EMPAT

3.5K 214 11
                                    

Lantunan ayat suci bergema ke sudut-sudut ruangan rawat inap yang Fatimah singgahi. Suaranya yang merdu, membuat siapa saja merasa damai tatkala mendengar lantunannnya. Fasih dan tartil bacaannya. Sebuah paket komplit yang membuat bacaan Al-Qur'anul Kariim terhiasi dengan indahnya.

"Saya tidak salah ... saya tidak salah," igau Fatimah.

Igauan itu membuat Azfer yang tengah mengaji menghentikan bacaannya. Ia yang semula duduk di sofa rumah sakit, kini mendekat ke sisi ranjang Fatimah dan duduk di kursi yang berada di sebelahnya.

"Iya, kamu gak salah Al. Aa yang salah."

Azfer ingin sekali memegang tangan Fatimah dan mengelus puncak kepalanya, tapi apalah daya jika bukan mahram? Ia tidak mau melakukan dosa karena melakukan hal itu. Ketidaksengajaan saat menggendong Fatimah malam tadi pun, membuatnya merasa bersalah sampai saat ini. Oleh karena rasa paniknya, ia tidak pikir panjang tadi malam. Alhasil, ia terus merasakan keresahan.

Azfer harus bisa menjaga gadis bungsu itu baik-baik. Apalagi, Ibu Fatimah –Raisya—dan ayahnya—Zikri—sedang membeli sarapan di luar.

"Saya tidak bersalah," igaunya lagi.

Azfer menghela napasnya panjang. Jika saja ia datang di awal kejadian, ia bisa klarifikasi dulu pada anak didiknya, sehingga Fatimah tidak perlu seperti ini. Ia benar-benar merasa bersalah, karenanya penyakit Fatimah jadi kambuh seperti ini gara-gara dirinya.

"Kamu gak salah Alya, Aa yang salah di sini," ujar Azfer.

Mata Azfer terlihat sendu memandangi Fatimah yang terbaring lemas dan berparas pucat. Sepintas, ucapan dokter terlintas di kepalanya.

"Sebaiknya Fatimah jangan terlalu kecapekan. Anemianya bisa tambah parah jika ia terus merasakan gejalanya. Dia pasti kurang tidur, dan banyak pikiran yang membuatnya merasa stress dan pusing. Apalagi, setelah saya tahu kalau ada kejadian yang membuat Fatimah shock berat di lingkungan baru dan juga orang-orang barunya ...."

Perkataan yang diucapkan oleh dokter yang menangani kondisi Fatimah—dokter yang sudah menjadi langganan Fatimah berobat—pun membuat Azfer merasa semakin bersalah. Napasnya pun spontan terhela gusar. Walaupun memang Zikri dan Raisya sudah memaafkan dirinya, tapi ia masih merasakan ketidaktenangan itu.

"Nak Azfer, Fatimah sudah siuman?" Suara Zikri langsung menyadarkan Azfer dari lamunannya.

Azfer beralih menoleh ke arah orang tua Fatimah yang baru tiba di ruangan. "Belum, saya mendekat karena dia tadi mengigau."

"Ooh," balas Zikri yang kemudian duduk di sofa, disusul istrinya setelah ia memberikan bubur ayam pada Azfer.

"Fatimah itu gak biasa dibentak Nak Azfer, jadi ya ... kalau kena bentakan ia suka shock dan sesak napas. Hatinya itu lembut, mudah tergores dengan bentakan," tutur Zikri sambil menatap sendu putrinya.

Azfer mengukir senyuman miris. "Saya jadi merasa bersalah."

"Sudahlah Nak Azfer, ini hanya ujian untuk Fatimah, jangan menyalahkan diri sendiri," ucap Zikri menenangkan.

Azfer mengangguk pelan dan menoleh Fatimah sekilas. "Sepertinya anak bapak yang ini lebih spesial daripada Aisyah."

"Iya, spesial sekali. Selain karena Fatimah anak Ibu yang masih lajang, dia itu penyayang sekali, Nak. Beruntung kalau ada yang mau menikahi Fatimah," timpal Raisya.

Zikri langsung melirik istrinya setelah menghembuskan napas berat. "Mamah ini, anaknya masih sekolah kok udah ngomongin nikah aja."

"Biar atuh," balas Raisya yang diakhiri kekehan.

"Kalauboleh, saya mau." Tiba-tiba Azfer angkat suara.

Hal itu, sontak membuat orang tua Fatimah mengernyitkan dahi dan membulatkan matanya.

"Mau apa?" tanya mereka kompak.

"Makan bubur," balas Azfer sambil membuka stearofoam bubur itu.

"Ooh."

Zikri dan Raisya lantas menghela napas lega. Tadinya mereka kira, Azfer mau meminang putri kesayangannya.

...

Setelah sarapan di rumah sakit, Azfer kembali ke pesantren untuk mengklarifikasi tuduhan lancang santri dan santriwatinya kepada Fatimah malam itu. Sampai di pesantren, acara upacara sedang menyambut pagi ini, termasuk menyambut kedatangannya. Azfer pun lekas berdiri di jajaran para guru agar bisa ikut melaksanakannya.

Menit demi menit pun berlalu. Rangkaian acara satu per-satu mulai terselesaikan. Hingga tiba sesi pengumuman. Tak gentar, Azfer pun langsung maju ke atas fodium untuk memberikan klarifikasi yang sejelas-jelasnya kepada anak-anak didiknya. "Bismillahirrahmanirrahim. Anak-anak pesantren Ar-Rahman yang Ustaz banggakan, Ustaz di sini mau klarifikasi tentang tuduhan kalian pada santriwati baru kita, Fatimah, " ia menjeda ucapannya sembari melirik santri dan santriwatinya dari satu sudut ke sudut lainnya, "Kalian tahu, kalian itu tidak tabayyun dulu, menuduh orang dengan prasangka sendiri."

Azfer menghela napas panjang sebelum melanjutkan ucapannya. "Langsung saja ke inti untuk mempersingkat waktu. Pertama, kejadian di kantin adalah murni kecelakaan, tidak ada maksud kesengajaan sama sekali, Fatimah tidak salah. Kedua, gara-gara kalian anak orang penyakitnya jadi kambuh. Ketiga, setelah ini Ali dan Aliyana harap menghadap saya di kantor."

Setelah itu, barisan pun dibubarkan oleh pemimpin upacara.

...

Ali dan Aliyana duduk berjarak di sofa panjang yang tersedia di ruang konseling. Sedangkan Azfer memandangi kedua orang itu dengan tatapan serius, membuat suasana terasa tegang dan canggung untuk Ali dan Aliyana yang menjadi tersangka bagi Azfer.

"Kami minta maaf Ustaz, kami sadar, kami salah," tutur Ali.

"Tapi, Ustaz maaf, kenapa Ustaz bisa semarah dan sekhawatir ini?" tanya Aliyana yang sudah penasaran sejak semalam. Ya, Aliyana adalah ketua keamanan akhwat.

"Al," tegur Ali dengan sedikit memelototkan matanya.

Azfer memincingkan matanya. "Kamu mau kepoin Ustaz?"

"E-eh eng-ggak. Maaf Ustaz," jawab Aliyana gugup.

"Hm, sekarang kalian berdua kembali ke kelas. Dan nanti siang kalian ikut ke rumah sakit buat jenguk Fatimah," perintah Azfer.

"Iya Ustaz." Setelah mengiyakan apa yang Azfer perintahkan, mereka berdua pun kembali ke ruang kelas mereka masing-masing untuk lanjut menimba ilmu di Pesantren Ar-Rahman itu.

Seusai kepergian mereka berdua, Farid mendekat ke arah Azfer, lalu ia memegang pundak sahabatnya itu. "Anta harus segitunya ya sama adiknya Aisyah?"

"Kenapa? Ini wajar kok."

Farid mengernyit dan kemudian memposisikan tubuhnya supaya satu kursi dengan Azfer. "Wajar? Ana liat bukan lho. Anta suka sama dia?"

"Hah? Suka? Apaan sih Rid? Gak ada gitu-gituan," balas Azfer sambil menggeleng.

"Hm serius?"

"Na'am." Azfer beranjak dari tempat duduknya. "Udah ya, gue ada tugas kuliah."

*** 

Degup ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang