Aku terpaksa menyingkirkan bantal yang sempat menutupi kepalaku. Kubiarkan Wikan melihat rambut sebahuku. Menyaksikan aku hanya memakai daster batik pendekku.
Ini kali pertama Wikan melihatku begini. Meski tinggal seatap dengannya selama dua tahun, tak sekalipun aku melepas jilbabku di depannya. Aku tak nyaman melakukan itu.
Namun, kali ini tentunya berbeda. Kepergok ibu begini, aku tidak mungkin buru-buru berganti baju panjang dan memakai jilbab hanya karena ada Wikan. Walau bagaimanapun aku memang istri sahnya.
"I-ibu kapan datang?" Aku menghampiri ibu. Kucium punggung tangannya dengan sopan.
"Kalian terlalu asyik sendiri sampai-sampai gak tahu ibu datang kan?" Ibu cemberut. Aku dan Wikan berpandangan. Canggung.
"Ma-maaf, Ibu." Aku sungguh merasa bersalah.
"Walaupun siang-siang begini, punya kamar banyak, kalian tuh tetep harus bareng-bareng. Jangan cuma malem aja usaha bikin anaknya. Siang-siang juga harus usaha." Ibu memandangi aku dan Wikan bergantian.
Kami hanya menunduk dan mendengarkan. Sekalipun ingin sekali menyanggah ucapan ibu, kami tetap tidak melakukannya. Ibu memang begitu, selalu ceplas-ceplos.
"Kalian masak apa hari ini?" tanya ibu tiba-tiba beralih topik.
"Ka-kami belum masak, Bu." Aku menjawab dengan sangat berhati-hati.
"Jadi kalian belum makan dari pagi?"
"Tadi sarapan di taman kok, makan lontong sayur," timpal Wikan. "Udah yuk kita ngobrol di luar aja," ajak Wikan sembari memegang pundak ibu, didorongnya pelan ke luar.
Ibu menarik napas panjang. Menuruti perkataan Wikan. Aku mengekor.
"Kita masak bareng aja yuk di dapur," ucap ibu begitu tiba di depan pintu.
"Nah, setuju." Wikan bersemangat sembari mengepalkan tangannya dan diangkatnya ke atas.
Aku mengelus dada. Tersenyum sedikit lega. Meski tidak terlalu ramah dengan dapur, begini-begini juga aku bisa memasak. Aku bisa kok masak mie tanpa kematangan.
Maka, terjadilah pertempuran di dapur. Ibu sudah membawa bahan-bahannya. Ibu paham betul, setiap kali datang ke rumah dan membuka kulkas, yang selalu ditemuinya hanyalah telur. Kadang-kadang ada wortel, tomat, kentang dan timun.
Aku jarang masak. Wikan jarang di rumah. Kalaupun di rumah, dia lebih sering mengajak makan di luar. Atau pulang membawa makanan.
Ibu memang hobi memasak. Sangat amat suka memasak. Masakannya selalu lezat. Untuk perempuan tukang makan sepertiku, mempunyai ibu mertua yang suka masak adalah anugerah yang luar biasa.
***
Sudah satu minggu ini, ibu tinggal di rumah kami. Ibu selalu mengurus dapur. Pagi-pagi sekali sarapan sudah siap. Siangnya menu makan sudah berbeda. Begitu pun dengan malam. Aku dan Wikan tidak lagi membeli makanan di luar.
Selama Wikan bekerja, aku berkencan dengan ibu di dapur. Diajarinya masak beberapa menu, yang kemungkinan akan kulupakan begitu ibu pulang. Ibu yang cekatan dan punya bakat memasak dari lahir, tentu berseberangan denganku yang tahunya hanya makan. Beberapa kali ibu bersuara keras saat mengarahkanku dalam tahapan memasak. Gemas dan geregetan jadi satu. Namun, ibu tak pernah marah. Sungguh, ibu mertuaku memang sebaik itu.
Keberadaan ibu di rumah juga membuatku dan Wikan terpaksa tidur satu kamar. Dipaksa masuk kamar lebih awal. Setelah isya, setelah makan malam. Sepuluh menit pun tidak dibiarkannya menikmati angin malam.
Di dalam kamar, Wikan selalu tidur di kasur lantai. Tidak sekali pun, kami tidur di atas ranjang yang sama.
Beberapa malam ini, Wikan selalu asyik dengan gadget-nya. Sepanjang malam, dia tidak melepaskan pandangan serta jempolnya dari layar ponselnya. Dia senyum-senyum sendiri. Aku bertanya-tanya dalam hati. Namun, tak sekali pun aku bertanya padanya.
"Jadi, sudah kalian putuskan belum, kapan mau berangkat liburan berdua?" tanya ibu saat makan malam. Ibu membuat bebek bakar dengan bumbu dan sambal terlezat yang pernah mampir di lidahku.
Aku menggigit bibir. Enggan bersuara. Biar Wikan saja.
"Jangan bikin alesan lagi banyak kerjaan. Ibumu ini gak mau dengernya."
Aku melirik Wikan. Sebelumnya, ia ditegur ibu karena terlihat asyik dengan ponselnya saat aku meletakkan semangkuk sayur asem di atas meja. Kini, ia melahap ikan gurame goreng dengan siraman sambal kecap ala ibu. Dia mendengarkan tapi tak menjawab.
"Ibu gak akan nyerah buat doain kalian, semoga kali ini Allah mengabulkan."
Aku tersedak. Batuk-batuk. Rasa pedasnya nyangkut di tenggorokan. Wikan mengambilkan segelas air putih. Dipeganginya gelas itu, membantuku minum.
"Pelan-pelan, nanti tersedak," kata Wikan.
"Kan udah." Aku cemberut.
"Besok ibu pulang, lusa kalian harus berangkat liburan. Terserah ke mana, yang penting berdua, happy, trus pulang bawa kabar bahagia. Ibu cuma mau cucu."
Malam ini, aku sempurna tidak bisa tidur.
***
Sudah hampir pukul 11 malam, Wikan belum pulang. Dia juga tidak memberitahuku. Aku juga tidak menanyakannya. Namun biasanya, meski aku tidak pernah bertanya, dia selalu memberi kabar jika pulang larut malam atau pun tidak pulang.
Aku tidak bisa tidur. Aku membuat segelas coklat panas. Menyalakan televisi di ruang tengah. Ibu sudah pulang pagi tadi. Aku sendiri lagi.
Aku berbaring di sofa depan televisi. Suara dari layar 40 inch itu seperti dongeng pengantar tidur. Mataku mulai lengket.
Sebuah selimut terasa menutup tubuhku yang mulai kedinginan. Aku membuka mataku pelan-pelan.
"Wikan?" ujarku pelan. "Baru pulang?"
Dia yang hampir mematikan lampu, urung melakukannya. Dia berbalik badan.
"Kok bangun? Tidur lagi gih," katanya. Aku duduk bersila sambil mengucek-ucek mataku.
"Tumben kamu baru pulang, lagi banyak kerjaan ya?" tanyaku.
Wikan melangkah ke arahku. Duduk di sampingku.
"Kamu gak lagi nungguin aku, kan?"
Aku menggeleng cepat. "GR amat." Aku tertawa lirih.
Dia tersenyum. Menyentuh kepalaku. Dielusnya pelan. "Tidur lagi gih, udah malem."
Aku menggeleng. "Gak ngantuk."
Wikan menarik napas panjang. "Le ... aku pengen ngomong sesuatu."
Aku lekat memerhatikannya. Penasaran.
"Tentang ibu?" tanyaku. Dia mengangguk.
"Kita gak bisa terus bohongin ibu gini, Le. Aku semakin gak tenang dan merasa bersalah banget. Kasian ibu."
Aku menelan ludah. Benar. Aku pun demikian.
"Dia terus-terusan berharap punya cucu dari kita. Sementara, kita gak mungkin mewujudkan impiannya." Wikan berucap tanpa menatapku.
"Le, aku pengen kita mengakhiri sandiwara ini." Dia menunduk. Dadaku tiba-tiba seperti dihantam batu besar.
"Maaf kalo ini begitu mendadak, tapi kita juga tidak pernah ada rasa."
Aku berusaha tetap tersenyum mendengarkannya. Hatiku seperti diserang ratusan anak panah yang melesat cepat. Sakit. Penuh luka.
"Erika sudah bercerai dengan suaminya tiga bulan lalu. Sementara, perasaanku padanya tidak pernah mati. Aku ingin kembali padanya."
Seketika hujan badai melanda hatiku. Tapi, senyum masih mengembang di bibirku.

KAMU SEDANG MEMBACA
Perempuan Penyuka Es Teh
Любовные романыBagaimana aku bisa memenuhi rengekan ibu mertua tentang cucu sementara pernikahanku dan Wikan hanya sebatas status di Kartu Keluarga? Aku masih menggenggam erat cinta masa lalu. Wikan masih terhujam kisah yang lalu. Kami sama-sama tak lagi percaya p...