--Selasa, di Penghujung Januari,
Izinkan aku pamitDan tidak ada pertemuan yang kebetulan bukan? Semua sudah tertulis apik dan unik oleh Sang Penulis Skenario Terbaik, Allah Azza wa Jalla.
Aku masih ingat ekspresi adik kelas semasa SMA, yang duduk di sebelahku saat Ulangan Semester. Menopang dagu memandangiku. Soal di meja tak dibacanya. LJK masih mulus tak tersentuh. Malah senyum-senyum sok kecakepan. Tahu apa yang kurasakan? Gregetan. Ya, gregetan. Apalagi setelah tahu, pulpen saja tak dibawa. Alasannya lupa. Terpaksa aku meminjaminya.
Anak lelaki yang saat itu jadi idola hampir 2/3 warga sekolah, pernah kesal padaku. Kenapa? Karena dia mendapat nilai Fisika tertinggi di kelasnya. Soalnya aku yang mengerjakan. Setelah hasilnya diumumkan, dia dihukum lari keliling lapangan karena dianggap gagal mempertanggungjawabkan nilai yang tertera di kertas ulangan. Aku dimarahinya.
Dan, setelah ratusan purnama kisah itu tenggelam dalam memoriku yang tak seberapa, siapa sangka aku kembali dipertemukan dengannya. Diajaknya menikah tiba-tiba. Hahaha.
Wikan, tak terasa kita sudah melangkah begitu jauh. Sudah banyak melewati jalanan kehidupan. Ada yang mulus lurus. Turunan tanjakan. Terjal, berlubang. Penuh kelokan. Bermacam-macam. Maka kali ini, izinkan aku menerima maafmu jika selama bersama, keberadaanku hanya mencipta goresan luka.
Wikan, terima kasih pernah memberiku bahu saat kepalaku terasa berat untuk tetap tegak.
Terima kasih pernah menjadi telinga yang baik, mendengarkan tanpa bibir banyak gerakan.
Terima kasih pernah memberikan kesempatan untukku makan, tidur, nonton drama, makan lagi, tidur lagi, di rumahmu yang nyaman.
Ah, rasanya takkan cukup terimakasihku untuk limpahan kebaikanmu.Wikan, izinkan aku pamit.
Bukankah kamu harus menjemput bahagia dengan perempuan satu-satunya penghuni hatimu? Aku tidak ingin menjadi batu sandungan untuk kalian. Sungguh.Karena aku pun harus bahagia bukan? Dengan atau tanpamu.
Kumohon, jangan mencariku. Hal-hal tentang perpisahan legal di atas kertas, uruslah segera. Aku pamit. --
Aku meremas kertas bertuliskan tinta hitam yang kutemukan di atas ranjang tidur Alesha. Aku sudah meremas dan membuangnya ke kotak sampah. Namun, kupungut kembali. Kubaca berulang kali. Kuremas lagi. Kubuka lagi. Kubaca. Kupandangi. Begitu terus-menerus kulakukan tanpa bosan.
Jantungku nyaris copot saat kali pertama mendapati surat itu di ranjangnya. Aku baru pulang. Belum sempat masuk kamar, sudah dikagetkan dengan kunci yang menggantung di pintu kamarnya. Ruangan itu kubuka. Tampak begitu bersih dan rapi. Sangat rapi. Terlampau rapi untuk perempuan sepertinya.
Tidak ada jilbab, mukena atau jaket di gantungan baju. Tidak ada buku-buku yang tergeletak di karpet atau ranjangnya. Semua tersusun rapi. Laptop yang selalu duduk manis di meja kecil di depan jendela pun tak nampak.
Alesha hanya meninggalkan selembar kertas dengan tulisan tangannya sendiri. Sebuah petunjuk bahwa ia telah angkat kaki.
Tanganku gemetar hebat. Isi kepala terasa mendidih. Pagi sebelum aku berangkat kerja, semua masih baik-baik saja. Dia bahkan membelikan bubur ayam dan duduk sarapan denganku. Tak ada satu kata pun menyinggung perihal akan meninggalkanku. Lalu, kenapa jadi begini? What's wrong with you, Le?
Aku langsung menghubunginya. Tak ada jawaban. Kulakukan berkali-kali. Masih tak ada jawaban. Dia pasti sengaja. Kukirimi pesan via whatsapp. Setelah cukup lama, barulah dibalasnya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Perempuan Penyuka Es Teh
Любовные романыBagaimana aku bisa memenuhi rengekan ibu mertua tentang cucu sementara pernikahanku dan Wikan hanya sebatas status di Kartu Keluarga? Aku masih menggenggam erat cinta masa lalu. Wikan masih terhujam kisah yang lalu. Kami sama-sama tak lagi percaya p...