Bagian 16

2.4K 211 3
                                    


Ibu tertidur setelah perawat masuk memberinya obat melalui suntikan jarum. Sudah pukul 21.00. Wikan belum kembali.

Aku melempar pandang ke luar jendela dari lantai empat rumah sakit. Menyibak kain gorden yang menggantung menutupi jendela kaca. Gemerlap cahaya lampu kota menghampar di sejauh mata memandang. Sementara, di halaman rumah sakit, seorang lelaki dan perempuan yang berdiri di antara beberapa kendaraan roda empat yang parkir di sana, tertangkap indera penglihatanku.

Lelaki berkaos putih dengan celana jeans yang sobek di bagian lutut itu hanya tampak punggungnya. Justru dari punggung itu aku mengenalinya. Wikan.

Ya, meskipun ada sekian belas atau sekian puluh laki-laki di lingkungan rumah sakit ini yang memakai kaos seperti itu, tapi aku tidak mungkin keliru mengenali Wikan. Punggung itu yang selalu kupandangi diam-diam. Punggung yang membuatku tiba-tiba senyum-senyum sendiri tiap kali memandangnya.

Sepasang mataku tak berkedip memandangi sejoli itu. Menyaksikan betapa eratnya jari-jemari mereka bertautan. Aku bisa membayangkan bagaimana tatapan laki-laki itu pada perempuan yang berdiri di hadapannya, yang jemarinya tak pernah dilepaskan sedetik pun, terhitung sejak mataku menemukan mereka di halaman rumah sakit.

Sejenak, terbit keinginan untuk mengetahui obrolan mereka. Apa saja yang sedang mereka bicarakan. Apa saja yang sedang diucapkan si lelaki itu. Apa saja yang diadukan perempuan itu. Ah!

Aku terus menatap punggung lelaki berkaos putih itu. Lalu, kata demi kata, kalimat demi kalimat Ibu melintas tanpa henti di kepala.

"Ibu mohon, tetaplah di sisi Wikan. Cuma dengan itu Ibu bisa tenang." Ibu menggenggam erat jemariku lama sekali, tadi. Sorot matanya menyiratkan permohonan hatinya yang terdalam. Demi menjaga hatinya, aku mengangguk.

Sebuah anggukan kecil yang kini ku sesalkan. Mengapa sulit sekali mengakui Ibu bahwa aku adalah sosok yang diminta pergi. Pantaskah aku tetap bertahan? Lagi pula, apa yang ku perjuangkan? Cintanya Wikan? Bahkan sedari awal aku tahu, cintanya tak pernah untukku.

Sepasang mataku masih tertuju pada dua tubuh yang berhadapan itu. Wikan, lelaki berkaos putih dengan celana jeans panjang, dan Erika, perempuan berambut panjang, pirang, bergelombang, berkaos putih juga, dan memakai celana kulot biru bergaris menutupi lututnya, jenjang kaki putih-mulusnya terlihat.

Aku baru berhenti memandangi gerak-gerik mereka, sesaat setelah pelukan itu tercipta. Wikan memeluk dengan hangat. Wikan memeluk begitu Erika erat. Di hatiku, hujan turun hebat.

Ku tutup kembali gorden yang menggantung di jendela.

***

Ibu masih lelap. Di dalam ruangan ini, aku ditemani Ranti. Anak yatim piatu tetangga Ibu, yang selalu menemani Ibu di rumahnya, baru datang ba'dha isya tadi, diantar Pak Kadir.

Aku berpamitan pada Ranti untuk meninggalkan kamar sejenak. Tidak tahu akan melakukan apa. Tapi, dadaku terasa sesak jika berlama-lama di ruangan ini. Entah mengapa, rasa-rasanya aku ingin menghilang saja.

Aku kembali menyusuri lorong rumah sakit. Jika bukan karena Ibu, aku tentu benar-benar memilih melangkahkan kaki dan tak kembali ke tempat ini. Jika bukan karena Ibu, tentu aku tidak akan memikirkan Wikan dan perempuan itu, sedalam ini. Aku tidak akan peduli pada mereka, seperti yang mereka lakukan padaku.

Getar gawai di kantong sweater abu-abu yang ku kenakan membuyarkan segala hal yang berkecamuk dalam pikiran. Aku merogoh ke dalam kantong sweater. Mengambil benda persegi panjang berukuran 6,5 inch. Aku menyesal begitu menemukan nama Wikan terpampang di layar.

Tujuh kali panggilan teleponnya kuabaikan. Biarlah. Tak lama, sebuah pesan teks dikirimkannya.

[Kamu udah makan belum? Mau aku belikan sesuatu?]

Aku membaca pesan yang dikirimkannya beberapa kali. Kuulang-ulang sampai bosan. Isinya tetap sama. Tidak berubah. Menyebalkan sekali rasanya masih menerima perhatian darinya. Rekaman kejadian beberapa menit yang lalu bahkan masih begitu nyata dalam ingatan. Sesaknya masih terasa.

Aku memilih mengabaikan pesan itu. Sudahlah. Abaikan saja. Aku masih bisa mencari dan memesan sendiri makanan apa yang kuinginkan.

Aku melanjutkan langkahku. Aku berbelok ke kanan dari deretan ruangan Ibu. Di sudut lorong ada bangku besi panjang. Aku memilih duduk di sana. Tak ada orang di sana.

"Ale?" Sebuah suara laki-laki mengagetkanku. Aku menoleh. Terpaku beberapa saat.

Laki-laki kurus, tinggi, berambut gondrong berdiri di sisi kiriku. Rambut sebahu yang dibiarkannya terurai membuatku tak berkedip sembari mengingat-ingat, siapa laki-laki ini.

"Lo ngeliatin gue kayak ngeliat hantu deh. Ini gue Damar, sayang, hahahaha." Dia tertawa lebar. Sepasang mataku semakin membola. Aku berdiri. Semakin lekat memperhatikannya.

"Damar?" Alisku terangkat sebelah. Dia mengangguk mantap. Kedua tangannya terbuka lebar, berusaha memelukku. Aku langsung menarik mundur tubuhku.

"Eh, lupa. Masa gue mau peluk-peluk istri orang." Dia tertawa lagi. Renyah sekali.

"Ini beneran elo? Damar si preman tukang dikeluarin dari sekolah." Aku tak kalah girang. Aku pasti sudah menghambur juga dalam peluknya, jika saja tak malu dengan jilbab yang kukenakan.

"Gila empat tahun gak ketemu. Empat tahun gak ada kabar. Tiba-tiba ketemu di sini. Ya Tuhan, skenario-Mu memang luar biasa. Selalu mengejutkan. Terima kasih Ya Allah." Damar tertawa lagi. Dia memang semenyenangkan itu. Ceria. Banyak tertawa. Murah senyum. Punya banyak stok kalimat dan topik untuk dibahas.

"Lo ke mana aja sih? Ngilang gitu aja," tanyaku.

Dia duduk. Kami duduk bersisian. Berjarak dua jengkal.

"Lo nyariin gue? Kangen pasti." Damar terbahak lagi. Aku memukul lengannya pelan. Gregetan.

"Kangen maen basket bareng gue gak sih, Le? Kangen lari keliling lapangan gara-gara gak ngerjain PR, Hahahaha."

"Gue dihukum gara-gara lo," kataku kesal. Dia kembali tertawa.

Mungkin sama-sama menelusuri jejak-jejak masa SMP. Dia kawan satu kelas di SMP. Aku pernah dihukum guru gara-gara dia menghilangkan buku tugasku. Pernah juga diusir keluar ruang ulangan akhir semester gara-gara kertas ulanganku sobek karena ditarik paksa oleh Damar. Meski semenyebalkan itu, Damar adalah teman yang baik. Hampir setiap sore, kami bermain basket bersama. Dia selalu memberikan bekalnya untukku. Dia anak tunggal. Orangtuanya teramat perhatian. Bekal sekolahnya selalu masuk kategori empat sehat lima sempurna.

"By the way, lo ngapain di sini?" tanyaku.

"Anak gue sakit," jawabnya singkat. Dia tiba-tiba diam. Senyumnya luntur.

"Sakit apa?"

"Biasa lah anak-anak, pengen permen juga demam." Dia tertawa lirih. Tertawa yang sedikit dipaksakan. Aku menepuk bahunya pelan.

"Eh, lo udah nikah lagi belum sih?" tanyaku. Dia menatapku lalu terkekeh.

"Dua tahun lalu gue mau ngajak nikah lo. Eh, keduluan si Wikan." Tawa kami pecah seirama.

Dia duda. Istrinya meninggal empat tahun lalu setelah tiga hari melahirkan anak pertamanya. Anak mereka satu-satunya.

Malam ini, di antara keruhnya pikiran dan berantakannya isi hati, aku bersyukur dipertemukan dengan Damar di sini. Setidaknya, tawa-tawa kami sedikit meluruhkan beban di hati.

--continue--

Perempuan Penyuka Es TehTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang