Bagian 9

2.3K 187 8
                                    

Sudah hampir subuh. Aku masih terjaga.

Entah mengapa, aku merasa begitu sesak di dada. Tangisku tumpah tak tertahan. Seperti baru saja ada yang terenggut. Namun aku tidak bisa apa-apa selain pasrah.

Keinginan sepihak Wikan untuk mengakhiri semua sandiwara ini ternyata begitu mengiris hati. Perih sekali.

"Bantu aku ngomong baik-baik sama ibu ya?" katanya semalam.

"Aku datang baik-baik ke orangtuamu, aku akan pulang kan kamu dengan baik-baik pula." Wikan mengelus kepalaku. Aku tersenyum. Kupaksa selebar mungkin. Mengangguk pelan.

"Maafin aku, aku ingkar janji untuk menua bersamamu." Dia menggenggam erat jemariku.

Aku menarik napas dalam. "Jangan kuatir, semuanya akan baik-baik saja."

"Terima kasih buat semuanya, Le."

"Terima kasih juga selalu nemenin makan. Menumbuhkembangkan lemak-lemak di badan." Aku mencoba bercanda untuk menetralkan suasana. Untuk meredam luka yang menghujam semakin dalam.

Dia tersenyum lebar. Aku juga. Aku menatapnya. Selalu suka melihat senyumnya.

"Aku gak bakal kenal sama tukang ketoprak kalo gak ketemu kamu," katanya.

Aku tertawa. Dia tertawa. Kami tertawa. Dan, sepanjang malam tertawa membahas para penjual makanan yang sering menjadi pelabuhan perut kami yang gampang kelaparan.

Namun, begitu masuk kamar ketangguhanku runtuh. Aku hancur berantakan. Aku yang selalu bilang tidak mencintainya, nyatanya merasa nyeri ketika akan ditinggalkannya.

"Kamu gak perlu buru-buru keluar dari rumah ini, ini masih rumah kita, sampai nanti saatnya tiba." Kalimat terakhir Wikan terus-menerus menggerus hatiku.

***

Pagi-pagi ketika Wikan berangkat kerja, aku sama sekali tak keluar kamar. Aku tidak ingin Wikan mendapati mataku sembab usai menangis semalaman. Dia tidak boleh melihatku hancur.

Aku meraih ponsel, kubuka menu galeri foto. Isinya penuh dengan foto makanan dan Wikan. Aku hobi memotret makanan pinggir jalan. Itulah sebabnya, setiap akan makan dengannya, dia selalu bertanya, "difoto dulu gak?"

Yang lainnya adalah foto Wikan. Aku suka memandangi punggungnya. Kadang, aku diam-diam memotretnya saat akan berangkat kerja. Saat dia berdiri membuka pintu mobilnya. Saat dia memasak di dapur. Saat dia memesan ketoprak dan asyik mengobrol dengan tukang ketoprak di samping gerobak.

Aku suka memotretnya diam-diam. Saat dia makan. Duduk minum kopi. Asyik bermain game di gawainya. Tertidur di sofa. Menyiram bunga. Mencuci piring. Bersepeda.

Satu tahun pertama pernikahanku dengannya, aku jarang sekali bertemu dengannya di rumah. Rumah ini sudah seperti rumah pribadiku sendiri. Wikan terlalu sering ke luar kota. Urusan bisnis. Urusan hobi bersepedanya dengan teman-temannya.

Tiga bulan terakhir, dia selalu pulang tak kurang dari pukul delapan. Kadang sore pun sudah di rumah. Sesekali pulang jam sembilan. Lalu, mengajak makan ini-itu ke sana - ke mari.

Aku sadar, porsiku hanya sebatas seseorang yang menemaninya. Seseorang yang selalu ada. Seseorang yang akan tetap mendukungnya. Bukan seseorang yang mencintai dan dicintainya. Itulah kenapa aku sendiri bertanya-tanya, mengapa aku bisa terluka begitu hebatnya.

***

"Jadi kalian mau cerai?" Hanna setengah berteriak. Aku bisa membayangkan ekspresi terkejutnya yang harus dia tahan karena anaknya baru saja tidur di pelukannya.

"Gila sih ini, gila. Gak setuju gue, Le," serunya.

"Perceraian ini gak butuh persetujuan lo juga, Han," kataku agak datar.

Perempuan Penyuka Es TehTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang