Bagian 30-B

4.8K 347 78
                                    

Assallamualaikum. Tabik Pun.
Ini jawaban dari pertanyaan, "Kenapa part kemarin pendek?"
Yes, jadi kemarin 30A, tulisannya Wikan. Sekarang 30B, Ale yang nulis. Bingung gak? Bingung ya? Pokoknya gitu lah. Hahaha.

Kenapa gak dijadiin satu aja? Jawabnya, biar greget. Hahaha.

Btw, stay healthy, stay happy #dirumahaja. Aku sayang kalian. 💕💕💞
-----------------------------------------------------------------------------

Ba'dha dzuhur, usai menunaikan shalat, aku bergegas ke counter. Gawaiku beberapa hari rawat inap di sana.

Setelah memasang kembali sim card dan gawai kembali aktif, berondongan notifikasi mencipta getar dan bunyi tak henti-henti.

Nama Wikan paling mendominasi. Ah, dia masih mencariku?

Hana nomor dua. Ketiga Bunda. Ah, Bunda? Tak biasanya Bunda menghubungiku begitu sering. Ada apa?

Rindu juga rasanya lama tak berbincang dengannya. Sepertinya aku harus segera menemuinya.

Begitu tiba di kontrakan, aku segera menghubungi Bunda.

"Assallamualaikum, Bunda."

"Wallaikumussalam putri Bunda tersayang."

"Bunda sehat? Ayah sehat?"

"Alhamdulillah."

Aku menghela napas. Lega sekali rasanya.

"Mas Akbar sama Mbak Ranti sehat?" tanyaku lagi.

"Tanya sendiri dong, kamu nih sama brother sendiri gak perhatian. Cuma satu itu. Limited edition loh."

"Hahahaha. Abang satu tapi nyebelin. Males, ah."

"Kamu udah makan, Nak?" tanya Bunda dan tiba-tiba membuat mataku pedih. Ah, jadi pengen pulang.

"Sudah, Bun. HP Ale rusak, Bun. Kemaren-kemaren nginep di counter. Jadinya pas Bunda nelponin gak aktif deh. Maaf ya, Bun. Nanti Ale ke rumah deh. Kangen juga lama gak pulang."

"Pintu rumah ini selalu terbuka lebar untuk kamu. Pelukan Bunda juga selalu ada untuk kamu. Jangan jauh-jauh. Pulangmu untuk semua masalah dan tatu di hatimu adalah rumah ini. Ayah dan Bundamu." Suara renyah Bunda pudar. Sedikit serak. Pelan. Tenang. Meneduhkan. Sekaligus membuat dadaku sesak.

"Bun... " Aku membiarkan air mataku luluh. Rasa bersalah mengepungku.

"Bun, apa Wikan...?" Kalimatku menggantung. Aku ragu melanjutkannya.

"Dia anak yang baik. Datang bawa makanan dan hadiah untuk Ayah dan Bunda. Mengobrol santun dengan Ayah dan Bunda. Dan, mencarimu tanpa mengucapkannya."

Air mataku semakin deras. Aku hanya menggigit bibir.

"Tapi, Bunda ini yang melahirkanmu. Bunda yang bangun tengah malam menyusuimu saat kamu menangis. Tak peduli berapa pun usiamu kini, sedewasa apa kamu, kamu tetap putri kecil Bunda, Bunda akan selalu merasakan perih di hatimu. Pulanglah, Nak."

Aku terisak. Sungguh terisak. Tak lagi mampu berkata-kata.

Bunda tak banyak berucap lagi. Bunda hanya diam mendengarkan isakan tangisku. Dan, aku berterimakasih untuk itu. Sesak di dadaku reda.

Benar, kasih anak sepanjang galah, kasih ibu sepanjang masa.

"Maafin Ale, ya, Bun." Aku menutup telepon setelah mengucap salam.

Bunda, terima kasih dan maaf.

***
Aku tertidur sejenak usai sesenggukan tadi. Aku terduduk di atas kasur lantai seadanya. Ruangan segi empat sederhana. Tempatku melarikan diri. Mengasingkan diri. Menguatkan diri.

Perempuan Penyuka Es TehTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang