Bagian 17

2.5K 223 19
                                    

[Kamu di mana?]
Sebuah pesan dari Wikan menghentikan tawaku sejenak. Aku sedang sibuk menertawakan kenangan masa silam dengan Damar. Hal-hal yang dulu terasa menjengkelkan, memalukan, menakutkan, kini berubah menjadi cerita yang layak untuk ditertawakan.

Juga membahas anak Damar yang sakit. Juga tentang ibunya Wikan. Tapi tidak kuceritakan hal-hal apa yang membuat Ibu jatuh sakit. Perihal aku dan Wikan, juga Erika, belum waktunya Damar tahu. Atau mungkin, Damar memang tidak perlu tahu.

Aku mematikan gawaiku. Aku benar-benar tak ingin berhubungan dengan Wikan hari ini.

"Gak nyangka ya Tuhan nulisin cerita hidup kayak gini ke kita," ucap Damar tiba-tiba, dengan tatapan matanya yang menerawang jauh.

"Di titik ini kita mulai sadar bahwa hidup gak cuma tentang haha-hihi doang," lanjutnya.

Aku tersenyum getir. Mengiyakan.

"Kadang kepikiran pengen balik ke masa lalu. Masa-masa sekolah yang isinya cuma diomelin guru." Damar tertawa sendiri.

Aku melebarkan senyumku. Aku ingat, betapa dia menjadi langganan olahraga rahang guru-guru di sekolah. Hampir setiap hari datang telat. Tertangkap saat memanjat pagar sekolah. Merokok di belakang gudang sekolah. Menyembunyikan sepatu guru. Dan masih banyak lagi kenakalan masa sekolah yang diciptakannya. Dia merupakan tokoh bersejarah di sekolah, yang dikenang oleh seluruh penduduk sekolah pada masa itu. Siswa paling merepotkan sepanjang sekolah itu berdiri.

Dan sekarang, anak nakal itu menjelma sosok yang lebih bijak memaknai hidup. Menjadikan kisah masa remajanya sebagai buku pembelajaran yang berharga. Kesalahan-kesalahan yang tak ingin diulang. Begitu yang kutangkap dari sepanjang obrolan kami.

Hatinya jatuh pada perempuan istimewa yang menuntunnya ke jalan yang lebih baik. Setelah berkali-kali singgah ke banyak hati tanpa tujuan. Namun, kemudian dia ditinggalkan saat hatinya benar-benar terpaut pada perempuan itu seorang. Dia tidak ditinggal sebentar. Tapi selamanya. Hal itu lah yang mungkin membentuknya menjadi laki-laki dan juga seorang ayah yang lebih bijak.

"Lo pernah kepikiran gak sih, Le, pengen balik ke masa dulu gitu?" tanyanya.

Aku mengangguk. Kembali ke masa aku sebelum bertemu lagi dengan Wikan, sehingga kesepakatan itu tidak pernah tercipta.

"Pengen balik ke jaman SMP yang gak ada elo-nya," jawabku. Aku tersenyum. Dia terkekeh. Tidak mungkin aku membahas masalahku dengan Wikan padanya.

"Gak seru dong gak ada gue?"

"Biar tenang sih. Biar gak direcokin kalo pas ngerjain ulangan."

Damar tertawa lagi.

"Seru banget kayaknya." Sebuah suara menghentikan tawa Damar seketika. Damar langsung menoleh. Aku tidak. Jantungku berpacu hebat. Aku tidak ingin menoleh. Aku tahu siapa pemilik suara itu. Aku kenal betul suara itu.

"Hei, ya ampun Wikan, what's up, Bro?" Damar terdengar begitu bersemangat. Aku sibuk menenangkan degup jantungku. Aku harus menyiapkan diriku agar tetap tenang saat berhadapan dengan Erika.

"Gila, temen nongkrong yang berani nikahin temen gue, lama banget gak ketemu." Suara Damar terdengar begitu renyah.

Aku melirik sebentar. Mereka baru saja melepaskan jabatan tangan. Dari sudut mataku, tak nampak setitik pun bayangan perempuan di sisi Wikan. Aku menoleh sempurna. Benar-benar tidak ada Erika. Wikan sendiri.

Aku celingukan. Menoleh ke kanan dan ke kiri beberapa kali. Wikan benar-benar sendiri.

"Er .... "

Nyaris saja aku menanyakan keberadaan Erika pada Wikan. Untung saja aku langsung tersadar bahwa ada Damar yang tak sepantasnya mendengar pertanyaan itu.

Perempuan Penyuka Es TehTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang