Bagian 14

2.3K 191 11
                                    

Aku pamit pulang. Ibu sama sekali tidak keberatan.

"Kamu mandi, istirahat di rumah. Nanti Ibu pulang sama Wikan aja." Senyum Ibu tersungging manis. Aku mengangguk.

Entah sedang pura-pura menahan sakit atau Ibu memang sedang dalam kondisi baik, tetapi keyakinannya untuk pulang hari ini begitu kuat.

"Pokoknya kamu gak boleh capek-capek," imbuh Ibu. Aku mengangguk lagi. Mencium punggung tangannya. Ibu memelukku.

"Ibu sayang kamu, jangan pernah lagi berpikir buat ninggalin Ibu ya," bisiknya lirih.

Aku tidak pernah membayangkan bahwa semua akan serumit ini sekarang. Andai bisa aku mengembalikan waktu, aku tidak akan pernah menyetujui pernikahan konyol ini. Yang kusesalkan bukanlah diriku yang kemudian terabaikan dan terbuang, akan tetapi perasaan Ibu. Entah bagaimana rasa kecewa yang harus ditanggungnya akibat semua ini.

Wikan menyusulku saat aku tiba di depan pintu.

"Yakin gak mau dianter Pak Kadir?"

Aku mengangguk. Dia mengusap kepalaku. Tatapan mata kami bertemu. Tak lama, aku berbalik badan setelah kembali berpamitan. Melangkah meninggalkannya yang berdiri di depan pintu.

"Le .... "

Baru beberapa langkah, dia memanggilku. Aku menoleh. Dia menghampiriku.

"Boleh aku minta satu permintaan lagi?" Lagi-lagi dia menatapku.

Aku mengangguk ragu.

"Tetaplah berada di sisi Ibu apa pun yang terjadi di antara kita nanti." Sepasang matanya berkaca. Astaga.

"Kamu gak perlu memintanya, aku sudah pasti akan melakukannya dengan senang hati." Aku menepuk lengannya pelan. Senyumku kupaksakan mengembang lebar.

"Makasih ya, Le." Dia memegang lembut jemariku. Mengecupnya pelan.

***

"Lo tetep mau cerai sama Wikan?" tanya Hana penuh selidik. Sorot matanya tajam seperti hendak menerkamku hidup-hidup. Aku memutuskan mampir ke rumahnya saat perjalanan pulang. Aku butuh pendengar untuk segala resahku.

"Kalian gila!" Kali ini aku menunduk. Aku terlalu kerdil untuk menghadapi tatapan tajamnya.

"Lo liat sekarang apa yang terjadi? Mertua lo sampe nangis mohon-mohon kayak gitu, sekarang terbaring lemah di rumah sakit dan kalian tetep kekeuh mau pisah? Plis, Le, cukup sekali lo bertindak konyol, jangan lo ulangi." Dia tampak begitu geram. Kalimat-kalimatnya penuh penekanan dengan nada suara yang cukup tinggi.

Kadang, aku datang untuk menumpahkan gundah, namun malah aku yang harus lebih banyak mendengarkan. Tak jarang dia menanggapiku dengan marah yang membara atau tawa menggoda. Hebatnya, apa pun reaksinya, aku tidak pernah merasa perlu marah dan terluka. Dia satu-satunya makhluk hidup ternyaman tempatku meluapkan segala rasa.

"Lo kepikiran gak gimana reaksi orang tua lo kalo mereka tahu ini? Lo bukan manusia yang lahir dari batu, Le. Hal-hal yang lo anggep biasa atau lo pikir bisa lo hadapi sendiri, bisa jadi itu menjadi luka buat mereka."

Pikiranku mengembara ke dua sosok paling berharga dalam hidupku. Ayah dan Bunda. Aku bahkan abai pada mereka. Benar kata Hana, ada hati kecewa penuh luka akibat ini. Lalu, bagaimana nanti aku akan menghadapi mereka?

Aku ingat pertama kali Wikan menjabat tangan Ayah. Menyebut namaku dan Ayah dengan lengkap. Sempat kulihat setitik air di sudut mata Ayah, sesaat setelah dua orang di kanan dan kirinya mengucapkan kata "sah".

Ayah memeluk Wikan lama sekali, saat itu. Tak banyak berkata-kata. Aku hanya mendengarnya lirih memberi pesan, "Tolong jaga Alesha untukku". Hanya itu, tapi begitu lama Ayah memeluknya.

Perempuan Penyuka Es TehTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang