T I G A P U L U H T I G A

2.1K 120 5
                                    

"Ustaz," panggil seseorang.

Azfer yang tengah duduk sambil menatap layar ponsel, kini mengalihkan matanya kepada orang yang memanggilnya. Spontan sudut bibirnya tertarik setelah mengetahui siapa yang memanggil. Gawainya pun ditaruh di saku jaket.

"Liyan? Dateng ke sini juga kamu?" tanya Azfer yang tahu betul perasaan Aliyana dan Fatimah, tidak ada bedanya. Sama-sama sakit hati karena kejadian ini.

Aliyana menampakkan senyum lebar. "Memenuhi hak seorang Muslim, Ustaz. Karena diundang, jadi aku dateng walaupun ... ya, gitu, deh."

Azfer paham itu, paham dengan salah satu hak muslim yang harus dipenuhi, juga paham dengan perasaan yang dirasakan Aliyana. Pasti tidak ada bedanya perasaan Aliyana dan Fatimah. Mereka datang ke acara ini, perumpamaannya seperti sengaja memotong bawang merah dan membuat mata mereka berair.

"Fatimah mana?" tanya Aliyana yang sedari tadi belum melihat keberadaan mantan rivalnya.

"Oh, dia lagi di ruang rias Malika," jawab Azfer.

Aliyana cukup terkejut mendengar jawaban Azfer, pasalnya jika Fatimah berada di ruang itu, ia akan menyaksikan wajah sahabatnya yang berseri-seri hingga batinnya akan tergores tergores.

"Abot etamah," ucap Aliyana.

"Emang, haha. Dasar istri ana itu," balas Azfer.

Aliyana mengernyit saat Azfer mengucapkan kata 'istri'. Ia heran, mengapa ustaznya malah menyebut murid kesayangannya itu dengan 'istri'? Ia tidak mengerti, karena tidak ada kabar apa pun yang ia dengar dari Fatimah ataupun dari orang lain soal itu. "Istri?"

Azfer melebarkan senyumnya, ia sampai lupa memberitahu Aliyana kalau murid kesayangannya itu telah menjadi belahan jiwanya. "Afwan jiddan, Liyan. Kami memang belum melaksanakan resepsi, baru akad pas hari rabu. Jadi, ya ... maaf kalau kamu belum dapat kabar pernikahan kami."

Bola mata Aliyana membesar, ia tidak sangka Fatimah secepat itu menentukan pelabuhan hati selanjutnya? Apa itu tidak terlihat seperti pelampiasan, ya? Ia geleng-geleng karena tidak habis pikir dengan jalan pikir Fatimah.

"Aku gak nyangka, Ustaz. Cepat sekali Fatimah memutuskan," lirihnya.

Azfer menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, ia juga merasa semuanya terlalu cepat. Namun, apalah daya jika Allah telah menetapkan takdir pernikahan mereka seperti itu, tidak ada pilihan lain lagi. Azfer yakin, jauh sebelum ia lahir, Allah telah menentukan kisah pernikahannya yang unik itu.

"Iya, semuanya memang terjadi secara cepat. Tapi, insyaallah ana akan selalu menunggu Alya jatuh hati sepenuhnya pada ana." Ia menjeda ucapannya sambil bersidekap di depan dada. "By the way, hari ini adalah hari kami pacaran."

Aliyana senang kalau alasan Fatimah bukanlah pelampiasan. Ia rasa Fatimah beruntung karena telah mendapatkan suami yang sangat berbesar hati seperti Azfer. Jarang sekali ada pria yang mau menerima wanita yang masih mencintai pria lain, dan jarang juga ada pria yang masih berlaku baik saat ia tahu istrinya masih mencintai pria lain. Sungguh, Azfer itu adalah the perfect husband.

"Ustaz beruntung, ya," kagum Aliyana.

"Tidak ada yang tidak beruntung, ana yakin setiap orang punya takdir beruntungnya masing-masing. Tinggal mensyukurinya saja," balas Azfer.

Aliyana semakin terpesona dengan kemurahan hati Azfer. "Aku beruntung, ya, kalau memiliki suami seperti Ustaz."

Entah mengapa, Azfer mulai merasakan hawa-hawa tidak enak. Ia takut Aliyana jadi melenceng. Ia takut, wanita yang duduk di samping bangkunya ini malah mengganggu kebahagiaannya bersama Fatimah.

"Kak Aliyana!" Suara itu terdengar seperti sedang marah. Empu suara itu kini mengambil langkah mendekat dan memegang tangan Azfer.

"Eh, Fatimah, sudah sengaja mengiris hati, ya?" gurau Aliyana.

Fatimah tidak terlihat bahagia, segaris tipis senyuman pun tidak tampak di bibirnya. Matanya menyiratkan kesedihan dan juga kemarahan. Yang anehnya, malah menjurus tepat ke sosok Aliyana. "Jangan suka gitu deh, Kak."

Aliyana mengernyit, ia heran dengan apa yang dimaksudkan Fatimah. "Maaf, kenapa, ya?"

"A Azfer itu suami aku, jangan berharap jadi istri keduanya!" jelas Fatimah penuh ketegasan.

Azfer yang merasa suasananya memanas, spontan menatap wajah Fatimah yang terlihat marah dengan tatapan bingung.

Aliyana terkekeh kecil. "Ya ampun, siapa yang mau minta dijadikan istri kedua? Aku hanya berharap ada pria yang seperti Ustaz, ingat Fat, seperti." Aliyana menekankan kata terakhir yang ia ucapkan.

Sontak saja, Fatimah jadi merasa malu, seharusnya ia bukan mendahulukan amarahnya, semestinya ia bertanya baik-baik dulu. Rasanya ia mati kutu di sana. Malu, telah salah menuduh. Ingin rasanya ia menghilang sekarang juga dari tempat itu, ke mana saja asal jangan ada di hadapan Azfer dan Aliyana, tapi sayangnya ia tidak punya kekuatan menghilang.

Azfer berdiri, kekehan kecil lolos dari mulutnya. Ia merangkul Fatimah dan mengusap-ngusap punggungnya. "Maafkan Alya, ya, Liyan. Dia sedang cemburu."

Aliyana dan Azfer terkekeh di sana, membuat Fatimah semakin merasa malu. Mau ditaruh di mana mukanya sekarang? Pipinya pun memanas, warnanya merah sekali seperti kepiting rebus.

"Udah ya, aku permisi dulu, gak mau ganggu penganten baru," pamit Aliyana.

"Iya, Liyan," balas Azfer.

Aliyana pun melenggangkan kakinya dari sana setelah melambaikan tangannya.

"Jadi ... kamu cemburu, ya?" goda Azfer sambil mencubit pipi Fatimah gemas.

Fatimah memukul dada bidang Azfer pelan. "Ah, Aa mah jahat," protesnya, dan ingat, pipinya masih merah.

"Lucu, humaira," pujinya sambil menikmati pemandangan merahnya pipi istri.

Fatimah pun memutuskan untuk berlalu meninggalkan Azfer karena tidak kuat menahan malu.

***


Abot etamah: Berat Itu.

Degup ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang