3 tahun kemudian ...
Kedua pasutri tengah menggiring koper mereka dari kamar yang telah memberikan banyak kenangan dalam kisah cinta mereka. Ini adalah akhir, akhir dari pekerjaan yang sudah suaminya tuntut sejak ia berada di bangku S2-nya. Tepatnya, sudah 9 tahun ia mengabdi pada pesantren yang telah menorehkan pahit-manisnya kisah cinta pada dirinya.
Keluarga istrinya, staf asatidz, serta santri dan santriwati yang menginap di asrama turut memberikan kenangan manis berupa perpisahan yang berkesan. Mereka semua berdiri, berbaris horizontal dari pesantren sampai gerbang. Mereka akan melepas kepergian dua sosok yang sangat berarti dalam kehidupan mereka. Oh, padahal mereka ingin sekali dua sosok itu tetap singgah saja di Ar-Rahman, membimbing mereka dengan ketulusannya, tidak perlu pergi jauh-jauh.
"Terima kasih, ya, Azfer. Sudah mengabdi pada pesantren ini," ucap Hidayat sambil memeluk Azfer ala pelukan laki-laki.
Azfer melepas pelukan dan membalas anggukan. Kemudian, Azfer dan Fatimah lanjut berpamitan dengan staf asatidz.
"Kalau mau main jangan sungkan-sungkan, ya," ucap Farida sambil mengelus pundak Fatimah. "Aku pasti bakal rindu sama si Dedek." Farida mencubit pipi anak kecil yang digendong Fatimah.
"Ehehe, maaf udah ngerepotin ya selama ini. Apalagi Shanum suka ikut Ustazah," balas Fatimah sambil melirik putrinya—yang berumur satu tahun—yang tengah mencekal mainan.
"Bukan apa-apa kok. Lagian, Shanum lucu. Kan, aku gak punya anak perempuan," sanggah Farida.
Fatimah paham, pasti Farida sangat menginginkan anak perempuan. "Hamil lagi aja, semoga dapet anak perempuan," sarannya diakhiri kekehan kecil.
Farida mengerucutkan bibirnya. "Kamu ini. Dua aja cukup, repot ngurus Arfan sama Arsyad," sanggahnya sambil melihat kedua anaknya yang berdiri di dekat ayahnya.
"Hehe, kalau kangen WhatsApp aja, ya. Aku pamit, Ustazah," balas Fatimah.
"Iya, hati-hati, Fatimah."
Fatimah lanjut mengatupkan kedua tangannya saat ia berada di hadapan Farid. Menyayangkan, mood-nya berubah turun karena respons Farid tidak ada manis-manisnya, selalu datar padanya.
Ustaz Farid emang gak pernah berubah sejak pertama aku ke sini, batin Fatimah sambil bernostalgia pada saat ia datang ke Ar-Rahman untuk pertama kalinya, tatapan tajam Farid telah menyambutnya pada saat itu.
Azfer dan Fatimah kini lanjut berpamitan pada keluarga.
"Telepon tiap hari, kalau perlu tiga kali sehari," pesan Raisya sambil memegang bahu Fatimah.
"Hehe tiga kali sehari. Iya deh, insyaallah, Mah," balas Fatimah ramah.
Zikri memegang kedua bahu kokoh sosok pria yang telah berhasil membahagiakan putri kesayangannya, siratan matanya menunjukkan sanjungan, bahwa ia bangga pada menantu kesayangannya itu.
"Jaga Fatimah selalu," pesannya.
"Insyaallah ana akan selalu jaga putri Bapak dengan baik," balas Azfer ramah.
Beruntung sekali ia mendapatkan mertua yang baik hati seperti Zikri dan Raisya, ia tidak merasa terbebani dengan keadaan mereka. Sebaliknya, ia pun berbuat baik pada mertuanya, karena berkat rida mereka jugalah Fatimah bisa menjadi miliknya. Alhamdulillah.
"Ayo, A," ucap Ahmad yang membawa kendaraan roda dua milik kakaknya. Ia sengaja datang ke sini—kemarin—untuk membawa mobil agar Azfer dan Fatimah bisa membawa barang bawaannya dengan baik, dan Ahmad yang membawa motor.
"Iya, Ahmad. Kami permisi, ya," pamitnya pada semua.
"Fii amanillah, Ustaz dan Ustazah!" seru santri.
Ahmad lebih dulu pergi dengan motornya, ia melewati jajaran santri dan santriwati yang melepas kepergian kakaknya.
Azfer dan Fatimah pun berjalan menuju gerbang, ucapan perpisahan dari para santri dan santriwati menghiasi kepergian mereka berdua. Ditambah lagi, ada yang memberikan hadiah perpisahan. Masyaallah, begitu baiknya anak-anak di sini, mereka bersyukur bisa merasakan semua ini.
Setelah selesai melalui acara pelepasan, Azfer dan Fatimah pun berbalik badan saat tiba di luar gerbang. Mereka saling bertukar pandang dengan bubuhan senyum yang terukir di bibir.
"Pesantren ini telah menjadi saksi cinta kita, kan, Alya?" tanya Azfer.
"Iya, di sinilah kita menemukan degupan cinta itu. Meski aku terlambat merasakannya."
Azfer menggeleng pelan. "Tidak ada yang terlambat, cinta datang di saat yang tepat bukan perihal siapa yang paling cepat," sanggahnya.
"Hm." Fatimah mengukir seulas senyuman yang mengembang. "Ana uhibbuka fillah, ya Zauji."
"Ana aidhon, ana uhibbuki fillah."
Mereka saling menatap satu sama lain, menyelami cinta yang tersirat di mata.
Kemudian, detik berikutnya Azfer melambaikan tangan ke arah pesantren. "Assalamu'alaikum!" ucapnya lantang.
Azfer dan Fatimah pun melengganggkan kaki meninggalkan pesantren, mereka memasuki mobil setelah menyimpan rapi kopernya. Azfer menancap gas dan meninggalkan pesantren berjuta kenangan itu.
Hm ... Azfer dan Fatimah telah menjadi bagian dari sejarah pesantren. Mereka yang berawal dari hubungan yang sebatas teman kakak dan adik teman, kini bisa berubah menjadi sepasang suami-istri yang saling mencintai karena Allah. Walaupun, sebelumnya banyak badai dan rintangan yang mereka lalui, tapi akhirnya mereka bisa bersatu dalam cinta.
Itu, menjadi bukti bahwa seusai terpaan badai kencang yang penuh duka lara, pasti akan selalu ada bahagia yang menanti diujung sana. Yakinlah, Allah selalu memberikan tawa untuk menghapus setiap sedihmu. Sungguh, Allah tidak akan menyalahi janjinya.
Kisah cinta ini, semoga bisa menjadi pelajaran. Lebih-kurangnya mohon dimaafkan.
"Degup" pamit.
Wassalamu'alaikum.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Degup ✔️
Spiritual[COMPLETED] Takdir mempertemukan seorang gadis bernama Fatimah Alya Az-Zahra dengan Ali Muhammad Ramdhan, ketika ia menginjakkan kakinya di sebuah Pesantren bernama Ar-Rahman. Pria tersebut begitu tampan, dan suara azannya begitu memikat kaum hawa...