26. Usaha

306 39 2
                                    

Gue menatap frustasi langit-langit kamar. Bayangan akan Yaya masih menghantui gue, banyak pertanyaan yang ingin gue tanyakan padanya, namun tak pernah sampai di bibir. Kebanyakan hanya tersimpan di hati, yang entah sampai kapan baru akan menemukan jawabannya, atau mungkin memang tidak ada jawabannya. Berulangkali hati gue bertanya, sebenarnya hati Yaya itu untuk siapa? Kalau untuk Vira, lalu kedekatan kita itu apa? Gue bingung tentang semua jawaban yang selalu dituntut oleh hati gue. Meski esok katanya mau move on namun ada bagian dari diri ini yang sepertinya tidak yakin.

Semangat pun, perlahan hilang, hingga kini yang gue rasakan hanya ketakutan. Takut besok gue ketemu dia dan Vira, takut gue gagal move on, Pokoknya takut deh. Untuk pertama kalinya lagi, gue berharap enggak bertemu Yaya.

Jika ini yang kamu sebut jatuh hati, maka seharusnya aku tidak pernah jatuh. Bukannya takut, aku hanya tak suka merasakan sakit_

**

Hujan deras kembali mengguyur SMANSA, membuat gue lagi-lagi terjebak dalam derasnya hujan. Banyak siswa yang memilih menunggu di lobi, namun ada juga beberapa yang nekat menerobos. Gue berdiri dekat kolam ikan yang berada tepat di depan lobi, sambil sesekali mengusap tangan yang terasa dingin. Ditengah derasnya hujan, gue melihat Yaya sedang memayungi Vira dan mengantarnya sampai ke kelas. Dada gue terasa panas dan sedetik kemudian gue memalingkan pandangan, tidak mau melihat pemandangan menyakitkan itu lagi.

Kita bukanlah orang yang gagal menjadi satu.

Barangkali kita memang tidak ditakdirkan begitu.

Kaki gue melemas ditempat, enggan bergerak sampai hujan mereda. Seusai langit menumpahkan seluruh airnya, gue baru bisa ke kelas. Genangan air di lapangan terinjak oleh siswa yang lewat, bahkan ada beberapa siswa yang menjadikannya sebagai bahan candaan. Suasana setelah hujan kini lumayan ramai, meski gue merasa sepi karena tidak ada orang yang ikut berjalan bersama gue.

Pintu kelas gue buka secara perlahan, menampilkan suasananya yang tak pernah hening. Dengan langkah perlahan, gue berjalan berusaha mencapai tempat duduk. Dari belakang, ada seseorang yang menabrak tubuh gue dan tiba-tiba punggung gue terasa basah. Karena rasa basah tersebut, gue spontan melihat kebelakang. Vira?

"Maaf kak, aku enggak sengaja." Ujarnya sambil membungkuk.

"Iya, enggak papa." Mata gue beredar mencari siapa saja yang bisa mengantarkan gue ke kamar mandi untuk membersihkan kekacauan ini. "Megan! Anterin gue ke kamar mandi ya?"

"Iya Kay!"

Bersamanya gue langsung ke kamar mandi, untuk membersihkan bau amis di seragam putih dan rambut gue yang sepertinya juga terkena susu. Susah payah gue dan Megan membersihkan seragam dan rambut gue, namun baunya tetap tidak hilang.

"Enggak hilang Kay, baunya."

"Ya udah, enggak papa deh,"

"Lama-lama Vira makin ngelunjak! Pengen deh, gue maki tuh, bocah."

"Jangan, dia kan, udah bilang kalau dia enggak sengaja."

"Iya sih..."

Bau amis di baju gue tidak hilang. Terpaksa gue harus memakai jaket yang sedari tadi terikat di pinggang gue. Yaya menghampiri gue saat gue baru saja memasuki kelas.

"Lo enggak papa Kay?"

"Enggak."

"Beneran? Perlu gue beliin parfum atau semacamnya, enggak?"

"Enggak perlu. Lagian lo enggak harus tanggung jawab atas ulah Vira, kali!"

"Tapi kan–"

"Oh iya lupa, Vira kan, pacar lo. Enggak heran sih, kalo lo mau tanggung jawab untuk dia." Gue dan Megan mendahului nya, namun kemudian dia mengekori sampai ke tempat duduk.

"Gue penasaran deh, Ya sebenernya lo itu pacaran enggak sih, sama Vira?" Tanya Megan membuat mata gue melirik tajam, namun sayang dia tidak sadar.

"Ehem!" Kompak Yaya dan Megan menoleh kearah gue yang sedang salah tingkah, sambil memegangi tenggorokan yang tidak terasa kering. "Tenggorokan gue kering, nih, ada yang mau ikut ke kantin?"

"Enggak ah, gue masih mau disini. Lagian gue penasaran banget soal hubungan Yaya sama Vira." Astaga Megan malah susah diajak kompromi.

"Ya udah gue ke mas Eko dulu ya?" Tanya gue dan terpaksa keluar kelas sendirian. Gue keluar kemudian bersembunyi dibalik tembok luar, akhirnya penasaran juga dengan jawaban Yaya. Meski tadi sempat takut mendengar jawabannya. Gue memasang telinga besar-besar lalu fokus mendengarkan perbincangan mereka berdua, tapi nihil tidak ada secuil informasi pun yang gue dapat. Riuh ramai kelas mengalahkan suara mereka berdua yang hanya beberapa oktaf saja, membuat gue kecewa.

"Ngapain lo disini? Udah kayak maling aja?" Suara Rani membuat gue hampir berteriak kaget, kalau saja wajah galaknya tidak menginterupsi suara gue yang hampir meledak tadi. Gue mengelus dada menenangkan jantung yang belum stabil.

"Tadi bayangan gue jatuh, makanya mau gue ambil. Tapi enggak jadi, soalnya gue baru inget kalau bayangan enggak bisa diambil." Jelas gue dengan penjelasan yang tidak masuk akal.

"Apaan sih, enggak jelas lo!"

"Ya gitu lah, pokoknya. Lo sendiri lagi apa disini?"

"Tadinya gue mau masuk kelas, tapi pas lihat gelagat aneh, lo, gue jadi terinspirasi untuk neriakin lo maling!"

"Nah, ini nih, definisi orang yang kepalanya dibawa ke alam dunia, tapi otaknya ketinggalan di alam kandungan." Ujar gue semakin ngaco. Setelah itu Rani masuk dan disusul oleh gue yang malah beneran pergi ke warung mas Eko. Pagi itu ditemani oleh Hoodie berwarna oranye, langit mendung, dan segelas jus mangga mas Eko, gue semakin yakin atas keputusan gue yang akan move on. Karena sepertinya itu adalah jalan terakhir yang bisa gue pilih.

"Lagi apa sendiri disini, Kay?" Tanya Geri dan langsung mengambil duduk disebelah gue.

"Nih, riungan." Mendengar itu, Geri memaksakan untuk tertawa.

"Lucu Kay!"

"Tumben lo nyamperin gue, ada perlu apa?" Tanya gue pada Geri, agar ia langsung mengatakan maksud dan tujuannya. Namun bukannya menjawab Geri malah memesan gorengan, seperti sengaja ingin mengulur waktu. Dengan sabar gue menunggu dia memilih gorengan yang dia inginkan. Mulai dari tempe mendoan basah, tempe mendoan kering, sampai ke tempe mendoan campur es buah. Dan akhirnya dia selesai memilih jajanan yang harganya paling tidak sampai lima ribu. Meski begitu, dia nampak bangga memamerkan jajanan murahnya pada mata dunia. Seakan tempe pembeliannya mengalahkan harga masker cetar milik Billie Eilish.

"Terus terang deh, ada perlu apa sampai mau menemani gue makan di kantin. Lo lagi ulang tahun?"

"Bukan Kay, lo mah, enggak pekaan!" Wajarlah kalau cewek enggak peka, karena itu bukan kewajiban bagi seorang cewek. Kita sebagai kaum hawa mah, tugasnya memberi kode. Sementara adam menerima dan memecahkan kode tersebut.

"Aduh, gimana ya, ngomongnya? Gue takut lo nolak permintaan gue."

"Ih apaan sih, mau ngomong mah, ngomong aja kali."

"Gue mau lo jadi..." Okay kita jeda dulu kalimatnya si Geri sampai minggu depan ya gais, biar kalian penasaran gitu. Hahahaha.

**

Yuk, yuk! Kita main tebak-tebakan, kira-kira apa ya, kalimat kelanjutan yang dijeda oleh Geri?

Terakhir nama saya greentea dan jangan lupa untuk selalu bahagia serta sehat tentunya!

IPS 1 ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang