Wikan ke sini? Jam satu malam? Untuk apa?
"Udah, keluar sono!" Hana melotot tajam. Dia berkacak pinggang. Muka bantalnya tampak semakin galak. Daster selututnya sedikit kusut. Rambutnya berantakan. Kenapa dia malah jadi mirip ibu kos galak penagih uang bulanan di sinetron-sinetron?
Aku menggigit bibir. Menarik napas dalam. Apa yang harus kulakukan sekarang? Haruskah aku menemuinya?
"Malah diem aja, udah sana buruan!" seru Hana semakin galak.
Aku tak berkutik. Bayangan wajah Wikan menari-nari di kepala. Senyumnya. Tawanya. Celotehannya. Semua tentangnya berdesakan di kepala. Menumbuh pening tak terkira.
"Le, anak orang itu di luar nungguin."
Aku menunduk. Kenapa gampang sekali sih Wikan menebak keberadaanku? Ah, ini sih salah Hana yang bukannya segera menemaniku cari kontrakan malah memaksaku tinggal di sini. Wikan tidak bodoh. Dia jelas tahu tempatku mengungsi. Aku yang bodoh.
"Gue ngantuk tau, Le. Udah lo keluar sono. Pulang sama suami lo."
Suami? Ah, aku bahkan hampir tidak pernah merasa punya suami. Wikan adalah laki-laki yang menikahiku. Teman serumah. Tetangga kamar. Teman makan. Teman sepedaan. Teman jalan-jalan malam. Teman main di time zone. Teman nonton. Teman yang pernah berjanji untuk menua bersama, namun ingkar. Ah!
Tidak. Dia tidak ingkar. Dia hanya tidak bisa mengingkari hatinya bahwa hanya Erika yang ada di hatinya. Hanya Erika yang diinginkannya menua bersamanya. Bukan aku. Bukan.
Aku memejamkan mata. Menarik napas dalam. Aku harus menghadapinya. Aku tidak boleh menghindar. Sampai kapan? Toh, pada akhirnya segala tentangnya harus kuselesaikan. Bukan dibiarkan begitu saja.
Hana mendekat. Tatapannya redup menemukan sepasang mataku berembun. Terakhir aku serapuh ini adalah saat Mas Davin memintaku pergi. Memintaku membunuh semua cinta yang telanjur bersemi indah di dalam hati. Memintaku menjauh sejauh-jauhnya dari hidupnya.
Dan sekarang, saat aku memilih pergi dari Wikan pun, aku tak kalah rapuh. Semua tampak jelas di mataku. Hana tahu itu. Dia bisa membacanya.
Hana memelukku.
"Temuilah, kalian harus bicara."
Mendengar itu, dadaku semakin sesak.
"Cinta itu sudah tumbuh tanpa kalian sadari. Pulanglah bersamanya," bisik Hana di telinga. Pipiku basah.
***
Aku ke luar rumah, masih mengenakan piyama merah maroon dengan jilbab kaos warna abu-abu. Kumasukkan kunci ke lubang di gembok. Putar sebentar. Gembok pun terbuka. Ku tarik pengait di gerbang perlahan.
Tubuh tinggi tegap berdiri tepat di hadapanku saat gerbang sedikit kutarik ke dalam. Terbuka sebadan. Dia berdiri. Di hadapanku. Kami berhadapan. Mematung.
Wikan masih mengenakan kemeja merah maroon yang dipakainya ke kantor pagi tadi. Hanya digulung lengannya. Sedikit kusut. Pun wajahnya. Tampak kusut tak seperti biasanya.
"Mana koper kamu?" Entah apa yang ada di kepala Wikan, tapi itulah kalimat pertama yang ia lontarkan usai hening beberapa saat.
"Di dalem." Dan entah kenapa, aku begitu polos menjawab pertanyaannya dengan sangat jujur tanpa basa-basi.
"Biar aku ambil, kita pulang." Wikan berusaha masuk. Melewatiku. Tapi, langsung ku tahan.
"Wikan," kataku pelan namun penuh penekanan.
"Kali ini aku mohon, tolong hargai keputusanku." Dadaku bergemuruh hebat saat kalimat tanpa rencana itu meluncur sempurna.
"Biarkan aku sendiri," lanjutku.
Wikan terhenti. Tak berkutik. Membatu menatapku.
"Kamu kenapa tiba-tiba kayak gini?" tanyanya lirih.
Wikan menatap pilu. Aku pun memberanikan diri
membalas tatapannya. Di wajahnya, bayangan Ibu tiba-tiba hadir. Rasa bersalah memenuhi rongga dada. Ibu, maaf."Kita bisa omongin ini baik-baik di rumah," ujarnya. "Ayo, pulang."
Aku menelan ludah. Getir. Menggeleng pelan. Menunduk rapuh.
"Biar aku ambil koper kamu." Wikan baru maju selangkah, kakiku langsung bergeser mencegahnya. Tubuh kami bersinggungan.
"Wikan." Lagi, aku menyebut namanya lirih. Penuh penekanan. Dia menatapku tajam. Begitu dalam.
"Kamu bisa urus perceraian kita mulai besok. Kalau kamu sibuk, aku sendiri yang akan mengurusnya."
"Le ...."
Aku tersenyum. Sungguh, aku benar-benar bisa tersenyum di hadapan Wikan. Entah apa yang membuatku mampu melakukan itu.
Wikan menatapku sendu.
"Kamu pernah memintaku pergi, saat aku melakukannya, kenapa kamu harus mencegahnya?" Aku berusaha terlihat tegar.
Aku tidak tahu, bagaimana kata demi kata itu bisa meluncur lancar dari bibirku. Aku bahkan tidak merencanakannya. Terlintas dalam pikirku pun belum.
"Aku hanya melakukan apa yang seharusnya kulakukan sejak lama," lanjutku sebelum Wikan sempat membalas ucapanku.
Kali ini aku berucap tanpa menatapnya. Aku tidak ingin ada yang jatuh dari mataku. Aku tidak ingin memperlihatkan sisi lemahku pada Wikan. Dia tidak boleh tahu.
"Pulanglah," pintaku.
Wikan menggeleng. "Aku gak akan pulang tanpa kamu."
"Tapi kamu harus pulang."
"Rumah itu rumah kita, apa arti pulangku tanpa kamu?"
Aku tersenyum getir. Ingatan tentang kali pertama Wikan membawaku ke rumah itu, hadir. Hari itu, yang ada hanya bahagia dan lega. Bersyukur dan beruntung. Rumah mungil itu bangunan yang pernah kuimpikan. Hunian yang kuidamkan.
Wikan mempersilakanku membeli properti apapun yang kumau untuk mengisi rumah itu. Termasuk sofa coklat di depan layar 40 inch di ruang tengah. Tempat favoritku. Dia sama sekali tidak keberatan aku merombak tatanan rumahnya. Dia juga mentransfer uang yang setara dengan gajiku selama satu tahun, setelah aku resmi resign. Dia benar-benar menjadi pahlawan bagiku saat itu. Menyelamatkan hidupku dari hujan hujatan tetangga. Menyelamatkan hidupku dari lelahnya bekerja dengan lingkungan penuh energi negatif.
Saat itu, aku merasa di atas awan. Bebas berleha-leha serta menyandang gelar istri orang. Bisik-bisik tetangga cukup menyejukkan telinga. Katanya aku beruntung. Menikah dengan laki-laki mapan dan tampan. Kabar burung yang harum menyebar begitu cepat. Lenyap juga cepat. Karena, tertimpah oleh kabar tentangku yang tak jua hamil. Banyak hal-hal tak sedap hinggap di telinga, masuk ke hati. Lalu, aku pun mulai terbiasa.
"Aku sungguh berterimakasih pernah diizinkan tinggal di rumah itu." Lagi-lagi aku tersenyum. Senyum yang kupaksakan.
"Le, ayolah jangan kayak gini. Kita bicarakan ini di rumah," lirihnya memohon.
"Aku udah gak bisa balik ke sana. Aku perlu ruang untuk sendiri."
"Kenapa?"
"Bukankah aku juga berhak bahagia? Dengan atau tanpamu," kataku.
"Tapi, aku butuh kamu, Le. Suka atau tidak, aku butuh kamu di hidupku."
Aku menarik napas dalam. Mendongak sedikit agar tak ada air mata yang jatuh.
Wikan menarik tanganku. Menggenggam jemariku.
"Kamu jangan membuatku takut, aku sa ..." Wikan berhenti sebelum menyelesaikan kalimatnya.
"Pulanglah, kamu harus istirahat. Kita perlu istirahat," kataku.
"Aku benar-benar butuh kamu, Le. Tolong jangan memintaku melangkah sendiri tanpa kamu. Aku tidak yakin akan setegak kemarin. Aku butuh kamu di hidupku, Le."
Aku menulikan telinga. Menarik paksa tanganku. Genggamannya terlepas. Hangat jarinya tak lagi terasa.
Aku menutup pelan gerbang. Lalu, berbalik badan tanpa sekali pun menoleh ke belakang. Tidak sedetik pun.
"Kita sudah selesai, Wikan. Sudah selesai," ujarku lirih tanpa menoleh. Tanpa didengarnya.
---continue---

KAMU SEDANG MEMBACA
Perempuan Penyuka Es Teh
RomanceBagaimana aku bisa memenuhi rengekan ibu mertua tentang cucu sementara pernikahanku dan Wikan hanya sebatas status di Kartu Keluarga? Aku masih menggenggam erat cinta masa lalu. Wikan masih terhujam kisah yang lalu. Kami sama-sama tak lagi percaya p...