Bagian 1

7.1K 273 2
                                    

Aku kembali berlari ke kamar kecil. Muntah lagi. Isi perutku sedang tawuran. Sudah tujuh kali aku bolak-balik ke ruangan itu. Rasanya aku ingin mendekam saja di ruangan itu.

Aku memutar keran di wastafel. Mencuci tangan, juga sekalian membasuh wajah. Aku tersentak ketika tiba-tiba mendapati ibu mertua berdiri di belakangku.

"I-ibu kapan datang?" tanyaku. Perasaanku tidak enak, melihat senyum mengembang di wajah ibu mertua.

"Mual ya?" tanya Ibu. Lebih terdengar seperti sedang menggoda.

Aku mengangguk ragu. Beberapa pikiran kurang sedap seliweran di kepala.

"Ibu kok gak bilang kalau mau ke sini? Kan Ale...,"

Kalimatku menggantung. Bibirku tiba-tiba terkunci ketika ibu mertua dengan gesit memotong kalimatku.

"Ayo istirahat, kamu gak boleh capek-capek." Seraya meraih tanganku.

"Kamu duduk di sana, ibu ambilkan air hangat."

"Ibu gak usah." Aku berusaha mencegahnya.

"Ssst..."

Aku mati kutu. Mau tidak mau menurut saja.

"Suamimu jam segini kok belum pulang?" tanya Ibu usai melirik jam di dinding, pukul 17.20, sambil menyerahkan segelas air hangat kepadaku.

Aku menerimanya. Mualku kini sedikit reda. Kalah oleh cemas yang ganas.

"Lembur katanya, Bu," jawabku sambil menyeruput air hangat pemberian ibu.

"Dia harusnya mengurangi kerjaannya itu. Harus banyak waktu buat kamu. Kamu lagi kayak gini kok ditinggal lembur."

"Bu...,"

"Sudah, biar nanti ibu yang ngomong sama dia."

"Gak usah, Bu. Alesha gak apa-apa kok."

"Dia itu emang bandel, punya istri kayak kamu yang iya-iya aja, makin seenaknya ajalah dia itu. Kalian itu sudah nikah dua tahun, dan sekarang kamu sedang hamil begini, kalau ibu gak ngasih pengertian ke dia, mana ngerti dia. Kerja, kerja, kerja aja yang ada di pikiran dia itu."

DEG. Jantungku nyaris berhenti berdetak detik itu juga. Kata "hamil" bak anak panah yang melesat cepat tanpa diduga-duga dan langsung mendarat tepat di jantung.

"Pokoknya nanti ibu ngomong ke dia, dia harus lebih perhatian ke kamu. Banyak waktu buat kamu. Kalian juga sudah waktunya punya asisten rumah tangga. Jangan semuanya kamu yang kerjakan. Kamu itu kan juga ringkih. Gampang banget sakit. Yang masuk angin lah, mag-lah, asam lambung naik lah, sariawan lah, ada aja sakitnya..."

"Bu, Alesha gak hamil."

Perempuan setengah baya itu seketika terdiam. Matanya membola.

Aku menggigit bibir. Aku tahu, kalimat yang meluncur dari bibirku baru saja melukai hati ibu. Tapi, aku harus mengatakan yang sebenarnya. Aku tidak ingin ibu mertuaku semakin berharap, karena nantinya akan hancur juga oleh harapan itu sendiri.

"Ma-maksud kamu?" tanya ibu mertuaku lagi. "Kamu belum ngecek?"

"Belum, Bu," jawabku pelan sembari menggeleng.

"Oh, yaudah kita cek saja. Ibu yakin kamu pasti hamil kali ini." Ibu kembali bersemangat.

"Alesha baru selesai haid kemarin, Bu." Aku menunduk. Amat merasa bersalah.

Wajah perempuan lewat setengah abad itu terlipat.

***

"HAHHAHAA..." tawa renyah Hana melambung tinggi menembus langit-langit dapurnya.

Aku merengut. Aku baru saja menumpahkan kegundahan hatiku. Bukan sedang berbagi cerita lucu. Tapi, seseorang yang mengaku sahabatku itu malah terpingkal-pingkal. Menertawaiku.

Hana mematikan kompornya. Menuangkan seblak yang baru selesai dimasaknya, ke dalam mangkuk. Disodorkannya ke hadapanku. Dia kemudian menarik sebuah kursi di depan. Duduk manis menopang dagu.

"Terus-terus?" Hana masih penasaran.

"Ya, ibu minta pulang, jam 10 malem dianter Wikan." Aku masih manyun. Tanganku sibuk memutar-mutar sendok. Seblaknya masih panas.

"Lo udah cerita ke Wikan? Tanggepan dia gimana?"

"Dia bilang, dia yang akan ngurus ibunya."

"Lagian gimana mau hamil kalau gak pernah tidur bareng." Goda Hana sambil menarik ujung jilbabku hingga menutupi wajahku.

"Hanaaaaaaa.....,"

"Hahahaa, sstt....jangan teriak-teriak, anak gue tidur."

"Reseh lo ah,"

"Udah gih, dimakan seblaknya, lo tadi ke sini pengen makan seblak bikinan gue, kan?"

"Tapi elo ngajak ribut."

"Kok gue?"

"Bodo ah .... " Aku mulai menyendok seblaknya.

Hana melengos menahan tawa. Dia membuka kulkas. Mengambil sebotol air putih.

"Emang selama dua tahun pernikahan aneh kalian, yang banyak list kontrak dan sandiwara itu, gak pernah ada niatan bercinta gitu? Wikan gak jelek-jelek amat kali, Le,"

Uhuk. Uhuk.
Aku tersedak seketika. Buru-buru kutuangkan air dingin ke dalam gelas.

"Maaf, Le, keceplosan. Tenaaaaaang, tetep cuma Tuhan dan gue kok yang tau."

Hana kembali tertawa. Menyebalkan.

Menikah dengan Wikan tak pernah terbersit dalam benakku. Tak ada pacar-pacaran. Tak ada kata cinta. Tak ada makan malam romantis. Semua hanya kepura-puraan.

Maka, ketika keinginan dan pertanyaan ibu tentang "kapan hamil" semakin menggebu-gebu, semakin aku ingin terbang ke bulan. Hilang. Tak bertemu penduduk bumi.

***

Perempuan Penyuka Es TehTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang