Bagian 5

2.6K 204 2
                                    

Langit malam ini bertabur bintang. Aku mengintipnya dari jendela kamar.

Sudah lewat pukul sembilan. Wikan belum pulang. Ini hal biasa. Sangat biasa. Kadang, Wikan bahkan tak pulang. Dan aku tak pernah memikirkan hal itu berkepanjangan. Aku juga tidak pernah repot-repot bertanya dia di mana, dengan siapa atau sedang berbuat apa. Aku abai dengan hal-hal semacam itu. Aku merasa tidak berhak bertanya. Dia bebas melakukan apapun yang dia mau tanpa perlu aku tahu.

Tiba-tiba, HP-ku bergetar. Sebuah nama peringkat dua paling sering menghubungiku dalam dua tahun ini, muncul di layar. Peringkat satunya adalah Hana. Namanya di kontak HP-ku tak pernah berubah sejak pertama dia menghubungiku. Bassis SMA.

Aku menggeser icon telepon berwarna hijau di HP-ku. Suara Wikan langsung menyambar. Renyah.

"Le, keluar yuk," ajaknya bersemangat.

"Sekarang?"

"Sewindu lagi. Yaiyalah, sekarang. Yuk, yuk .... "

"Emang kamu di mana?" tanyaku.

"Di depan nih."

"Depan rumah? Loh, kapan pulang?"

"Yaelah, keluar aja deh. Nanti ku ceritain," jawabnya.

Aku mengiyakan. Sambungan seluler ku putus. Aku sedikit berbenah. Memakai sweater merah muda langgananku. Juga berganti jilbab dengan warna senada.

Aku bergegas ke luar. Benar, dia sudah menungguku di depan rumah. Duduk santai di motorku.

"Naek motor?" tanyaku.

Dia mengangguk mantap. Senyum manisnya mengembang.

"Mobil kamu kenapa?"

"Ada kok, baik-baik aja. Aku pengen naik motor aja. Keliling nyari sosis bakar. Seru kayaknya. Ya kan?" ujarnya.

Wikan memang sesederhana itu. Semenyenangkan itu.

***

"Kamu belum ganti oli, Le?" tanyanya saat mengendarai motor. Di antara sapuan angin malam. Kadang, aku menyukai udara malam di luar ruangan begini.

"Rencananya sih besok." Aku berkilah. Tentu saja aku belum ganti oli karena lupa. Perkara oli memang kerap terabaikan.

"Udah kurang nyaman, besok disempetin ganti oli ya?"

Aku hanya iya-iya saja. Wikan memang seperhatian itu. Pada motorku.

Tak sampai 10 menit, aku dan Wikan sudah singgah di depan tukang sosis bakar. Aku memesan empat tusuk sosis sapi.

Setelah sekian menit menunggu masa pembakaran sosis, akhirnya sosis siap santap. Aku dan Wikan memilih untuk duduk di bangku besi di samping lampu taman.

"Seharian tadi ke mana aja, Le?" tanyanya sambil menyandarkan punggungnya.

"Ke Hana," jawabku singkat.

"Awet banget ya temenan sama Hana."

"Antara setia kawan sama gak punya temen lagi emang beda tipis sih," jawabku.

Wikan tertawa. Aku selalu suka mendengar tawanya. Aku selalu suka melihat wajah sumringah itu.

"Aku ingat dia bikin artikel tentang aku lalu bikin mading sekolah jadi heboh." Dia tertawa lagi.

Aku juga. Aku ingat hari itu mading sekolah yang biasanya hanya dibaca satu-dua siswa yang kebetulan melintas, mendadak jadi kerumunan warga sekolah. Di jaman gadget yang belum terlalu mewabah seperti sekarang ini, mendapatkan foto orang lain tidaklah mudah. Namun, Hana mendapatkan beberapa foto Wikan. Dan, satu foto yang menggemparkan. Tampak Wikan sedang duduk di samping perempuan berambut panjang, jelas bukan Erika, rambut Erika pendek, masih berseragam sekolah lengkap, si rambut panjang itu tampak menyandarkan kepalanya di bahu Wikan. Difoto apik dari belakang. Sebuah judul besar tertera jelas, "Siapa Dia? Wikan-Erika Putus?"

Buntutnya, Erika melabrakku. Aku sebagai pimpinan redaksi dimaki-makinya. Hampir saja ditamparnya, jika Wikan tidak menahan tangannya. Hana berdiri ketakutan di sampingku. Mendadak kami menjadi tontonan. Wikan segera menarik Erika. Hana langsung meminta maaf karena menempel foto dan artikel itu di mading tanpa sepetahuanku. Niatnya bercanda. Karena, si rambut panjang dalam foto itu juga hanya teman lelaki Wikan yang memakai wig tantenya yang baru pulang dari Hongkong.

"Tapi dia langsung minta maaf loh ke aku dan Erika, loh." Sepasang mata Wikan berbinar mengingat masa itu.

Aku mengangguk-angguk. Merasa lucu mengenangnya. Tapi, sebagian ruang hatiku sedikit retak saat mendengar nama Erika disebut. Entahlah, mungkin karena aku dan dia sudah lama tidak membahasnya.

"Tapi gara-gara itu jiwa intelnya semakin tergugah. Makin semangat cari info tentang kamu," ujarku. Wikan tertawa lagi.

"Dia pasti yang paling kaget pas kita mau nikah," tambah Wikan. Aku mengangguk. Aku dan Wikan kembali terbahak. Kompak.

Malam masih panjang. Aku sudah melahap satu setengah sosis. Pedas. Dia dengan sigap menghampiri penjual minuman. Dua gelas plastik berisi es teh dibelinya.

"Kamu mau juga?" Aku agak heran melihatnya membawa dua gelas es teh. Tidak biasanya.

"Emang kamu gak kurang kalo cuma 1 gelas?" godanya. Dia tersenyum lagi. Sialan.

Dia menyerahkan satu gelas padaku. Satunya lagi dia letakkan di bawahnya. Agar tidak tumpah. Aku menyeruputnya. Dia mengusap kepalaku.

"Ambyar ya gak ketemu es teh sehari aja." Wikan masih meletakkan telapak tangannya di kepalaku. Aku asyik menyeruput es teh.

"Le .... " Wikan pelan menyebut namaku. Sambil mengelus kepalaku.

"Iya," jawabku.

"Tadi, Erika mengirimiku pesan teks di whatsapp .... "

Aku berhenti menyeruput es teh. Untuk kedua kalinya, ketidaknyamanan itu mengusik hatiku.

Tapi, apa hakku untuk merasa tidak nyaman mendengar nama perempuan yang kuyakini bahwa sampai hari ini masih menjadi satu-satunya di hati Wikan? Kita bahkan pernah menghabiskan malam hanya untuk membahas tentangnya. Menyebut namanya berulang kali. Mengapa kali ini rasanya berbeda? Ada apa dengan hatiku?

"Tapi belum kubales ... " lanjut Wikan. Terdengar sedikit gamang.

Angin malam terasa semakin dingin. Aku merapatkan sweaterku.

"Di mana dia sekarang?" tanyaku mencoba sedikit menetralkan hati.

Dia menggeleng. Tatapan matanya menerawang entah ke mana. Hatiku tiba-tiba berawan.

Perempuan Penyuka Es TehTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang