Bagian 10

2.4K 202 6
                                    


Dua hari ini, Wikan tidak pulang. Dia hanya mengabariku lewat pesan whatsapp, akan tidur di kantor. Aku tahu, kenapa dia melakukan itu. Dia begitu penurut pada Erika.

[Aku sudah memberitahu ibu. Aku hanya mengatakan padanya bahwa kita akan berpisah. Aku tidak bisa menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi selama ini. Cukup ibu tahu bahwa kita akan berpisah.]

Itu pesan yang dikirimkan Wikan semalam, saat aku sudah tidur, baru kubaca pagi ini. Entah kenapa, pilu itu hadir lagi. Hatiku kembali terasa nyeri.

Aku merasa begitu berat akan berpisah dengan ibu. Aku bisa mengikhlaskan Wikan. Tapi, ibu? Rasanya aku tidak ingin. Perempuan tangguh itu sudah kuanggap ibuku sendiri. Ibu memang ceplas-ceplos. Kata-katanya meluncur tanpa disaring terlebih dahulu. Tapi, ibu tidak pernah benar-benar marah. Ibu hanya mengungkapkan langsung apa yang dirasakannya. Ibu tidak suka memendamnya.

Ibu, perempuan tangguh, pemilik usaha catering yang hampir setiap harinya menerima pesanan ratusan nasi kotak. Ibu, tidak bersedia tinggal di kota bersamaku dengan Wikan atau dua anaknya yang lain. Memilih hidup di desa. Tidak mau menutup usaha cateringnya bukan karena ingin menimbun tabungan. Namun, itulah caranya berbagi. Memberi pekerjaan untuk tetangga-tetangganya agar tetap bisa menghidupi keluarganya tanpa harus merantau ke luar kota apalagi ke luar negeri.

Kenangan tentang ibu satu per satu mulai tergambar jelas dalam ingatan. Ibu yang hobi memasak, selalu menyuruhku makan semua masakannya. Ibu pernah memukul pelan kepalaku dengan centong nasi, karena aku salah menambahkan merica bukan ketumbar, jadilah aku bahan tertawaan semua karyawannya. Ibu sama sekali tidak marah.

Ibu pernah tiba-tiba ditemani jalan-jalan di Mall. Menolak semua pilihan bajuku. Tapi memilih baju anak-anak usia 7-13 tahunan, untuk anak-anak pekerja di rumahnya. Pernah juga memintaku menemaninya nonton di bioskop. Lalu, bermain basket di timezone. Menyemangatiku dengan penuh semangat.

Aku mengusap air mata di pipiku. Ibu, aku pasti akan sangat merindukannya.

Bel rumah tiba-tiba berbunyi. Aku berkaca sebentar, memastikan mataku tidak terlalu sembab dan tidak ada bekas airmata yang terlihat.

Aku membuka pintu. Ibu berdiri dengan tatapan nanar.

"Ibu? Ibu sama siapa?" Aku langsung menyambutnya dengan sumringah. "Oh, sama Pak Kadir. Masuk, Bu, Pak."

Pak Kadir, supir mobil pengantar nasi kotak, kali ini mengantar ibu.

"Iya, Mbak. Gak tega ngebiarin ibu ke sini sendiri." Pak Kadir menjawabnya sopan.

"Kamu ke dapur aja, Dir. Bikin-bikin kopi atau teh, makan apa yang ada di dapur. Aku mau ngomong sama Alesha." Ibu bicara dengan intonasi tak biasanya. Dadaku berdegup cepat. Aku tiba-tiba takut.

"Iya, Bu, siap." Pak Kadir langsung melenggang ke dapur.

Ibu duduk di sofa ruang tamu. Dia menatapku yang berdiri canggung. Lalu, dengan matanya memintaku duduk di sisinya.

"Jadi benar apa yang dikatakan Wikan ke ibu?" tanyanya datar.

Aku menggigit bibir. Tanganku dingin sekali. Aku belum menyiapkan jawaban apa-apa. Ibu datang terlalu cepat.

"Ibu, Ale buatin teh dulu ya? Atau Ibu mau apa biar Ale .... "

"Gak usah basa-basi, langsung jawab aja." Tatapan ibu begitu dingin. Aku menunduk. Menghindari tatapan matanya. Aku bingung harus menjawab apa.

"Jadi benar kalian mau pisah?" Suara Ibu bergetar. Getarannya menembus hatiku. Rasanya seperti diiris dengan silet tajam.

"Kalian sedang bercanda, kan? Ngerjain Ibu? Itu kaya di youtube-youtube itu. Prank. Iya kan ini cuma prank?" Ibu meraih kedua tanganku. Menggenggamnya erat. Sepasang mata itu berkaca. Ya Tuhan, aku tidak sanggup memandangnya.

Aku tidak menjawab apapun. Hanya mampu menggeleng.

"Kalian jangan bercanda, ibu gak mau kalian pisah." Airmata ibu meleleh. Aku segera mendongak. Tidak ingin air mataku tumpah juga.

"Ibu mohon, kalian jangan bercerai." Tangis ibu benar-benar pecah. Aku tidak bisa tidak menangis mendengar isakannya.

"Ibu janji gak akan ungkit-ungkit lagi soal anak. Gak apa-apa kalau kamu gak bisa kasih Ibu cucu. Gak apa-apa kalau kalian mau adopsi anak. Gak apa-apa gak adopsi juga. Pokoknya, ibu gak akan bahas cucu lagi. Ibu janji. Tapi, ibu mohon, jangan pisah sama Wikan. Jangan tinggalin ibu."

Aku memeluk ibu. Ibu terus memintaku untuk tidak meninggalkannya dan Wikan. Hatiku terasa begitu ngilu. Sakit sekali. Ibu, andai aku bisa, aku pun tak ingin melakukannya.

"Tolong, jangan pisah sama Wikan," suara serak itu lirih terdengar, lalu perlahan isakannya tak lagi terdengar. Tubuh itu lemah di pelukanku. Aku menggoyangkan tubuh tuanya. Tak bergerak. Ibu pingsan.

Perempuan Penyuka Es TehTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang