Aku mengusap air mata yang tiba-tiba jatuh. Akhirnya aku tiba di titik ini. Mengalami luka tercabik-tercabik untuk kedua kalinya.
Ku pikir, perpisahan dengan Mas Davin adalah yang paling berat. Tidak pernah ada lagi patah seperih itu. Ku kira, hati ini sudah benar-benar mati rasa. Setidaknya, itu yang melekat dalam benak. Tak ada lagi jatuh cinta. Tak ada lagi goresan luka karenanya. Nyatanya, pergi dari Wikan pun tak kalah berat.
Aku menolak mengakui bahwa hatiku telah jatuh padanya. Namun, entah mengapa goresan luka saat pergi darinya begitu terasa. Perih. Tersayat sembilu.
Itulah kenapa aku memilih pergi saat dia tidak di rumah.
Aku meninggalkan kunci kamarku di pintu. Membiarkannya menggantung di lubang kunci. Gantungan boneka berbentuk panda juga tak ku ambil. Gantungan kunci yang diberikan Wikan, saat kami berkeliling di pasar malam.
Aku duduk di belakang kursi kemudi sebuah taksi online. Membelah jalanan menuju rumah Hana. Hanya itu satu-satunya tujuan yang terlintas di kepala.
Tidak mungkin untuk kembali ke rumah Ayah-Bunda sekarang. Aku belum menyiapkan satu pun jawaban dari ribuan pertanyaan yang pasti terlontar. Membayangkannya saja aku sudah merasa ngeri.
Hanya Hana satu-satunya harapanku. Dia yang paling tahu aku dan segala remeh-temeh hubunganku dengan Wikan.
Sedari tadi Hana menelepon. Tak sekali pun kuangkat. Perasaanku sedang berantakan. Aku hanya mengiriminya pesan agar menemaniku mencari kontrakan. Namun sebelum itu, aku akan menuju rumahnya terlebih dahulu. Beruntung suaminya bekerja di luar kota dan baru akan pulang 3 atau 6 bulan kemudian.
Dari pesan itu, aku yakin Hana bisa membaca situasi yang terjadi antara aku dan Wikan. Aku bisa membayangkan ekspresi paniknya yang melebihiku. Hana memang begitu. Saat aku jatuh, dia bisa lebih sakit. Meski pelukannya selalu ada, selalu berhasil menenangkanku, tapi tangisnya selalu melebihiku.
Setelah mungkin bosan meneleponku dan tidak ku angkat, Hana mengirimiku pesan teks via whatsapp.
[Lo yakin?]
Kupandangi layar gawaiku berkali-kali. Pesan singkat yang dikirim Hana hanya kubaca berulang-ulang. Belum kubalas. Tidak tahu harus membalas apa. Namun, semakin kuulang membacanya, semakin muncul keraguan.Tidak. Aku tidak ragu meninggalkan Wikan. Aku hanya tidak ingin, tapi aku harus.
[Lo naik apa? Jangan bawa motor, ribet!]
Aku paham maksud tersirat di balik kata ribetnya. Bukan. Bukan kesulitan dalam hal membawa barang-barang. Namun lebih ke rasa kuatir. Dia pasti kuatir, jika aku mengendarai motor sendiri dalam keadaan seperti ini.[Naik taksi online.]
Balasku singkat. Semoga cukup untuk menenangkannya.[Oke. Jangan sok akrab sama driver-nya kalo gak ganteng.]
Aku senyum-senyum membaca pesan dari Hana. Dalam suasana seperti ini, dia selalu punya cara untuk mencairkan gejojak di dada.***
Hana menyambutku di teras rumah. Segera membuka gerbang begitu sebuah mobil putih berhenti di depan rumahnya. Membantu membawakan tasku. Menutup kembali gerbang setelah aku masuk.
Aku membuntutinya. Menarik koper di belakangnya. Hana berjalan tanpa satu pun ucap, padahal aku sudah siap mendengar kicauan panjangnya. Ocehan sepanjang rel kereta api sudah terbayang di kepala.
Di ruang tengah, di depan televisi, tergeletak sebuah kasur lantai. Si balita anteng nan manis sedang tidur. Di wajahnya, tergambar kedamaian.
Hana membawa tasku ke dalam salah satu kamar kosong di rumahnya. Masih tak bersuara, aku mengikutinya. Dia duduk di sisi ranjang. Aku juga. Di sebelahnya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Perempuan Penyuka Es Teh
RomantikBagaimana aku bisa memenuhi rengekan ibu mertua tentang cucu sementara pernikahanku dan Wikan hanya sebatas status di Kartu Keluarga? Aku masih menggenggam erat cinta masa lalu. Wikan masih terhujam kisah yang lalu. Kami sama-sama tak lagi percaya p...