Dia telponan kenceng banget, sampai gue bisa tahu kalau dia lagi serius nego harga sama kang Sora. Sumpah, dia nego harganya udah persis banget kayak ibu gue and Friends, yang punya prinsip; mending enggak masak, kalau harganya enggak bisa ditawar. Ingin rasanya gue teriak kayak ibu-ibu lo, Ya, tapi kalau gue begitu nanti dia ngambek. Tahu sendiri, Yaya kalau udah ngambek ngancem mau Jambak rambut.

Setengah jam dari sejak Yaya selesai menelpon, kang Sora datang beserta alat untuk memijit gue. Ada rasa takut yang coba gue hilangkan, tapi tetep ajah enggak bisa. Yaya menunggu di teras rumah, karena enggak berani lihat gue yang akan menjerit kesakitan. Ibu ada di samping gue, untuk jaga-jaga kalau semisal nanti gue enggak sengaja mencakar muka kang Sora saking enggak tahannya nahan rasa sakit. Perlahan, minyak gosok di oleskan kebagian pergelangan sampai ke telapak kaki dan...

"Duh, sakit Bu," kata gue pelan. Awalnya rasa sakitnya masih bisa gue tahan, tapi lama-lama rasa sakitnya malah ngelunjak. Yang gue takutin tuh, takutnya nanti gue enggak sengaja nendang muka kang Sora. Duh, mana dia udah sepuh banget lagi. Kalau ketendang, bisa berantakan tulang-tulangnya.

"Arkaaaaa!" Teriak ibu gue yang gue juga enggak paham maksudnya apa? Masa, gue yang di pijit dia yang histeris? Pakai manggil-manggil nama Yaya lagi.

"Iya Tante?" Kata Yaya yang ngos-ngosan karena habis lari sekencang angin.

"Kamu tungguin Kay, gih, Tante enggak tega lihatnya." Yaya hanya mengangguk pasrah.

"Duh cuma dipijit ajah, sampe heboh begini. Sudah kayak menunggu orang yang lahiran saja," kang Sora terkekeh pelan, yang kemudian membuat kami berdua bungkam. Baik gue maupun Yaya, tidak ada yang memberikan komentar.

"Sudah selesai," ujar kang Sora setelah 20 menit memijit kaki gue. Sesuai perjanjian, seluruh biaya sudah Yaya yang menanggung. Selesai memijit, kang Sora tidak langsung pulang, melainkan mengobrol sebentar dengan ibu. Dia bilang, kalau gue belum boleh jalan dulu selama 4 hari, agar cepat pulih. Dalam hati gue sangat senang, karena itu artinya gue enggak harus pergi ke sekolah selama 4 hari. Alhamdulillah.

Setelah selesai berbicara dengan ibu, kang Sora pulang. Di barengi dengan itu, Yaya juga pamit pulang karena takut ke malaman. Hari yang panjang dan menyakitkan sudah berlalu buat gue. Kedua adik kembar gue yang baru balik dari kegiatan eskul, langsung kaget dan kemudian menghujani gue dengan berderet pertanyaan mereka yang sebenernya enggak perlu gue jawab pun, mereka pasti sudah tahu jawabannya. Contohnya seperti tadi Aydan yang nanya,

"Mbak, sakit enggak?"

Atau seperti Aleya yang nanya,

"Kok harus diperban sih? Terus berarti sekarang mbak, enggak bisa jalan dong? Wuah ini sih nanti bakalan ngerepotin gue mbak, kalau lo enggak bisa jalan."

Helloooo, umur kalian tuh berapa, sih? Harus banget nanya begitu? Enggak guna banget deh. Biar begitu, mereka berdua kompak banget jagain gue selama gue sakit. Contohnya seperti ngambilin makan, minum, camilan, dan lain-lain.

**

Panjang ya, ceritanya? Sebenarnya awalnya saya hanya ingin menulis setiap chapter tidak lebih dari 500 words, dikarenakan ketidak seriusan saya dalam menulis cerita ini. Namun lama-kelamaan, saya merasa sudah saat nya saya serius dalam menekuni hal yang saya sukai.

Jadi mulai dari chapter sekarang dan seterusnya, saya usahakan akan lebih dari 500 words. Terimakasih untuk votenya^^

IPS 1 ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang