"Sendirian aja, Mas?" Bapak penjual lontong sayur bertanya ramah, sesaat setelah menyerahkan sepiring makanan berkuah santan kekuningan padaku. Pertanyaannya membuatku kehilangan gairah membuka mulut untuk mengisi perut.
Aku hanya tersenyum tipis disertai anggukan kecil. Menyebalkan! Susah payah aku membangun semangat untuk mencari makan, malah disuguhi pertanyaan yang kembali mengingatkanku pada Alesha.
Lagi pula, sebenarnya dia raib ke mana? Pindah ke Mars? Yupiter? Saturnus? Uranus? Neptunus? Memang di sana ada es teh? Dia lemah sekali tanpa es teh. Dia akan kesulitan bertahan hidup tanpa cairan itu. Jangan heran, dia memang seajaib itu.
Di malam kedua kami tinggal serumah, aku pernah memergokinya di daput sedang memasukkan es-es batu ke dalam gelas teh manisnya. Malam itu hujan turun lebat.
"Hujan begini kamu bikin es teh?"
Alesha hanya nyengir saat itu. Dia sukses membuatku terperangah.
Maka, malam-malam setelah itu, aku mulai terbiasa dengan kecintaannya dengan es teh. Kebiasaannya yang tidak bisa jauh dari cemilan. Sedang baca buku, buka sosial media, nonton drama korea, dan segala aktivitas santainya, setoples kerupuk atau keripik dan kawan-kawan sejenisnya, selalu setia mendampinginya.
"Neng Ale ke mana? Kok gak pernah keliatan sekarang?" tanya si bapak penjual lontong sayur yang baru saja meletakkan segelas air putih di hadapanku.
Lihatlah, betapa si tukang jajan itu cukup terkenal di dunia perdagangan pinggir jalan, si Bapak penjual lontong sayur menyebut namanya dengan cukup baik.
Sepertinya, keputusan sarapan lontong sayur di sini bukanlah hal yang tepat. Bukannya kenyang, hatiku malah tak tenang.
"Lha kan baru beberapa hari lalu beli lontong sayur to Pak?" sahut perempuan berkerudung biru tua, istri si Bapak penjual lontong sayur, yang sedang melayani pembeli lain.
Seketika aku tersedak. Cepat-cepat aku minum. Sepasang suami istri setengah abad itu saling bertatapan, lalu menatapku keheranan.
"Ale makan lontong sayur di sini, Pak?" tanyaku cepat.
"Apa iya to, Bu?" Si Bapak tampak mengingat-ingat, sembari menatap istrinya.
"Iya, sama pria gondrong itu lho, Pak. Yang kata ganteng. Eh, tapi masih ganteng Mas ini sih." Si Ibu senyum-senyum. Perasaanku semakin tak karuan. SIAPA?
Sepasang suami istri itu melanjutkan percakapan yang entah membahas apa. Pendengaranku kabur. Kalimat yang tertangkap dan melekat dalam pikiranku hanyalah, ALESHA BARU SAJA MAKAN DI SINI DENGAN PRIA GONDRONG. Sialan!
Alesha tidak pergi jauh. Dia hanya di sekitar sini. Menghindariku. Menjauhiku. Apakah karena lelaki itu? Tapi, siapa dia? Orang asing ataukah orang yang sudah ku kenal?
Aku terus berusaha menerka-nerka tentang lelaki itu. Hingga kepalaku berat. Tak ada titik terang. Tak kutemukan jawaban. Buntu.
Aku berdiri. Bermaksud menyudahi sarapan ini. Saat aku hendak menyerahkan selembar uang dua puluh ribuan, sesosok bayangan muncul dalam ingatan. Pria gondrong. DAMAR.
***
Entah sudah berapa kali aku berlari mengitari lapangan bola tak jauh dari rumah. Rasanya aku tidak akan berhenti hingga kaki ini tak mampu bergerak lagi. Isi kepala sedang mendidih. Hati panas membara.
Aku benar-benar baru berhenti saat kaki terasa berat untuk diangkat. Namun, panas di hati tak jua lenyap. Membayangkan Alesha duduk berhadapan dengan Damar makan lontong sayur sungguh membuat hati ini hancur.
Aku menjatuhkan tubuh di hamparan rumput hijau lapangan bola. Terbaring dengan napas tersengal. Dada tak kalah sesak. Baru kali ini aku merasa dijajah perasaan sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Perempuan Penyuka Es Teh
RomantikBagaimana aku bisa memenuhi rengekan ibu mertua tentang cucu sementara pernikahanku dan Wikan hanya sebatas status di Kartu Keluarga? Aku masih menggenggam erat cinta masa lalu. Wikan masih terhujam kisah yang lalu. Kami sama-sama tak lagi percaya p...