9

538 65 0
                                    

Hari Senin pukul 09.10 ini, gue cuma berbaring sambil nonton Drakor. Dua adik kembar gue sudah berangkat sejak tiga jam yang lalu, sementara ibu gue lagi nonton gosip di ruang keluarga. Pas lagi seru-serunya nonton, gue denger ada suara ribut di depan pagar rumah, dan ada juga suara deru banyak motor yang perlahan-lahan mulai menghilang. Penasaran pengen tahu sih, enggak ada, cumanya itu segerombolan orang suaranya ganggu banget. Sampai suara laptop gue jadi kalah. Ibu melewati depan pintu kamar gue dan keluar menuju pagar rumah. Bersamaan dengan itu, suara segerombol orang tadi jadi mulai mereda, mungkin karena di marahin ibu?

"Kay," panggil ibu saat sudah diambang pintu kamar gue.

"Kenapa Bu?"

"Tuh, ada temen-temen kamu. Katanya mau nengokin, keruang tamu sana!" Perintah ibu tidak terbantahkan, membuat gue kaget setengah mati dan menutup laptop kemudian berjalan pincang menuju ruang tamu. Gila, ini sih, hampir satu kelas jengukin gue! Herannya kok, mereka bisa dapat ijin sih? Kedatangan mereka yang udah kayak mau tawuran, membuat ruang tamu gue sempit dipenuhi oleh setengah dari jumlah mereka. Setengahnya lagi ada diteras, sambil kipas-kipas dan ketawa-ketawa enggak jelas.

"Sini Kay," ujar Teresa yang sedikit bergeser agar gue bisa duduk.

"Iya, btw kalian ngapain kesini semua?" Tanya gue yang sedang berjalan dan dibantu oleh Dara, setelah gue duduk, barulah Daniel menjawab pertanyaan gue.

"Jengukin lo, lah,"

"Kok bisa dapat ijin, sih?"

"Atuh santuy, kan kita punya Lia, si rich girl. Tinggal sogok guru piketnya, terus bisa Dispen satu kelas deh,"

"Ngaco, deh, Yaya kemana? Enggak ikut?"

"Dia ada persiapan lomba silat tingkat provinsi, kay."

"Emang dia ikut silat?"

"Iya, emang Lo enggak tahu?"

"Enggak tuh, sejak kapan?"

"Sejak paud," mata gue berotasi dan buang muka secepatnya, karena gue males liat muka Daniel.

"Nih, biskuit Roma satu bungkus buat Lo, oleh-oleh dari kita semua nih." Kata Gama sambil menyodorkan biskuit Roma yang sudah terbuka dan tidak lengkap lagi isinya.

"Yeee, paan nih, masa oleh-oleh bekas sisa comotan lo pada?"

"Biasa, anak kelas kita kan mulutnya celamitan. Maklum, anak miskin enggak bisa beli biskuit."

"Mulut lo minta gue sobek, Gam?" Sahut Dara.

"Mau dong, di sobek kamuh."

"Jijik ih, pergi ajah deh lo Sono Gam. Dasar setan terkutuk!"

"Ya udah gua pergi nih,"

"Silahkan!"

"Biasanya nih, kalau di drama-drama, cowoknya belum ada ngelangkah 3 meter pasti udah di cegah." Kemudian si Gama jalan, tapi dia tiba-tiba berhenti di sekitaran jarak 5 meter. "Njeeer, Dara kagak ada niatan narik tangan gue apa?"

"Yah enggak lah."

"Eh, Dar,"

"Apa Kay, kaki lo sakit?"

"Bukan, lo enggak ada niatan mau jadian sama Gama gitu?"

"N-A-J-I-S."

Kita semua yang ada di ruangan itu spontan ketawa ngakak, kecuali Dara dan Gama. Heran, dari kelas 10 sampai sekarang, kerjaaanya berantem terus. Mending mereka pacaran dah, biar tentrem dunia.

"Ngobrolin apa nih, seru banget?"

"Yaya?" Seru gue enggak percaya, bukannya dia lagi ada latihan untuk lomba silat tingkat provinsi?

"Idih, sok jadi pemeran utama banget lo. Tiba-tiba nongol dan rela ninggalin latihannya, demi lihat sang pujaan hati yang sedang sakit." Ujar putra yang sedang duduk di lantai.

"Bacot." Yaya melempar tatapan sinis untuk Putra, kemudian banting lirikan kearah gue. "Kaki lo gimana?"

"Udah baikan, kok, lo ngapain kesini? Kan harusnya latihan?"

"Enggak papa, gue lagi males latihan ajah."

"Nanti kalah loh,"

"Enggak mungkin kalah gua mah,"

"Oh itu mungkin banget Ya, secara lo kan, letoy."

"Aduuuuh mulutnya mbak, hati-hati kalau bicara. Jangan sampe jejeran sepatu di depan rumah nabrak tuh mulut." Gue Ketawa dikuti Yaya.

"Dunia seakan milik berdua, kita bercanda dan tertawa. Kau buat aku bahagia."

"Asyik mang Daniel! Sindir teroooos, orang yang menganggap dunia milik sendiri."

"Sumpah deh lo, Put, bikin gue darah rendah ajah."

"Darah tinggi Yaya! Bukan rendah!" Kata gue ngegas.

**

Sore hari setelah mereka pulang, rumah gue jadi kacau balau. Banyak sisa-sisa sampah makanan yang mereka tinggalkan, bikin ibu jadi kecapekan. Belum lagi dua adik kembar gue si Aydan dan Aleya yang ngedumel enggak karu-karuan. Gue enggak ikut bantu, karena kalian tahu sendiri kaki gue lagi diperban, belum lagi bengkak di kaki gue yang belum juga hilang. Dijenguk oleh warga IPS 1, bikin gue pengen cepetan sembuh dan sekolah lagi. Disaat-saat begini, gue jadi kangen sekolah, tempat gue menghabiskan hampir seluruh waktu gue. Tempat dimana gue selalu merasa senang dan sedih di satu waktu yang sama.

IPS itu enggak melulu tentang nakal, enggak melulu juga tentang solidaritas. Semua itu ada porsinya masing-masing, ada saatnya kami solid, dan ada saatnya kami bodo amat. Banyak hal yang mau gue kenalin ke kalian tentang kelas gue, supaya kalian tahu kalau IPS itu yah begini. Kadang apa adanya, kadang juga munafik. Sekali lagi, selamat datang di IPS 1.

**

Semoga chapter selanjutnya lebih bagus dan lebih panjang!

Fighting!

Work hard!

IPS 1 ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang