Otaknya seakan lambat untuk mencerna kejadian tersebut, begitu pun detik, terasa bertempo pelan. Azfer masih bergeming di tempatnya. Netranya tak luput memandangi wajah gadis manis yang tengah memohon padanya agar tidak gegabah dalam emosinya.
"Fatimah!" seru kedua orang tuanya yang baru tiba di ruangan tersebut.
Fatimah menoleh ke arah kedua orang tuanya dan tersenyum tipis. "Mamah sama Bapak kesini toh."
Azfer memandangi pergelangan tangannya yang masih dicekal Fatimah, rasa gugupnya semakin memacu ketika orang tua Fatimah datang menghampiri. Napasnya kini berhembus gusar, ia gugup untuk melepaskan tangan Fatimah. Namun, jika tidak dilepaskan, tangannya akan tetap dipegang seperti itu.
Huft!
Azfer sebenarnya tidak pernah menyentuh tangan wanita yang bukan mahramnya, sehingga rasa gugup yang menghampiri relung batinnya terasa begitu membebankan sanubarinya. Perlahan, tangan yang satunya bergerak menghampiri tangan Fatimah, ia tidak mau jika sampai orang tua Fatimah menyangkanya macam-macam, pilihannya sudah mantap untuk melepas tangan Fatimah dari pergelangan tangannya.
Set!
Mau seberapa pelan pun Azfer melepaskan tangan Fatimah, tatapan orang tuanya dan Fatimahnya sendiri langsung menjurus ke arahnya. Mereka sama-sama kaget dengan hal tersebut.
"Azfer? Kamu ngapain pegang tangan anak Bapak?" tanya Zikri dengan raut wajahnya yang serius. Wajar saja, seorang ayah yang paham agama, tidak ingin anaknya disentuh-sentuh oleh orang yang bukan mahram.
Azfer menunduk malu. "Maaf, ana hanya tidak mau Fatimah memegang yang bukan mahramnya seperti tadi."
Fatimah menatap kaget perawakan Azfer. Ia baru menyadari, kalau tangannya sejak tadi hinggap di pergelangan tangan Azfer. "E-e-em Alya yang salah, maaf Alya refleks tadi."
"Hmm ... Adek ini." Raisya menghampiri Fatimah dan mengelus puncak kepalanya. "Lain kali harus lebih hati-hati ya, A Azfer bukan mahram kamu lho."
"I-iya, Ustaz maaf ya. T-tadi a-aku refleks," tutur Fatimah gugup.
Azfer menggeleng. "Iya, gak papa, namanya juga gak sengaja." Azfer berpura-pura terlihat biasa dan santai di hadapan mereka bertiga, padahal isi hatinya itu meluap-luap. "Kalau begitu, ana tinggal dulu ya."
"Mau kemana?" tanya Fatimah. Ia khawatir jika Azfer pergi kembali ke acara kamping dan melabrak panitia yang menjaga tenda semalam.
"Eh, itu ... mau ke toilet," balas Azfer sedikit grogi.
"Silakan Nak Azfer. Dan Bapak minta maaf ya Nak Azfer, tadi Bapak udah su'uzan," ucap Zikri sambil mengatupkan kedua tangannya.
"Biasa aja Pak. Lagian, kalau ana di posisi Bapak, ana juga bakal merasakan hal yang sama," sanggah Azfer. "Permisi, ya."
Azfer pun meninggalkan ruangan tersebut dan berjalan menyusuri koridor rumah sakit. Sembari berjalan, ia beristighfar terus dalam hatinya. Kejadian yang baru saja terjadi masih sangat melekat dalam pikiran dan hatinya. Bahkan, debaran jantungnya masih berpacu kencang, layaknya pacuan kuda yang bersemangat melewati setiap lintasan.
Azfer sampai di toilet pria, ia langsung masuk ke dalam. Kebetulan suasana toilet sedang sepi, ia jadi bebas menikmati fasilitas ini sendirian. Ia berkaca pada cermin dekat wastafel. Kemudian, ia melirik pergelangan tangannya sambil menghela napas panjang.
"Hari ini, dia memegang ana dalam status belum mahram. Tapi, insyaallah, jika kita berjodoh, kelak kamu akan melakukan hal yang sama, memegang tangan ana, Alya." Lengkungan senyum melekat indah di bibir Azfer. "Bedanya, hari ini ana lepaskan. Tapi nanti, ana akan menggenggamnya erat."
...
"Kamu kok bisa kayak gini lagi? Gak minum obat?" tanya Raisya sambil menyuapi Fatimah dengan sarapan pagi yang baru saja diantar oleh petugas rumah sakit.
"Minum kok."
"Stress?" tanya Zikri yang dapat menebak dengan tepat.
Fatimah mengulum senyumnya sambil menunduk. Membuat Zikri semakin yakin dengan tebakannya, gelagat Fatimah sudah menjawab pertanyaannya.
"Stress kenapa sih anak Bapak ini?" tanya Zikri sambil mengangkat dagu Fatimah agar pandangan matanya bisa menatap lurus mata anaknya.
"Aku kira senior-senior di sekolah itu emang bener-bener baik, ternyata enggak Pak. Mereka ngomongin aku di belakang," jelasnya.
Fatimah tidak bisa berbohong pada ayahnya sendiri, dia tidak pernah menutupi masalah hidupnya pada orang tuanya. Sebab, Fatimah memang sudah dibiasakan sedari kecil untuk selalu menceritakan masalahnya pada orang tuanya. Bukannya bermaksud untuk dididik sebagai anak yang aduan, tapi pola asuh keluarga Fatimah mengajarkan, bahwa anak dan orang tua bisa bersahabat dan berbagi cerita. Karena menurut orang tuanya, tugas orang tua itu harus bisa menjadi pelipur lara anaknya yang tengah kalut.
And don't worry. Jika Fatimah menceritakan masalahnya, orang tuanya hanya sekadar memberi nasihat pada Fatimah, mereka tidak ikut campur dengan melabrak orang yang bermasalah dengan anaknya. Mereka bersedia menjadi tempat bersandar anaknya dan membiarkan anaknya untuk selalu bisa menyelesaikan masalahnya sendiri, selama masalahnya memang masih bisa dikerjakan sendiri.
"Gini, kita hidup tuh pasti ada yang suka dan ada yang gak suka. Udah jadi lumrah yang kayak begitu tuh. Biarin aja mereka berkicau, biarin mau jelek-jelekkin kamu, biarin. Toh, mereka sendiri yang cape. Udah cape-cape beramal, eh diabisin lewat ghibah," petuah Zikri sembari mengelus puncak kepala putri bungsunya.
Fatimah melebarkan senyuman. "Makasih, Bapak. Lagian mulut mereka tuh jahat, mereka ngatain Fatimah penyakitan, katanya Ustaz Azfer pilih kasih gara-gara itu."
Zikri terkekeh kecil, membuat Raisya dan Fatimah mengerutkan dahinya.
"Bapak kenapa sih?" tanya Raisya heran.
"Panitia itu gak bisa lihat sisi lain dari diri Azfer. Kamu juga Fat, kamu gak liat hal lain dari sikapnya?" tanya Zikri sambil menaik-turunkan aliasnya. Hal itu jelas membuat Fatimah semakin mengerutkan dahinya.
"Sisi lain, apa?" tanya Fatimah polos.
"Nanti juga kamu tahu Fat," jawab Zikri.
Raisya hanya tersenyum, karena ia sudah mengerti apa yang dibahas oleh suaminya.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Degup ✔️
Spiritual[COMPLETED] Takdir mempertemukan seorang gadis bernama Fatimah Alya Az-Zahra dengan Ali Muhammad Ramdhan, ketika ia menginjakkan kakinya di sebuah Pesantren bernama Ar-Rahman. Pria tersebut begitu tampan, dan suara azannya begitu memikat kaum hawa...