Sudah dua hari, Azfer masih terkapar lemah di atas ranjang rumah sakit. Infusan darah serta oksigen di hidungnya masih setia menghiasi keadaannya yang terlihat memprihatinkan. Wajah dan bibirnya yang memucat pun menjadi penambah kemalangan nasibnya.
Acara resepsi tinggal dua hari, tapi acara itu tidak bisa dilangsungkan tepat waktu. Pihak keluarga sudah mengundurkan acaranya sampai satu minggu yang akan datang.
Sementara itu, Fatimah baru selesai berdoa di sepertiga malam ini. Kesembapan di matanya terlihat jelas, duka lara ikut mengiringi suasana hatinya yang selalu mencemaskan Azfer.
Rupanya, peristiwa ini menjadi tamparan keras bagi Fatimah, sehingga ia sadar dengan perasaannya. Benih cinta itu telah tumbuh di hatinya. Kejadian ini, membuatnya merasakan terjangan rasa sakit. Tak sanggup melihat yang dicintai terluka raga dan fisiknya.
"Ya zaujii, i miss you so much," lirih Fatimah sambil menautkan jarinya dengan jari Azfer, kemudian ia mencium punggung tangannya dengan lembut.
Kini, ia menyangga dagunya dengan tangan Azfer. Ia menatap wajah Azfer dengan senyum tipis, memandangi sosoknya yang selalu sabar dan berbesar hati menghadapi dirinya.
Huft!
Rasa bersalah itu tidak juga berkurang, karena wajah suaminya itu selain memberikan ketenangan, juga menghantuinya dengan rasa bersalah.
"Maafkan aku, A. Aku tidak akan membuat Aa kecewa lagi," tuturnya.
Sekian detik kemudian, tangan yang berada di bawah dagu Fatimah itu terasa bergerak. Fatimah terlihat menatap suaminya dengan haru.
Mata Azfer pun perlahan terbuka, ia mengerjap beberapa kali agar bisa menyesuaikan cahaya yang masuk ke retinanya. Kemudian, ia mengedarkan pandangan ke sekitar dan menemukan tangannya tengah di pegang erat oleh Fatimah yang setia menunggu di sebelahnya.
Azfer melepaskan tangannya yang tertaut dengan jari Fatimah, ia mengernyit menampakkan kebingungan yang membutuhkan penjelasan. "K-kamu ...." Tangan lemah itu menunjuk wajah Fatimah dengan bergetar.
"Iya, iya, aku di sini," balas Fatimah yang tengah meneteskan air mata bahagia. "Aa mau apa? Aku ambilkan. Aa mau minum?" tawarnya sambil membawa gelas yang berada di meja dekatnya.
"K-kamu s-siapa?" tanya Azfer dengan suara parau khas orang sakit.
Fatimah menatap bingung. "Aa b-bercanda, kan?" tanya Fatimah balik.
Azfer hanya memberikan tatapan heran tanpa menjawab sepatah kata lagi.
Ada yang retak, tapi bukan kaca. Ada yang rapuh, tapi bukan kayu. Ujian Fatimah ternyata belum usai sampai detik ini, ujiannya malah bertambah rumit, menambah duka lara yang kian menyakitkan. Bulir bening itu luruh, keluar dari pelupuk mata. Kesedihannya tidak bisa ia bendung lagi.
Fatimah menaruh gelas itu di meja kembali. "Aku ini istrimu."
"Istri? Kapan kita menikah? Dan ... apakah kita saling mencintai?" Pertanyaan Azfer terasa menikam di hati Fatimah.
Hati Fatimah mendorong untuk segera berhambur memeluk suaminya yang tengah berbaring. Isak tangisan terdengar kencang, membuat yang dipeluk jadi merasa iba.
"Tolong, jangan seperti ini," rintih Fatimah.
Tangan Azfer bergerak ragu, antara mengusap puncak kepala perempuan itu untuk menenangkannya atau mendiamkan ia menangis saja.
"Aku lelah ... hiks. Aku lelah." Keluhan Fatimah keluar lagi. "Kenapa ketika aku sudah tulus mencintai suamiku, keadaan malah membuat jarak seperti ini!"
Azfer kini mengelus puncak kepala Fatimah, menenangkannya dengan penuh kasih sayang. Seulas senyum tipis pun terukir di bibirnya yang pucat. "Jangan putus asa."
Isakan tidak berhenti. "Aku ingin bahagia, tolong jangan begini ya zaujii," pinta Fatimah yang kini memegang erat pakaian Azfer.
"Kamu yakin, kamu tidak mencintai Ali?" tanya Azfer sambil menepuk-nepuk puncak kepala Fatimah.
Fatimah menggeleng pelan. "Nggak, A. Aku sadar sekarang ... hati ini telah berlabuh pada pemilik ucapan akad hari itu."
Azfer mengembangkan senyumannya, hingga tampak senyuman pepsodent dengan rentetan giginya yang putih bersih.
"Tunggu." Fatimah menyadari ada sesuatu yang janggal. Ia melepas pelukan dan menatap Azfer dengan tatapan bingung. "Aa tau Kak Ali darimana? Aku gak bahas dia lho."
Azfer kini cekikikan, rencananya telah sukses membuat Fatimah mengungkapkan perasaannya.
"Ih, kok ketawa!" heran Fatimah dengan suara lantang.
Azfer mengontrol tawanya, ia mencoba bangkit untuk duduk, agar posisi tubuhnya bisa lebih selaras dengan raga Fatimah. Setelah duduk, ia melemparkan senyuman manis yang sebelumnya selalu tampak. Ia mencubit pipi Fatimah dengan lembut. "Tenang, aku gak lupa ingatan kok."
Lega, sungguh lega perasaan Fatimah setelah mendengar pernyataan Azfer. Namun, rasa kesalnya tidak dapat dinafikkan, ia merasa telah ditipu. Kejadian tadi membuatnya menguras air mata dan mengeluh seperti orang putus asa. Fatimah tidak bisa terima! Raut wajahnya kini berubah marah. "Tega, ya!"
Bugh!
Satu tonjokkan mendarat tepat di lengan Azfer, rupanya perempuan ini memiliki jurus hebat juga. Azfer saja sampai meringis dan mengusap-ngusap bahunya. "Aw ...! kamu kejam juga, ya, Fatimah. Astagfirullah, aku gak nyangka kamu bisa kayak gitu."
Fatimah bersidekap sambil membuang muka, raut wajah kesalnya masih tampak. "Impas! Eh ... nggak-nggak, ini belum impas."
"Tangan Aa masih pegel, tau!" protes Azfer.
Rasa iba kini menghampiri, Fatimah yang semula cuek, kini langsung mengusap-ngusap lengan Azfer yang tadi ditonjoknya. "Maaf."
"Bawa ke tukang urut aja deh, jangan di rumah sakit," pinta Azfer.
"Hmm ... jangan sekarang dong, kan Aa masih di transfusi darah," sanggah Fatimah sambil menunjuk kantung darah yang menggantung di penyangga.
"Iya deh. istriku," balas Azfer sambil membawa Fatimah ke pelukannya. "Rasanya aku kangen kamu."
"Aa pikir aku enggak? Kangen juga atuh. Dua hari kita nggak ngobrol," balas Fatimah.
"Oh, ya? Dua hari? Pantes aja Aa rasanya tuh kangeeen bangeeett."
"Hehe, kan, sehati."
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Degup ✔️
Spiritüel[COMPLETED] Takdir mempertemukan seorang gadis bernama Fatimah Alya Az-Zahra dengan Ali Muhammad Ramdhan, ketika ia menginjakkan kakinya di sebuah Pesantren bernama Ar-Rahman. Pria tersebut begitu tampan, dan suara azannya begitu memikat kaum hawa...