D U A P U L U H S A T U

2.1K 136 15
                                    

"Assalamu'alaikum, Bapak Zikri."

"Wa'alaikumussalam, Nak Azfer ada apa?"

"Saya ingin ...."

Di sebrang sana, Zikri berdehem, karena Azfer tidak kunjung melanjutkan perkataannya. "Ekhm, Ada keperluan apa, Nak Azfer?"

Azfer menggaruk bagian belakang kepalanya yang tidak gatal, ia menggigit bagian bawah bibirnya sebelum akhirnya ia berani mengambil suara. "Em ... begini, a-ana mau menyusul Fatimah."

"Mau menyusul? Memangnya ada apa? Mau melamar?"

Azfer terkekeh canggung. Ia merasa di skakmatt oleh calon mertuanya. Ya, wajar juga Zikri begitu. Pria paruh baya itu memang sudah tahu sejak lama, kalau ia menyukai putri bungsunya itu. Bahkan, mereka pun pernah bicara empat mata, membahas mengenai hal-hal tertentu yang membuat Zikri yakin dengan ketulusan cinta Azfer.

"Hehe ... i-iya."

"Di Bandung ada Aisyah kok, nanti kabarin dia juga. Sekalian dapetin restu calon kakak ipar."

"B-baik."

Kini, Azfer tengah menyusuri jalanan dengan kendaraan roda duanya. Seusai meminta izin pada Zikri dan juga pihak sekolah, ia pun bisa berada di Bandung bersama dengan kendaraan kesayangannya. Cepat? Tentu, karena Azfer membawa motornya dengan kecepatan tinggi, dan melalui jalur yang tidak macet. Sehingga, dalam kurun waktu kurang dari dua jam, ia bisa sampai di sana.

Ia sangat tahu dengan jelas letak rumah Ali, karena dulu ia pernah mengunjungi rumahnya. Sehingga, ia tidak mungkin salah alamat.

Menit demi menit berlalu, netranya menemukan kerumunan orang-orang sedang berada di pinggir jalan. Dahinya lantas mengernyit. Ia pun berpikir untuk berhenti di sana, mungkin saja ada yang perlu ia bantu di sana.

"Maaf, Ibu-Bapak ini ada apa?" tanya Azfer setelah turun dari motornya dengan helm yang belum dilepas.

Kerumunan tersebut memberi jalan agar Azfer dapat melihat siapa yang tengah mendapat cobaan hidup itu. Sontak saja, Azfer membulatkan matanya, saat ia lihat sosok yang tengah terpejam dengan wajah pucat itu adalah seseorang yang sangat berarti dalam hidupnya. Rasa risau di hatinya langsung menyeruak, hingga ia spontan mendekat di samping tubuhnya.

"Fatimah!"

"Cepat bawa dia ke rumah sakit," perintah warga yang ada.

Azfer kebingungan bagaimana ia harus membawa Fatimah? Jika dengan motor, otomatis raga gadis itu akan menyentuh tubuhnya yang tentunya bukan mahram. Ia tidak bisa membiarkan kejadian itu terjadi, ia harus ambil jalan keluar lain.

"Ana pesankan taksi online saja. Dan, ibu berdua ini tolong ikut ya. Nanti ongkos pulangnya saya bayar," pinta Azfer yang langsung mengeluarkan gawainya dan memesan transportasi online.

"Iya A, boleh."

...

Tit ... tit ... tit

Suara monitor menjadi hal yang pertama tertangkap di indera pendengaran Fatimah. Matanya perlahan terbuka dan menyajikan pemandangan yang masih remang-remang, sehingga ia harus menyesuaikan cahaya yang masuk ke retinanya dengan mengerjap.

Ia mengedarkan pandangan ke sekitar, suasana sepi membuatnya mengernyit. Ia heran, mengapa ia tiba-tiba ada di ruangan inap VIP? Siapa yang telah membayar semua ini?

Ia bangkit untuk duduk di punggung ranjang. Masih membingungkan apa yang terjadi di sekitarnya ini. Sekali lagi, ia edarkan pandangannya ke sekitar, hingga ia menemukan sebuah tas selempang laki-laki yang berada tepat di sebelah tas miliknya.

"Tas itu?" Fatimah mencoba mengingat-ngingat siapa empu tas itu. "Ssh ...," ringisnya saat mencoba mengingat.

Ia telah gagal mengingat siapa empu dari tas tersebut karena rasa sakit kepala menyerangnya.

Cklek

Fatimah mendongak saat suara pintu terbuka. Lengkungan tipis di bibirnya hadir saat ia mengetahui bahwa yang datang adalah Azfer.

"Alhamdulillah kamu sudah sadar," ucap Azfer diiringi keramahannya yang tidak pernah hilang apabila bertemu Fatimah.

"Alhamdulillah." Fatimah mendadak ingat, bahwa Azfer tadi tidak dapat dihubungi. "Aa tadi kok gak aktif sih? Dan ... kenapa Aa bisa ada di Bandung?"

Azfer menggeser kursi ke sebelah ranjang Fatimah, ia menunjukkan tangannya yang membawa satu cup mie instan. "Ana dalam perjalanan ke sini, sengaja mau temui kamu." Azfer lanjut melahap mi tersebut karena rasa lapar di perutnya tidak bisa dibohongi.

Fatimah mengerucutkan bibirnya. "Sepertinya ... Aa tau ya kalau Kak Ali mau lamar sahabat aku? Makanya Aa susul ke sini buat hibur aku."

"Uhuk!" Azfer batuk, kaget saat Fatimah menuturkan bahwa Ali melamar sahabatnya.

Fatimah jadi panik saat melihat Azfer batuk-batuk, dia jadi merasa bersalah. "Itu ada air, minum."

Azfer menurut, ia segera meminum air mineral yang tersedia di meja dekat ranjang—tadinya disediakan untuk Fatimah—hingga tenggorokannya yang terasa panas itu seketika sirna dengan larutan air.

"Al, kamu bikin Aa kaget aja," protes Azfer setelah menaruh kembali gelasnya ke atas meja.

Fatimah tersenyum kikuk. "Aa kaget? Berarti Aa gak tau, ya? Maafin Alya udah bikin Aa tersedak."

"Tenang aja," Azfer menjeda ucapannya, "Em, siapa sahabat kamu yang dilamar Ali?"

Fatimah menunduk sedih, tangannya mencekal kuat kain selimut. "M-malika."

Pedih mengingat hal itu kembali, ia tidak bisa melupakan hal tersebut hanya dengan sekejap mata. Penantian selama empat tahun itu bukan waktu yang sebentar. Namun, itu semua hancur, dan kini sulit baginya untuk menyatukan kepingan hatinya kembali.

Mata Azfer membulat kaget. Malika itu sahabat dekat Fatimah, dan yang terjadi sekarang ... ah, luka di hati Fatimah pasti sangat menyakitkan sekali. "Ma-malika? Ana gak nyangka."

Tetesan air mata mengalir kembali membasahi pipi lembut Fatimah. "Seperti bom besar memang."

Azfer yang melihat tetesan air mata di pipi Fatimah jadi ikut merasakan sakit hati. Memang benar dugaannya sebelum ini, dia tidak akan tahan melihat perempuan idamannya meneteskan air mata. Rasanya, ini lebih menyesakkan dari rasa sakit yang ia rasakan selama ini.

"Tolong hapus," perintah Azfer sambil menyodorkan selembar tisu.

Fatimah menoleh ke arah Azfer dan lekas mengambil tisu tersebut. Ia lanjut menghapus air matanya sehingga tidak tersisa lagi air mata yang membasahi. "Jujur, aku lebih lega jika menangis. Tapi, karena Aa tidak ingin melihatnya, maka akan kutahan rasa sakit ini."

Azfer menggeleng ketika ia tahu, bahwa yang baru saja dia lakukan itu salah. "Kalau begitu ... menangislah. Ana sudah setia mendengar bahagiamu karena Ali selama ini. Sekarang ... ana juga bersedia mendengarkan dukamu."

Mendengar itu, Fatimah tidak tanggung-tanggung lagi mengeluarkan tangisnya. Azfer yang melihat itu, hanya bisa diam dengan rasa iba dan sakit hati yang teramat mendalam. Sejujurnya ana tidak bisa melihat wanita menangis. Tapi, karena ini lebih melegakanmu, ana bersedia menyaksikannya walau perih, batin Azfer.

***

Degup ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang