Bagian 33

4.1K 372 84
                                    


"Kenapa gak belajar dari petugas SPBU. Mulai lagi dari nol."
Suara Hana masuk kuping kanan keluar kuping kiri begitu saja.

Aku masih diam menopang dagu dengan pandangan entah. Hana baru selesai membuat dimsum. Olahan daging ayam, udang dan tepung tapioka dengan balutan kulit lumpia itu baru saja matang. Aroma menggoda menguar begitu ia membuka tutup panci.

Hana menghampiriku yang sedang terduduk dengan pikiran bercabang-cabang. Di tangannya ada sepiring dimsum dan semangkuk kecil saus yang siap santap. Datang ke rumah Hana memang serupa dengan mendatangi resto serba ada, bebas pesan apa saja, plus bisa cerita sepuasnya.

"Wikan udah sadar tuh, elo kapan?" Sepasang mata Hana tiba-tiba tepat di depan mataku. Wajahnya hanya berjarak beberapa sentimeter dengan wajahku. Jantungku melonjak saking kagetnya.

"Apaan sih lo?" Aku mendorong wajahnya dengan telapak tanganku, sekaligus memundurkan posisi duduk.

Hana meletakkan cemilan penggugah selera itu di depanku. Lalu, duduk menopang dagu meniruku. Tepat berhadapan denganku. Aku memainkan garpu di meja. Belum tergoda dengan aroma harum dimsum. Pikiran ini masih bekerja serabutan tanpa bisa ku kendalikan. Segala hal yang berhubungan dengan Wikan selalu menimbulkan kekacauan. Setidaknya, begitulah yang kurasakan.

Aku sudah menceritakan pada Hana, segala hal yang terjadi semalam di rumah Wikan. Tatapan Wikan yang menyiratkan penyesalan sekaligus permohonan maaf. Genggaman tangan yang seolah tak ingin membiarkanku pergi darinya lagi. Serta kekecewaan Ibu yang berujung pada kepergian dengan derai air mata. Semua kututurkan pada Hana.

"Sampe detik ini, gue juga masih belum bisa cinta sama bapaknya tuh bocah." Hana merendahkan suaranya seraya menunjuk Khanza yang sedang terlelap di kasur lantai depan televisi.

Aku menoleh ke anak manis tiga tahun itu sejenak. Lalu, menatap wajah sendu Hana. Semburat luka masa lalu membayang di matanya. Di wajah tanpa senyumnya.

"Lo tau kan sebaik apa Gandhi sama gue. Sesayang apa dia sama keluarga kecilnya ini. Dan gue? Gue gak pernah bisa membalas semua ketulusan dia itu." Hana melanjutkan ceracaunya dengan tatapan entah.

"Yang gue tahu, gue hanya harus bertahan dengan orang yang sayang sama gue."

"Haaan .... " Aku meraih jemarinya. Menggenggamnya.

Dia menggeleng pelan. Lalu tersenyum tipis.

"Gue baik-baik aja, Le. Gue punya Khanza sekarang. Kadang, kita akan merasa cukup dengan orang yang sayang sama kita." Hana tersenyum lagi. Sebuah lengkungan tipis. Dengan tatapan entah.

"Gue rasa sekarang Wikan bener-bener tulus sayang sama lo. Dia cinta sama lo. Terus, kenapa lo masih kekeuh pengen pergi dari dia?"

Aku menusuk-nusuk dimsum dengan garpu. Aku mendengar baik semua ucapan Hana. Tapi, hatiku tidak baik-baik saja mendengarnya.

"Ibunya Wikan bahkan sesayang itu sama lo. Lo gak mikir di luaran sana banyak yang gak akur sama mertua. Sampe ada laki-laki yang dicariin istri kedua sama ibunya. Dikuasai hartanya sama ibunya. Difitnah, dinyinyirin, diomelin mulu, dimutilasi sama ibu mertuanya. Ngeri kan? Lo mah beruntung weh." Gaya bicara Hana sudah kembali seperti Hana yang biasanya. Nyaring, ngebut, dan tanpa filter.

"Lo kebanyakan nonton sinetron ikan terbang." Aku mendelik sebal. Hana terkekeh. Mood-nya memang segampang itu berubahnya.

"Dulu lo mulai semuanya karena percaya kalian gak bakalan jatuh cinta. Lalu, sekarang lo pngen udahan karena kalian saling jatuh cinta. Fix, kalian pasangan paling gak masuk akal abad ini."

Aku memelototinya.

"Apa lo? Apa? Mau ngomong gak cinta sama Wikan. Gak sayang sama Wikan. Gak perlu, udah keliatan di jidat lo, ada tulisannya 'GUE SAYANG BANGET SAMA WIKAN'." Hana ngakak di ujung kalimatnya. Menyebalkan.

Perempuan Penyuka Es TehTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang