"Ngapain Erika ngubungin Wikan?" tanya Hana penuh selidik. Kalimatnya ketus. Tampak amat tak sukanya.
Tangannya terampil mengiris daun bawang. Gesit beralih mengocok telur.
"Dia udah ninggalin Wikan pas Wikan lagi terpuruk-terpuruknya, sekarang dateng pas lagi masa jaya. Seenak jidatnya." Hana nyerocos sambil mengocok telur.
Dia sedang membuat bakwan telur. Permintaanku. Dia sungguh teman yang sangat bermanfaat untuk urusan perut.
Aku memutar-mutar botol saus pedas di meja makan. Bayangan Wikan berputar-putar dalam ingatan.
"Wikan tuh cinta banget sama Erika." Aku bersuara tanpa selera. Lalu, bertanya-tanya sendiri, kenapa aku mengatakan kalimat itu?
Hana mulai memasukkan bakwan telur itu ke dalam cetakan. Di dalam minyak goreng dengan api berukuran sedang.
"Emang bego si Wikan mah." Hana tak sedikit pun menoleh ke arahku. Sepasang matanya fokus memerhatikan telut-telur berbentuk bulat-bulat kecil setengah pipih yang mulai kekuningan di dalam cetakan penggorengan.
"Cinta sama bego emang beda tipis sih," ujarku masih dengan pandangan pada botol saus.
Hana sering menggosipkan tentang Wikan dan Erika, jauh sebelum aku akhirnya menikah dengannya. Hana yang entah sebab apa, begitu terobsesi dengan hubungan dua sejoli paling ideal masa SMA itu, begitu menggebu-gebu menceritakan tentang putusnya tali kasih mereka. Aku dipaksanya mendengarkan kisah kasih orang lain yang bahkan tidak terlalu kukenal.
Di tahun keenam hubungan mereka, Erika lulus dari akademi keperawatan. Wikan masih duduk di semester enam. Bahkan, sempat cuti kuliah, dikarenakan faktor ekonomi. Wikan yang saat itu hanya anak dari seorang perempuan yang suaminya menghilang selama 20 tahun, yang menghidupi tiga anak dengan berjualan soto ayam, dan harus melunasi hutang-hutang Ayahnya yang nilainya tidak sedikit.
Di saat Wikan masih bekerja serabutan untuk bisa membiayai kuliahnya, Erika yang sudah satu tahun bekerja di sebuah Rumah Sakit swasta di luar kota, didesak orang tuanya untuk segera menikah. Wikan belum siap untuk itu. Apalagi ibunya. Tak lama, Erika pun menikah dengan salah satu dokter muda di rumah sakit itu. Wikan datang bersama timnya, sebagai fotografer di sana.
Aku saat itu terheran-heran, Hana bahkan mengetahui informasi sampai sedetail itu.
Bagi Wikan, Erika bukan hanya sebatas cinta masa lalu. Erika adalah masa depan yang diimpikannya. Tak berhasil bersanding di pelaminan bersama Erika adalah patah yang tak ingin dia sembuhkan. Cintanya berakhir di sana. Tak pernah lagi memberi kesempatan hatinya untuk jatuh di tempat lain.
"Lo juga bego gara-gara cinta," celetuk Hana membuyarkan lamunanku.
Aku spontan menoleh. Dia sudah memindahkan bakwan telurnya ke dalam piring.
"Lo sama Wikan kan sama-sama bego, makanya kalian berjodoh." Hana tertawa puas. Dia meletakkan sepiring bakwan telur di hadapanku. Aku lupa berterimakasih karena kesal dengan kalimat dan tawanya.
"Lo gak ngikutin kabar Erika lagi?" tanyaku sambil menuangkan saus pedas ke sisi piring.
"Males. Ngapain? Mereka putus, gue juga putus hubungan."
Kali ini aku hampir tertawa. Menggelikan sekali dia ini.
"Suami lo kapan pulang? Merdeka banget hidup lo suami jauh tapi transferan ngalir mulu," kataku menggodanya, sekalian menyegarkan topik. Kepalaku sedikit goyah memikirkan Erika semalaman.
"Transferannya gak segede transferan Wikan kali .... " Hana manyun, aku cengar-cengir.
"Siapa yang bahas nominal, Harnooo .... "
KAMU SEDANG MEMBACA
Perempuan Penyuka Es Teh
RomanceBagaimana aku bisa memenuhi rengekan ibu mertua tentang cucu sementara pernikahanku dan Wikan hanya sebatas status di Kartu Keluarga? Aku masih menggenggam erat cinta masa lalu. Wikan masih terhujam kisah yang lalu. Kami sama-sama tak lagi percaya p...