Beberapa hari berlalu begitu saja tanpa arti. Hari-hari ramai berubah menjadi sepi, entah bagaimana ceritanya. Perasaan sebal pun, kini terus menghantui gue. Bukan hanya itu saja, bahkan kini perasaan takut pun ikut membuntuti dibelakang. Gue memasang earphone sambil memandangi pemandangan rumput hijau dari BPM, sekali lagi hari yang lelah gue alami. Meski beban ulangan sudah lenyap. Untuk sekian kalinya lagi, gue menghela nafas panjang, merasa capek padahal gue cuma duduk dari tadi. Ada yang hilang namun gue enggak tahu apa itu.
"Kenapa Kay?" Tanya Rani yang tiba-tiba datang dan duduk disebelah gue.
"Kenapa apanya?"
"Kenapa lo galau?"
"Biasa aja."
"Bohong!"
"Gue merasa kehilangan sesuatu Ran, tapi sesuatu itu enggak pernah gue miliki."
"Jangan bodoh!" Dia menatap gue datar kemudian gue balas dengan tatapan lesu. Mau menjawab pun, rasanya enggak semangat. Gila ya. Mata gue berkeliaran sekedar untuk mengusir hening, karena baik diantara gue ataupun Rani, tidak ada yang membuka suara. Kami larut dalam diam dan pikiran masing-masing. Tumben juga, anak kelas kami tidak berisik seperti biasanya. Seakan semua ikut mendukung untuk larut dalam galau.
"Diam tuh, enak ya, Ran?"
"Enggak juga. Lo begitu, karena lo lagi banyak pikiran aja,"
"Gue beneran merasa kehilangan, Ran."
"Maksud lo kehilangan Yaya?" Gue diam, entah kenapa itu terdengar seperti pernyataan bukan pertanyaan.
"Gue enggak tahu,"
"Inget Kay, enggak semua yang datang bisa bertahan selamanya. Karena dunia ini sifatnya hanya sementara, bisa kapan aja Allah ambil jika dia berkehendak." Gue enggak bisa lagi berkata-kata. Detik berikutnya kami hanya saling memandang ke depan tanpa bicara sepatah katapun. Perasaan gelisah tetap ada meski bebannya berkurang beberapa gram. Persoalan tentang Yaya memang sepertinya tidak ada habisnya. Seolah dia memaksa gue untuk mengunci hati dan pikiran padanya.
"Kay!" Panggil Yaya, yang suaranya sudah jarang gue dengar sejak empat hari terakhir. Kedatangannya kesini mengusir Rani pergi, menyisakan gue yang tidak sempat kabur.
"Apa?"
"Lo sendirian?"
"Iya."
"Enggak sendiri dong, kan sekarang ada gue. Tadi juga ada Rani, jadi Lo enggak sendirian." Apaan sih, kalau tahu gue enggak sendirian ngapain nanya? Buat gue capek jawab aja.
"Terserah." Setelah itu tidak ada lagi percakapan diantara kami. Yaya sibuk melirik sana-sini mencoba mencari topik apa saja yang bisa kami bicarakan. Sementara gue hanya bisa menunggu Yaya membuka suara. Beberapa menit berlalu dan kami masih larut dalam pikiran masing-masing.
"Gue ke kelas ya?" Pamit gue, setelah sadar Yaya juga sudah menyerah mencari topik pembicaraan. Dia mengangguk dan mempersilahkan gue meninggalkan tempat. Walau hati menyimpan rasa sesak, gue tetap berjalan sampai ke dalam kelas. Untuk mengusir rasa bosan, gue mengambil sebuah buku yang baru saja gue pinjam dari Lia. Orang yang sangat hobi mengkoleksi cerita horor. Ujian telah berlalu, jadi hari ini adalah hari bebas. Biasanya sekolah kami akan mengadakan Minggu Bermain, namun karena kemarin sekolah kami sudah banyak mengadakan acara, jadi untuk acara Minggu Bermain tidak akan diselenggarakan tahun ini.
"Kak Kay!" Gue menoleh ke sumber suara yang tak lain adalah Vira. Mau apa, tumben mencari gue? Mungkin mau tanya keberadaan Yaya?
"Apa?"
"Kak, tadi aku baca Wattpad." Kening gue berkerut parah banget, untuk mencoba mencerna pernyataan Vira barusan. Apa urusannya sama gue? Mau dia mati gara-gara baca Wattpad pun, gue enggak akan peduli.
"Terus?"
"Aku baca cerita tentang cewek yang suka sama kakak kelasnya, namun nahas cowok yang dia suka itu juga disukai oleh kakak senior perempuannya. Karena si senior enggak mau disaingi, akhirnya dia ngebully cewek itu agar si cewek mau berhenti mengejar si cowok." Fiks, udah gila nih, bocah.
"Urusannya sama gue apa?"
"Kakak enggak mau bully aku kayak senior perempuan di cerita itu kan?" Sumpah sakit nih, bocah. Dia enggak tahu ya, kalau hampir seluruh anak kelas gue tuh perlahan benci sama dia. Sikap ge-er dan pacaran sepihak nya itu loh, bikin satu kelas ingin mencakar wajahnya. Gue menarik tangan dia keluar kelas, karena sadar bahwa jika Vira lebih lama lagi di dalam kelas, maka akan ada pembunuhan massal. Langkah gue membawanya ke toilet perempuan.
"Kakak mau kunci aku di kamar mandi ya?" Gue menarik napas, mencoba tidak emosi dan tetap tenang.
"Enggak."
"Kakak mau menenggelamkan kepala aku di wastafel, ya?"
"Bisa, enggak usah ge-er?"
Vira menutup mulutnya, sementara gue memejamkan mata dan mendongakkan kepala. Rasanya ini hari yang berat banget untuk dijalani. Kapan ya, perasaan capek ini mulai datang. Mungkin semenjak Vira datang ditengah-tengah gue dan Yaya.
"Kakak suka sama kak Yaya?"
"Enggak."
"Tapi kakak sama kak Yaya kayak perangko," gue membuka mata dan menatap ekspresi Vira yang kini lesu.
"Gue itu perangko, sementara lo sama Yaya itu magnet."
"Maksudnya?"
"Gue hanya enggak sengaja menempel sama Yaya, sementara lo ditakdirkan menempel sama dia." Gue memberi jeda kalimat untuk mencari kata-kata yang tepat agar mudah dimengerti.
"Gue itu perangko yang menjadi penengah antara kalian, tapi karena perangko itu tipis, gue enggak akan berpengaruh apa-apa terhadap kalian. Intinya sebesar apapun kedekatan gue sama Yaya, enggak akan berpengaruh terhadap hubungan kalian."
"Jadi kakak enggak bakal ganggu?"
"Enggak Vir, gue juga enggak ada niat mau bully lo, kok." Gue anggap urusan gue dan Vira selesai hari ini. Benar sepertinya kalau dia dan Yaya pacaran, buktinya dia sampai datang ke gue hanya untuk memastikan kalau gue tidak akan menganggu hubungan mereka. Bukan perasaan lega yang gue dapat, malah tambah sesak. Asma ya gue, kayaknya pulang sekolah mau coba cek ke dokter.
**
Senja sudah mulai bersiap untuk tenggelam. Gue membereskan semua barang-barang gue kedalam tas dan melenggang pergi meninggalkan kelas. Seperti biasa, gue jalan sendirian sampai ke gerbang.
"Kay!" Gue mengangguk ke sumber suara dan mempercepat langkah menghampiri ibu di seberang jalan. "Tumben enggak sama Yaya?"
"Udah punya pacar."
"Kamu udah punya pacar? Siapa? Ganteng gak? Kok ibu belum kenal?" Masyallah Bu, nanya nya enggak tahu waktu amat.
"Enggak Bu," jawab gue penuh penekanan. Gue naik keatas motor, dibarengi oleh sosok Yaya yang melaju kearah yang berlawanan dengan gue. Di belakang motornya, Vira dibonceng dengan wajah sumringah. Pandangan gue tertunduk berusaha bersikap seperti biasanya. Cowok mah gitu ya, setelah memberi harapan lantas pergi dengan cewek lain.
"Oh, yang pacaran itu Yaya?" Ibu seolah mengerti lalu melajukan motornya. Besok move on deh. Gue memiringkan bibir, setelah memantapkan diri untuk move on. Baru saja beberapa hari kemarin gue sadar bahwa gue jatuh cinta, eh, besok sudah move on saja.
**
3,03k readers! Makasih untuk setiap vote, read, dan komentar kalian semua. Karena senang saya akan update hari ini! Dukung saya terus untuk share cerita ini, vote dan komen jika kalian suka!
Terakhir nama saya greentea dan jangan lupa untuk selalu bahagia serta sehat tentunya!
KAMU SEDANG MEMBACA
IPS 1 ✓
Teen Fiction[completed] Nama gue Kayra, cewek bermuka biasa yang nyasar ke SMANSA lewat jalur zonasi. Jujur, kehidupan SMP gue jauh lebih seru dibandingkan kehidupan SMA gue. Tapi gue belum pernah tuh, ketemu manusia jenis Arka (Yaya) yang overprotektif banget...