Bagian 18

2.5K 244 17
                                    

Setelah beberapa malam berlalu, akhirnya Ibu diizinkan pulang. Ibu tampak jauh lebih sehat. Tak lagi pucat. Lebih bersemangat.

Setelah dua malam menginap di rumah Wikan, Ibu memilih kembali ke rumah induknya. Tak banyak kata terucap saat perpisahan. Hanya memelukku erat dan begitu lama larut dalam keheningan.

"Terima kasih untuk tetap di sini. Ibu sayang kamu."

Hatiku berantakan mendengar itu. Mataku berembun. Kupeluk Ibu lebih erat.

"Ale juga sayang Ibu," balasku lirih.

"Ibu janji, Ibu gak akan mengungkit-ungkit lagi soal anak. Tapi, kalau Allah nitipin amanah itu ke perut kamu, Ibu bersyukur banget." Aku melepas pelukan itu perlahan. Wajah sumringah Ibu terlihat jelas. Aku menarik satu lengkungan di bibirku. Agar tak mengecewakan Ibu.

"Kamu jaga kesehatan, ya." Ibu membelai pipiku. Ah, Ibu, harusnya aku yang mengatakan itu. Aku pun mengangguk. Memeluk Ibu sekali lagi.

"Ibu harus sehat, ya," lirihku.

Di sini, hujan sedang senang berkunjung di kala sore. Hingga malam, rintiknya tak kunjung usai. Wikan semakin banyak lembur. Pulang saat aku sudah lelap tertidur. Lalu, berangkat pagi-pagi sekali sebelum aku keluar dari kamar. Kadang, malah menginap di kantor. Satu minggu sejak kepulangan Ibu, aku sama sekali belum bertemu dengannya lagi. Dia hanya mengirimiku beberapa pesan singkat. Menanyakan keberadaanku. Mengingatkanku makan. Mengabariku bahwa akan pulang larut atau pun tidur di kantor. Aku hanya mengiyakan. Kadang, hanya membaca pesannya. Tak pernah kubalas. Sudah biasa.

***

"Bagusan  ini atau ini?" Hana menunjukkan dua helai baju. Di tangan kanan setelan atasan katun tanpa lengan berwarna putih berenda di bagian leher, dan bawahan rok berbahan jeans, cantik. Sementara, tangan kirinya memegang dress berwarna pink tangan panjang dengan bahan kaos impor. Dua-duanya seukuran anaknya.

"Dua-duanya bagus," jawabku.

"Percuma gue nanya ke elo." Hana berbalik badan. Menenteng dua stel baju. Aku nyengir. Membuntutinya sembari mendorong stroller, anaknya sedang tidur.

Sudah hampir tujuh puluh menit, aku dan Hana berkeliling mal. Menjelajahi bermacam-macam toko. Mulai dari toko sepatu - sandal, tas,  pakaian, bahkan toko elektronik. Aku sudah mirip Babysitter Hana, berjalan di belakangnya sembari mendorong stroller anaknya.

Namun, hal ini cukup menghiburku. Setidaknya, aku tidak semakin kusut karena menghabiskan waktu di depan layar raksasa yang menayangkan mini seri keluarga yang isinya selingkuh atau diselingkuhi, yang akar masalahnya hanyalah harta, lalu bertukar nasib, si miskin jadi kaya, si kaya jadi melarat lalu sekarat. Selalu begitu.

"Le, si Damar ke sini jam berapa?" tanya Hana tanpa menoleh, sepasang matanya sibuk menatap jajaran gaun-gaun balita nan lucu menggemaskan.

Aku sudah menceritakan perihal aku yang tak sengaja bertemu Damar di rumah sakit. Damar sempat meminta nomor ponselku. Beberapa hari ini, Damar aktif menghubungiku. Salah satunya, mengajakku makan bareng. Maka, siang ini kukabulkan, dengan mengajak Hana juga. Hana pun menyambut antusias.

"Katanya sih lagi on the way," jawabku.

"On the way ke mana? Ke sini atau ke kamar mandi?"

"Hahahaha, itu mah lo!"

"Lo banget lah!"

"Hahahaha, kalo cuma mau ketemu lo, gue malah kadang gak mandi." Aku terkekeh.

"Dasar jorok, pantes Wikan gak mau tidur sama lo." Hana terkekeh. Aku spontan meraih sehelai pakaian yang menggantung di depanku. Kulemparkan tepat mengenai kepalanya. Menutupi wajahnya. Dia makin terkekeh. Seorang pelayan toko, tajam menatap kami. Buru-buru, aku melangkah menjauh. Mendorong stroller cepat-cepat. Hana setengah berlari mendahuluiku.

Perempuan Penyuka Es TehTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang