Hari ke-enambelas tanpa si tukang nonton drama korea di rumah, rasanya anyep.
Langit masih cerah saat aku tiba di rumah. Masih pukul 17.00. Sengaja aku pulang cepat. Berharap Alesha sudah duduk manis di sofa sambil meminum secangkir coklat hangat.
Aku menghempaskan tubuh di sofa. Kepalaku penuh dengan sosok Alesha. Semua kebiasaan-kebiasaannya di rumah ini terekam apik dalam memori. Tidak bisa ku lupa begitu saja.
Sekarang, aku tidak tahu kabarnya. Tidak tahu keberadaannya. Dia menghilang. Menyisakan tanya. Apakah aku juga diingatnya seperti aku mengingatnya sepanjang hari ini?
Nomor teleponnya tak pernah aktif. Tak terhitung sudah berapa kali aku menghubunginya. Satu-satunya orang yang ku percaya mengetahui keberadaannya, tak bersedia memberitahuku. Aku buntu.
"Ale butuh waktu buat sendiri," ujar Hana kemarin, saat aku mendesaknya.
"Setidaknya, kasih tahu gue di mana dia. Gue cuma pengen liat keadaan dia."
"Gue gak bisa ngasih tau lo." Hana masih kekeuh tak mau berbagi informasi denganku.
"Ngeliat dia baik-baik aja, itu udah cukup buat gue, Han. Please, kasih tau di mana dia." Aku benar-benar memohon pada Hana.
"Dia baik-baik aja."
"Gue pengen liat langsung."
"Gimana ya Wikan, gue udah janji sama Ale. Gue gak bisa ngebantu banyak hal buat Ale selama ini, tapi setidaknya gue bisa dipercaya. I'm so sorry, Wikan."
Aku berhenti memohon pada Hana. Aku baru mengerti, kenapa mereka bisa tetap tersahabat baik hingga kini. Mereka saling menjaga.
Sebuah dering gawai membuyarkan lamunku. Sebuah nama muncul di layar. Erika. Kubiarkan saja.
Entahlah, kupikir aku dan Erika sudah berakhir jauh hari. Namun, sekuat apapun aku menghindar, Erika selalu punya cara untuk mendekat.
"Ibu gak bisa nerima kamu lagi," ucapku lemah kala itu. Erika menggenggam lembut jemariku.
"Sepertinya kita memang harus berakhir." Aku menunduk. Hatiku begitu berat melepasnya untuk kedua kalinya.
Di halaman rumah sakit saat itu, Erika memelukku. Membayangkan tubuh lemah Ibu di salah satu ruangan rumah sakit, hatiku hancur. Tatapan matanya sesaat setelah memintaku meninggalkan Erika begitu menyayat hati. Bagaimana aku bisa terus bertahan dengannya jika Ibu, perempuan yang paling kucintai tak berkenan merestui.
Saat itu, kupikir kami sudah benar-benar berakhir. Pelukan itu adalah pelukan terakhir. Nyatanya, satu minggu setelah saling tak memberi kabar, dia datang lagi.
"Jangan sampai Ibu tahu tentang hubungan kita sekarang, kita pikirkan rencana lain setelah kondisi Ibu membaik."
Aku tak mengiyakan tak juga menyanggah. Aku pasrah. Mengikuti maunya.
Namun, semakin jauh kami melangkah, aku semakin tidak mengenal Erika. Dia semakin asing bagiku.
"Kamu ngajak aku makan di sini?" Aku menghentikan laju mobilku di depan rumah makan sederhana kala itu. Rumah makan yang terkenal dengan soto babatnya. Aku memang belum bertanya dengannya sebelumnya. Aku langsung mengambil keputusan tanpa meminta persetujuannya.
Namun, bertanya pun rasanya percuma. Erika selalu menjawab, "terserah kamu". Namun, setiap aku berhenti di tempat makan yang kuingini, kepala Erika langsung bertanduk. Dan, itu tidak hanya sekali. Berkali-kali. Rasanya tidak ada makanan yang cocok kami makan berdua.
Apakah perempuan memang tercipta super ribet begitu ketika ditanya mau makan apa? Jawab 'terserah', namun selalu marah. Tapi, Alesha tidak. Dia jenis perempuan yang sering langsung jawab cepat tepat saat ditanya mau makan apa. Apakah perempuan yang segolongan dengan Alesha memang langka?

KAMU SEDANG MEMBACA
Perempuan Penyuka Es Teh
RomanceBagaimana aku bisa memenuhi rengekan ibu mertua tentang cucu sementara pernikahanku dan Wikan hanya sebatas status di Kartu Keluarga? Aku masih menggenggam erat cinta masa lalu. Wikan masih terhujam kisah yang lalu. Kami sama-sama tak lagi percaya p...