Bagian 15

2.3K 204 12
                                    


Aku menyusuri lorong rumah sakit tanpa gairah. Aku benar-benar kehilangan selera melanjutkan hidup sebagai diriku sendiri. Rasanya aku ingin hijrah ke planet lain, datang dengan identitas baru, bertemu orang-orang baru, menciptakan suasana baru. Bahkan, sempat terbit harapan, agar di suatu jalan kepalaku terbentur tiang, lalu hilang ingatan.

Entah sudah berapa puluh kali Wikan memanggilku via sambungan seluler. Aku mengabaikannya. Pesan teks yang terakhir kubaca isinya kurang menyenangkan. Aku bisa membayangkan ekspresi wajah kesalnya saat menyentuh satu per satu huruf di layar gawainya hingga menjadi rangkaian kalimat menyeramkan bagiku.

[Apa yang terjadi antara kamu dan Erika?]

Aku tidak membalasnya. Perempuan itu entah mengadu apa pada Wikan. Tapi, bisa kupastikan Wikan sedang berapi-api saat mengirimiku pesan teks itu. Maka, apa pun yang kujelaskan takkan berarti apa-apa. Dia hanya akan membaca tanpa mencerna. Tanpa memahami. Tidak akan mengerti. Untuk itulah aku memilih abai pada pesan-pesannya.

[Angkat teleponnya, aku mau bicara!]

Dering gawaiku tak pernah berhenti setelah menerima pesan teks itu. Dia juga tak bosan-bosannya menghubungiku. Berkali-kali aku menarik napas. Berusaha menenangkan diriku sendiri. Wikan pasti marah besar.

Jika bukan karena kemudian Ibu memintaku datang ke rumah sakit, aku pun rasanya enggan mendatangi tempat ini.

Aku bukan takut menghadapi Wikan. Aku hanya tidak suka berada di kondisi seperti ini. Ketika segala pembelaanku tidak akan bermakna apa-apa. Ketika apa pun yang kukatakan dan kulakukan adalah salah. Dia tidak akan pernah mendengarkanku. Itu menyebalkan sekali.

BUKKK ....
Tubuhku sedikit terdorong ke belakang usai tak sengaja bertabrakan dengan sesuatu. Ah, seseorang. Ya, aku bertabrakan dengan seseorang.

Sepasang mataku terpaku sejenak pada sepatu yang dikenakan seseorang di depanku. Seseorang yang baru saja bertabrakan denganku. Sepatu laki-laki. Perlahan, merangkak naik. Menemukan wajah yang teramat tidak asing bagiku. Senyum mengembang dari wajahnya.

"Mas Davin?" Aku terkejut. Benar-benar terkejut.

Dia hanya tersenyum. Tatapannya tajam menyusuri ujung jilbab hingga sandal jepit yang kukenakan.

"Aku selalu suka ngeliat kamu pake jilbab warna abu-abu begini," ujarny.

Aku semakin terkejut. Bisa-bisanya dia malah mengomentari jilbab abu-abuku sambil memandangku dengan tatapan berseri-seri itu. Apa dia tidak tahu, bagaimana jantungku berpacu begitu hebat setiap ditatapnya seperti itu.

"Kok malah ngomongin jilbab?"

Mas Davin lagi-lagi tersenyum. Lebar. Kedua bahunya terangkat.

"Kamu cantik pake jilbab warna ini."

Ah, Mas Davin. Perempuan mana yang tidak meleleh jika dipuji laki-laki pujaannya.

"Mas Davin kok masih di sini, katanya siang ini pulang." Aku mencoba mengalihkan topik. Berusaha menata sendiri ketenangan dalam hatiku.

"Kamu ngusir?"

"Iss, bukan. Aku cuma nanya kenapa masih di sini? Emang gak jadi pulang?"

"Nungguin kamu katanya mau ketemu Mama, eh gak dateng-dateng."

"Eh, serius, Mas?" Sepasang mataku membola menatapnya. Dia malah malah senyum-senyum.

"Hemmm .... " Sebuah suara deheman seseorang tiba-tiba mengagetkanku. Datang dari sisi kiriku dan Mas Davin yang tengah berhadapan. Aku dan Mas Davin pun menoleh kompak.

Perempuan Penyuka Es TehTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang