Bagian 34

3.3K 314 53
                                    


Kepala Damar terangkat. Sudut bibirnya sedikit robek. Berdarah.

Wikan masih berdiri dengan tatapan entah.  Sekilas tampak seperti siap menghajar Damar sekali lagi. Aku tidak tahu apa yang sedang bersarang di pikirannya saat ini. Namun, dari sepasang matanya, marahnya masih terbaca.

Meski diburu rasa ingin tahu perihal apa yang membuat Wikan tiba-tiba datang, bagaimana dia bisa tahu aku di sini hingga melayangkan sebuah tinjuan ke wajah Damar, aku tak jua bersuara. Tak ada satu kata pun keluar. Semua tertahan di tenggorokan.

"Wow!" Damar bangkit. Sedikit terhuyung namun dalam sekejap kembali tegak. “Rasanya gak jauh beda sama yang dulu.”

Damar meludah. Mengusap sisi bibirnya yang sedikit berdarah. Aku menatapnya iba. Namun, terheran-heran dengan sikap dan pernyataannya.

"Untuk apa ini, Wikan?" Damar menyeringai.

Mereka berhadapan. Aku menelan ludah. Takut Damar balas menyerang Wikan. Takut terjadi keributan yang semakin tidak kuinginkan.
Untung saja tetangga dekat kontrakan sedang bepergian. Jika tidak, kami pasti sudah menjadi tontonan. Dan itu sungguh memalukan.

"Untuk sesuatu yang seharusnya gue lakukan sejak kemarin-kemarin," jawab Wikan tenang.

"Lalu, kenapa baru sekarang?"
Aku memperhatikan Damar. Aneh.

"Mungkin sedikit terlambat, tapi ini adalah waktu yang paling tepat."

Aku menatap Wikan. Kali ini dia tampak jauh lebih tenang. Lebih bisa menguasai diri. Aku terus menatapnya hingga dari sisi lengannya sosok perempuan tak asing terlihat berdiri di belakang. Berpegangan teralis pagar.

Aku hampir tak percaya dengan apa yang baru saja kulihat. Rasa hatiku semakin campur aduk tak karuan. Jadi, dia yang membawa Wikan ke sini?

“Lo marah gue bohong sama lo soal keberadaan Ale?” Damar tersenyum kecut.

“Lebih dari itu.”

Aku menatap mereka bergantian.

“Gue lakuin semua buat Ale. Gue nyesel pernah ngebiarin dia nikah sama lo. Harusnya dulu gue gagalin pernikahan kalian. Harusnya Ale sama gue. Gue bisa bikin dia lebih bahagia. Bukan dibuang seenaknya gini!” Damar meninggikan suaranya.

Aku bergidik takut. Tapi ada bagian hatiku yang senang mendengarnya. Terharu.

Dan, perempuan di sisi pagar itu mendekat. Aku ingin sekali mengobok-obok wajahnya. Gregetan.

“Ale gak pantes buat lo,” ujar Wikan.

“Ale lebih gak pantes buat lo! Laki-laki brengsek yang bisa-bisanya punya pikiran ngebuang berlian buat mungut sampah!” sergah Damar galak.

Tangan Wikan mengepal. Mungkin masih gatal ingin meninju sekali lagi. Namun, satu tepukan pelan di pundaknya berhasil meredam amarah. Perempuan itu kini berdiri di sisi Wikan. Aku menatapnya kesal. Awas saja!

“Harusnya gue yang ngehajar lo buat Ale. Buat semua rasa sakit dan air mata yang udah kebuang sia-sia. Buat hari-hari berat yang dia laluin sendiri. Pernah lo mikirin perasaan dia? Pernah lo mikir kalo kelakuan lo udah nyakitin dia, hah?”

Aku menghela napas. Damar, terima kasih sudah memberikan perhatian sedalam ini.

“Saat Ale nangis sendirian lo kemana? Saat dia lelah butuh sandaran lo kemana? Lagi pacaran? Seneng-seneng sama perempuan lain? Masih berpikir kalo lo pantes buat Ale?”

Aku menarik napas dan memejamkan mata sejenak. Mengingat beberapa hari berat ke belakang.

“Sekarang lo cukup angkat kaki dari sini. Bebasin Ale. Berhenti tarik-ulur dia. Ale juga berhak bahagia.”

Perempuan Penyuka Es TehTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang