Bagian 7

2.4K 192 4
                                    

Wikan mematung. Tak berkedip. Mungkin terkejut. Tidak menyangka bertemu Erika di sini. Tidak menyangka bertemu Erika secepat ini. Begitu juga aku.

"Wikan, ya ampun gak nyangka banget ketemu kamu di sini. Kamu apa kabar? Lama banget gak ketemu. Kurusan ih." Erika menghampiri kami. Tidak, bukan kami. Dia menghampiri Wikan. Matanya sama sekali tidak melirikku.

Dia berhenti di hadapan Wikan. Mereka bertatapan. Erika tampak semakin cantik dengan senyum cerianya. Wikan masih tak bersuara.

"Kamu baik-baik aja, kan?" Erika menunjukkan sisi perhatiannya, suaranya terdengar manja. Tangannya lincah meraih tangan Wikan. Namun, Wikan menepisnya.

"Kamu ngapain di sini?" tanya Wikan mencoba biasa saja. Suaranya datar.

"Mama pengen bubur ayam yang di depan masjid itu, makanya aku ke sini." Erika menunjuk masjid dengan bibir tipisnya yang lancip. Aku tahu, bukan itu yang Wikan maksud.

Aku melirik ke arah masjid. Lalu, melirik Wikan. Memerhatikan mereka berdua lagi. Tiba-tiba, aku ingin berubah menjadi bekicot saja. Diam-diam merambat tanpa ada yang peduli.

"Maksudnya, kamu ngapain ada di kota ini lagi?" Wikan bertanya ulang.

"Makanya kalo di-chat itu dibales, jangan dibiarin centang dua biru. Ngeselin tau ... " jawab Erika.

Mendengar itu, aku merasa ingin menjadi sesuatu yang lebih kecil dari bekicot. Capung mungkin. Ya, capung, terbang lalu hilang.

"Padahal banyak yang pengen aku ceritain ke kamu. Banyak yang pengen aku bahas. Eh, kamunya malah gak bales chat aku."

Entah apa yang dipikirkan Wikan, namun dia benar-benar hanya diam. Wajah sumringahnya hilang. Senyum manisnya tak ada.

"Eh, Kak Ale?" Erika menoleh padaku. Akhirnya dia menyadari keberadaanku. Lega. Ah, tapi buat apa merasa lega jika kenangan pertama yang muncul saat melihatnya tadi adalah dia mendorongko dan memakiku dengan kata-kata kasar di depan kelas saat masih SMA. Cantik tapi bar-bar.

Namun, demi menghormati dia yang mengingat dan menyebut namaku dengan benar, aku pun tersenyum lebar.

"Apa kabar Er? Udah lama balik ke kota ini?"
Aku mengulurkan tangan.

Dia membalas jabatan tanganku. Lalu, mengangguk. Senyumnya manis. Dia memang manis. Harus ku akui itu.

"Emang abis pada ngapain sih, Kak?" tanya Erika padaku.

"Cuma nyari sarapan doang sih," jawabku santai.

"Sarapan apa?"

"Lontong sayur tuh." Aku menunjuk gerobak lontong sayur, tempatku dan Wikan mengisi perut.

Erika mengerutkan dahi. "Makan di situ?" Suaranya terdengar sedikit merendahkan.

Aku mengangguk mantap. Tak apa dianggap rendah hanya karena makan di pinggir jalan.

"Kamu sekarang jajannya di pinggir jalan gini?" Erika menatap Wikan. Wikan mengangguk.

"Ada yang salah?" tanyaku.

Erika menggeleng. "Kamu cukup berubah, ya? Kayaknya tergantung wanita di sisimu." Dia menatap Wikan penuh arti.

Sepasang mataku membola mendengarnya. Maksudnya apa ini?

***

Wikan tak banyak bicara usai perjumpaan tak sengajanya dengan Erika. Aku juga tidak banyak bertanya. Aku selalu merasa bahwa ia punya ruang sendiri yang tak perlu untuk kumasuki tanpa seizinnya.

Dia mengunci kamarnya rapat. Aku tidak tahu seperti apa rupa kamarnya. Itu ruang terlarang yang tak boleh ku jamah sekali pun. Itu menjadi salah satu kesepakatan. Dan, selama dua tahun ini, aku tidak pernah sekali pun mencoba mencurangi kesepakatan itu. Aku adalah seseorang yang resah sendiri saat tidak bisa menjaga amanah seseorang.

Mandi adalah kegiatan yang paling kuhindari setiap hari minggu. Aku tidak suka mandi di hari minggu. Padahal, sejak menjadi pengangguran, setiap hari rasanya adalah hari minggu. Namun, kali ini aku merasa harus mandi. Keringat usai bersepeda pagi ini, membuatku rindu siraman air shower.

Usai mandi, aku mengganti sprei. Sprei bunga-bunga warna biru muda pemberian ibu mertua.

"Nah, kalo spreinya warnanya cerah penuh bunga-bunga gini kan kalian bisa lebih bergairah," ucap ibu kala itu. Aku sebagai pendengarnya hanya bisa menggigit bibir sembari pura-pura tersenyum. Manggut-manggut.

"Ibu udah gak sabar pengen gendong bayi kalian." Mata ibu berbinar-binar saat mengucapkan itu.

Sebenarnya aku merasa iba. Melihat wajah penuh harap nan polosnya, aku ingin sekali mewujudkan keinginannya. Namun, itu hal yang mustahil bagiku dan Wikan. Kami tidak akan melakukan itu tanpa dasar cinta. Bagi kami, hal itu bukan sekadar pemuas nafsu. Sementara, kami sama-sama sadar, bahwa cinta itu tidak akan pernah ada.

"Pasti dia lucu banget seperti Wikan pas masih bayi, ibu suka banget mencetin hidungnya." Aku semakin merasa bersalah pada ibu. Setiap saat, harapnya melambung tinggi. Sementara, aku dan Wikan memupus mimpi itu karena pernikahan ini hanyalah status palsu.

Ibu adalah perempuan yang baik. Tak hanya kepada Wikan, sebagai putra kesayangannya. Tapi juga kepada dua menantu laki-lakinya, pun kepadaku. Itulah yang membuatku semakin merasa bersalah.

Aku berbaring di kasur. Rambutku masih setengah basah. Kepalaku tidak jatuh di kasur. Rambut sebahuku kubiarkan menjuntai.

Tiba-tiba, terdengar suara pintu berderit. Jantungku berdegup kencang, aku lupa mengunci pintu. Aku segera bangkit. Tampak Wikan berdiri di depan pintu. Spontan, aku meraih bantal dan menyembunyikan kepalaku.

"Wikaaaaaaan ... kenapa gak ketok pintu dulu, aku gak pake jilbab," teriakku.

"Gak pake jilbab dilihat suami kok takut." Sebuah suara datar yang amat tidak asing terdengar jelas.

Pelan-pelan kuturunkan bantal yang menutupi kepalaku, hingga hanya sepasang mataku yang tampak. Dari sepasang mataku, terlihat jelas sosok yang berdiri di samping Wikan. IBU.

Perempuan Penyuka Es TehTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang