23.

281 37 2
                                    

Setelah acara berbuka bersama selesai, Yaya menyempatkan datang ke rumah untuk memberikan beberapa kue pada ibu. Walau dia hanya mampir sebentar dan lalu pulang. Terlalu sebentar sebenarnya untuk disebut mampir, karena dia hanya mengucap salam dan memberi kue, lalu pulang. Katanya sih, takut kemalaman. Anehnya malam ini dia tidak memberi kabar sedikitpun pada gue, kalau dia sudah sampai rumah atau belum. Biasanya tidak diharapkan pun, dia pasti memberi kabar. Tapi malam ini berbeda, sedikitpun dia tidak memberi kabar. Padahal waktu sudah menunjukkan pukul setengah sebelas malam, mungkin dia tidur?

Gue meletakkan handphone di atas meja dan langsung memejamkan mata, meski pikiran sulit diajak kerjasama. Mata gue kembali terbuka, menatap langit-langit kamar karena tidak bisa tidur. Yaya memang kurang ajar, kalau sudah sampai, beritahu dong! Gue kan jadi khawatir. Gue kembali mengambil handphone di atas meja dan hanya memandangi nomornya, tanpa ada keberanian untuk menekan. Masa harus gue sih, yang telepon duluan? Gengsi. Tapi gue khawatir kalau enggak telepon dia, takut dia kenapa-kenapa. Eh tapi gue harus berpikiran positif, enggak boleh yang negatif.

Drrrt! Drrrt!

Akhirnya, nomor yang sedari tadi gue tunggu muncul juga.

"Kemana aja sih, sampe baru nelpon sekarang?!"

"Lo nunggu telpon dari gue?" Kata Yaya yang dibuntuti oleh tawa mengejek diakhir kalimat. Gue menahan malu karena sadar, kalau sedari tadi gue menunggu kabar darinya. Ada apa sih, sama gue? Udah gila ya, sampai menunggu kabar dari dia begini. "Kay?"

"Tahu ah!"

"Kok marah?"

"Enggak kok,"

"Bohong!"

Karena kesal, gue menutup teleponnya secara sepihak. Sikap gue ini aneh, padahal tadi gue yang nungguin sampai susah tidur. Tapi saat Yaya menelepon, kenapa malah jadi gue yang marah? Ah sudah lah, mending gue tidur, apalagi besok harus sahur.

**

Pagi ini di kisaran jam tujuh, gue dan Aletta pergi ke pasar untuk membeli bahan bukaan. Jangan tanya kenapa sepagi ini kami membeli bahan belanjaan ke pasar, apalagi kalau bukan karena ibu. Katanya kalau pagi sayur-mayur itu masih segar, sedangkan jika sudah sore sayurannya layu bahkan sampai ada yang busuk. Kami berangkat ke pasar menggunakan motor, karena jaraknya yang cukup jauh. Selama diperjalanan, tidak banyak hal menarik yang gue lihat. Hanya segelintir orang lewat dengan tujuannya masing-masing. Ditengah kebosanan gue yang hanya melihat jalanan dan orang asing, tiba-tiba gue melihat Yaya yang lewat begitu saja dari arah berlawanan. Gue menautkan alis bingung, antara tadi itu salah lihat atau betulan Yaya.

Namun bayangan gue akan itu sekejap hilang, saat kami sudah sampai di pasar. Sebuah daftar belanjaan yang tidak terlalu panjang, dikeluarkan oleh Aletta. Setelah membaca daftar tersebut cukup lama, kami mulai mencari bahan sesuai dengan daftar. Dari mulai cabai, bumbu dapur, sayuran, sampai yang terakhir adalah ayam.

"Ayam seekor bang!" Kata gue sambil memilih ayamnya tanpa menoleh ke si penjual, begitu mata ini terarah padanya, gue terkejut saat melihat wajah Yaya dihadapan gue. Namun dalam satu kedipan, wajah itu langsung berubah menjadi wajah asli dari si penjual ayam. Dengan segala kebingungan yang memuncak, gue mengakhiri sesi jual-beli barusan. Gue menggandeng sebungkus belanjaan di tangan, sambil berjalan  ke depan ditengah kerumunan. Aletta membuntuti gue dibelakang dengan susah payah, namun berhasil mengekori gue sampai ke luar pasar.

Lalu kami melesat mengendarai motor sampai ke rumah. Seperti biasa, ibu sedang minum kopi santai sambil menonton TV. Sedangkan Aydan fokus dengan kegiatan menulis wattpad di laptop. Biarpun menurut gue menulis menggunakan handphone itu lebih praktis, Aydan tetap lebih suka menggunakan laptop. Karena katanya menggunakan laptop itu tidak membuat mata cepat lelah, apalagi jarak antara mata dan laptop bisa sedikit lebih jauh dibandingkan jika dengan handphone. Aydan itu salah satu author terkenal di wattpad, berbeda dengan gue yang baru merangkap menjadi author amatir.

"Cerita baru?" Tanya gue.

"Iya,"

"Tentang apa?"

"Tentang cowok bisu yang mencoba menafsirkan cinta lewat perbuatan,"

"Wuih, menarik tuh!" Dia hanya diam sambil terus melanjutkan aktivitas menulisnya. Karena merasa terabaikan, gue meninggalkan dia dan menaruh sayuran yang sudah gue beli tadi di atas meja makan. Oh iya, gue juga harus cek keadaan es krim yang gue beli semalam dan belum sempat gue makan. Semoga saja masih dalam keadaan utuh tanpa cacat sedikitpun, idih apaan sih Kay. Gue membuka pintu kulkas tanpa ragu dan seketika gue melihat Yaya sedang berjongkok sambil memamerkan senyumannya pada gue. Astaga, bahaya gue rasa gue sudah mulai jatuh gila. Buru-buru gue menutup pintu kulkas, tak lama kemudian, gue kembali melihat isinya. Ternyata kosong tidak meninggalkan sedikitpun jejak Yaya disana.

Sekali lagi gue melihat siluet sosok Yaya, bakal gue hajar habis tanpa tersisa. Gue meninggalkan kulkas dan menuju kamar, untuk menghilangkan sedikit halusinasi. Mungkin hawa panas di pasar, serta emosi karena sempat berdesakan, membuat pikiran gue sedikit kacau. Baru saja pikiran ini teralihkan dari Yaya, tiba-tiba sebuah telepon masuk darinya.

"Halo"

"Apa?"

"Udah belajar?"

"Lagi belajar."

"Gue ganggu?" Enggak sama sekali enggak Ya.

"Banget." Akhirnya sebuah kebohongan lah, yang berhasil lolos.

"Mau gue tutup aja, telepon nya?" Jangan dong, baru juga ngobrol.

"Tutup aja, lagian lo juga ganggu!"

"Oke."

Apalagi, setelah itu telepon ditutup menyisakan rasa sesal yang terus gue rutuki. Padahal dia enggak ganggu, kenapa gue harus se-ketus itu sama dia. Dia pasti sekarang lagi sakit hati banget, terlebih sikap gue tadi enggak sopan banget. Mau nya sih, menelepon dia lagi, namun rasa gengsi ini menahan untuk bertindak. Alhasil gue hanya bisa melempar handphone gue ke sisi kiri kasur, lalu tengkurap. Gue malu bersikap ketus seperti itu sama Yaya, tapi enggak tahu kenapa gue jadi lebih sensitif soal dia. Terutama tentang bayangan dia yang selalu tiba-tiba muncul seperti hantu.

Mungkin nanti malam akan gue coba telepon dia lagi, untuk sekedar meminta maaf atas kejadian barusan. Tapi pertanyaannya adalah, cukup berani kah gue melakukannya. Jangankan menelepon, chat duluan saja gue gengsi banget. Gue mengacak rambut gue frustasi karena dalam sekejap pikiran gue terus berkutat pada satu orang. Padahal gue cuma tinggal telepon dia atau minimal chat, terus sampaikan rasa bersalah dengan cara meminta maaf. Itu saja, kenapa rasanya jadi sesulit ini. Baru kali ini gue merasakan, kalau meminta maaf sesulit ini. Biasanya juga santai saja, bahkan tanpa berpikir lama dan panjang seperti ini.

**

Chapter 23, yuk mulai tebak-tebakan sekarang! Kira-kira sisa berapa chapter lagi menuju akhir, ya? Pokoknya pantengin terus cerita ini dan nikmati pelan-pelan alurnya! Terakhir nama saya greentea dan jangan lupa untuk selalu bahagia serta sehat tentunya!

🌟 = 💞

IPS 1 ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang