Bagian 12

2.4K 205 0
                                    

Dengan setengah hati, aku masuk kembali ke kamar ibu. Aku tidak benar-benar percaya, ibu mencariku. Untuk apa? Ruangan itu sudah diisi beberapa kepala. Terlalu ramai jika ditambah aku.

Lagi pula, Erika juga lulusan perawat. Dia lebih tahu apa yang harus dilakukan terhadap orang sakit. Dia lebih tahu cara merawat orang sakit. Sementara aku? Aku bisa apa? Keahlianku satu-satunya hanyalah makan sate kambing dengan lontong, ditambah semangkuk bakso dan dua gelas es teh.

Namun, meskipun doyan makan begitu, berat badanku tak pernah lebih dari 44 kilogram, dengan tinggi 160 kurang 2 sentimeter. Banyak yang bilang aku kurus. Banyak juga yang bilang iri, karena aku makan banyak tapi tak pernah jadi lemak yang beranak pinak. Katanya, aku termasuk golongan perempuan beruntung dalam hal berat badan.

Di dalam ruangan, aku berdiri canggung. Ibu masih terbaring lemah. Enggan tidur. Hanya rewel mengajak pulang. Baru makan dua sendok, dibujuk paksa Kak Winda tadi. Sementara, Wikan mati-matian merayunya meminum obat.

Erika memegang piring berisi makanan yang disediakan rumah sakit. Mencoba merayu ibu untuk makan lagi. Namun, ibu tak bersedia membuka mulut saat Erika menyodorkan sesendok nasi dan sayur bening. Melengos.

"Alesha, sini ... " pinta ibu sembari menepuk-nepuk sisi kanan ranjangnya.

Aku mencoba tersenyum senatural mungkin. Kemudian, melangkah pelan menghampiri ibu. Senyum tipis tergambar di bibir pucatnya, ketika aku menduduki kursi di samping tempat tidurnya.

"Ibu laper." Tatapan matanya serasa memanggilku untuk menyuapinya.

"Erika yang suapin aja ya, Bu." Suara Erika terdengar begitu perhatian. Lagi-lagi ibu melengos.

"Biar aku aja, Er." Aku meminta sepiring nasi yang dipegangnya. Diserahkannya padaku dengan wajah memerah.

Aku menyuapi ibu. Sesuap demi sesuap. Lahap. Kami tak banyak bicara. Ibu menatapku dengan tatapan hangat yang membuatku lupa akan lelah di tubuhku. Sementara aku sibuk menenangkan hati dan pikiranku sendiri, yang baru saja terombang-ambing akibat tak sengaja bertemu Mas Davin.

Mas Davin, laki-laki berkacamata yang berhasil menjadi satu-satunya yang ternyaman bagiku. Saat marah. Saat gusar. Saat sakit. Saat terinjak. Saat tersisih. Saat tak berdaya. Dia ada. Di bahunya, semuanya berhasil tumpah. Menyisakan lega.

Lantas, apa yang membawanya kemari? Dia tampak baik-baik saja? Lalu, apa yang dilakukannya di sini? Apakah ada anggota keluarga yang sakit? Siapa? Mamanya? Adiknya? Atau, Ayahnya? Ah, ayahnya sudah meninggal tahun lalu. Aku selalu merasa bersalah tidak menghadiri pemakamannya.

"Kamu juga makan, ya? Ibu suapin," ucap ibu yang tiba-tiba membuyarkan lamunanku.

Aku menatap ibu. Sedikit senyum, lalu mengangguk. Ibu menyuapiku sesendok nasi dari piring yang kupegang. Sepasang matanya teduh menatapku. Maka, jangan tanya soal rasa. Masakan rumah sakit tentu tidak cukup memuaskan lidah. Namun, hasil suapan dan tatapan teduh ibu, semua terasa nikmat.

**

Tanpa terasa, sudah hampir pukul sepuluh malam. Ibu sudah makan. Kenyang. Kantong infus baru saja diganti. Sudah minum obat. Sudah waktunya tidur. Mengistirahatkan raga. Menenangkan pikiran.

"Bu, Wikan anter pulang Erika dulu ya?" ujar Wikan tiba-tiba. Ibu sempurna membuka mata. Kantuknya terganggu.

Erika pasti canggung.
Semua yang akan dilakukannya, dilarang ibu. Jadi, mungkin dia memutuskan untuk segera pulang saja.

Aku juga sebenarnya tidak mengerti, mengapa ibu bersikap seperti itu pada Erika. Menolak disuapi, menolak dipegangkan gelasnya saat akan minum obat, serta berkali-kali mengusir Erika saat akan duduk di kursi sisi ranjangnya. Namun berbeda lagi saat denganku. Bahkan, selesai makan dan minum obat, ibu menyuruhku duduk istirahat. Tidak boleh kecapekan. Antara lega bisa duduk santai atau merasa tidak tidak dibutuhkan. Namun, aku memilih berpikir positif, ibu tahu aku kelelahan mengurusnya sendirian sedari siang, jadi dengan segenap rasa pengertiannya, aku dipersilakannya istirahat.

Perempuan Penyuka Es TehTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang