Terasa, ada yang bertalu-talu di dalam dada. Desiran di hati, membuat wajah enggan menoleh ke belakang. Baru kali ini, ia merasa malu sekali. Apalagi, suaminya menggodanya setelah hal itu, rasa malunya jadi bertambah-tambah.
Jangan lupakan napas dan jantungnya yang tepompa cepat saat ini. Ia sedang berlari menjauh dari raga Azfer yang mengejarnya. Aduh, Aa masih ngikutin aja. Semakin lama berlari, kakinya mulai merasa kelelahan. Egonya ingin lekas berlari lagi, tetapi kondisi kakinya yang memang tidak kuat—karena tidak biasa olahraga lari—membuatnya berhenti dan memegangi lutut. Alhasil, Azfer pun dapat menyejajarkan tubuhnya dengan Fatimah. Bahkan, Azfer sampai memegang lengannya, agar tidak jauh-jauh lagi darinya.
"Udah, ya. Jangan lari lagi. Kamu jadi cape tuh. Aku gak mau kamu kenapa-kenapa, gak mau kamu sakit."
Fatimah yang masih tak berani memandang wajah Azfer hanya diam seribu bahasa. Sedang hatinya merasakan sebuah rasa yang membuat darahnya terasa berdesir.
"Ayo, kita jalan aja, ya," ajak Azfer sambil menautkan jari jemarinya dengan Fatimah.
Azfer dan Fatimah berada di tempat yang lumayan jauh dengan tempat acara. Akibat adegan kejar-kejaran tadi, mereka sampai di tempat yang entah di mana. Mereka berada di tempat antah-berantah, berjalan kaki, tanpa kendaraan roda duanya.
"Tidak apa-apa aku lupa jalan pulang ke gedung, asal bersamamu," gombal Azfer yang kini merangkul istrinya.
Ekspresi wajah Fatimah terlihat kesal, ia mengepalkan tangannya, lalu membawanya tepat di hadapan wajah Azfer. "Realistis dong, aku gak mau tersesat di kota orang."
Azfer terkekeh kecil karena Fatimah sedari tadi tidak kunjung memberikan ekspresi yang manis di wajahnya. Ia masih cemburu pada Aliyana rupanya. "Di depan ada Alfamart tuh." Azfer menunjuk sebuah toko swalayan kecil di sebrang jalan.
"Ya, terus?" tanya Fatimah dingin.
Azfer menengok kanan-kiri jalanan. Setelah ia pastikan jalan dapat disebrangi, ia pun membawa langkah mereka berdua menuju depan toko Alfamart.
"Aa mau apa sih?"
Azfer tidak menggubris apa pun, ia lanjut membawa belahan jiwanya ke dalam toko.
"Mau belanja?" tanya Fatimah lagi.
Tetap saja Azfer tidak membalas pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan Fatimah padanya. Ia malah lanjut membawa langkah mereka berdua menuju tempat freezer es krim. Azfer membuka freezer itu dan mengambil dua cup es krim rasa cokelat. Kemudian, ia menutup rapat kembali freezer-nya.
"Inget ini?" tanya Azfer sambil memperlihatkan kedua es krim itu.
Fatimah mengerutkan dahi sambil mengingat-ngingat apa yang terjadi dengan es krim itu dulu.
"Choco choco, Dedek Alya," ucap Azfer sambil menggerak-gerakkan tangannya yang memegang es krim.
Fatimah teringat sesuatu setelah Azfer mengatakan semua itu, ia ingat sesuatu di masa lalunya.
Dulu, Azfer tidak hanya datang ke rumahnya sekali dua kali, karena urusan kerja kelompok berupa PKL itu menjadi alasannya. Pun karena Azfer dulu menyukai Aisyah, jadi ia selalu semangat datang ke rumahnya.
Suatu ketika, Azfer membeli banyak es krim. Tentunya, untuk dijadikan santapan ketika mereka berkumpul di rumah Aisyah nanti. Sampai di sana, nampaklah gadis lucu itu. Dikarenakan hari weekend, gadis itu berada di rumah.
Fatimah yang masih kecil dan polos itu, ikut saja duduk di ruang tamu bersama kakaknya. Dia duduk manis tanpa mengganggu.
Sayangnya, saat itu, Azfer hanya membawa es krim untuk teman-temannya saja. Ia merasa kasian, kalau adik manis itu hanya menyaksikan anak-anak remajanya makan es krim. "Itu untuk kalian, ya." Azfer menaruh es krim untuk temannya di meja. Azfer kemudian melirik Fatimah yang terlihat menginginkan es krim. "Alya, mau eskrim?"
Fatimah saat itu diam membatu karena malu sudah tertangkap basah menginginkan es krim.
"Adek mau?" tanya Aisyah sambil menyodorkan sendok berisi es krim.
Fatimah menggeleng karena merasa malu.
"Ini aja, Alya," saran Azfer sambil menyodorkan es krim miliknya.
Alya menggeleng pelan. "Nggak ah, kan, itu punya Aa."
Azfer tersenyum lebar, hingga matanya menyipit sekali, saking bahagianya. "Tidak apa-apa. Choco choco, Dedek Alya."
Fatimah mengukir senyum lebar, ia bahagia dibuat nostalgia seperti ini oleh Azfer. "Syukron." Fatimah pun mengambil satu cup es krim dari tangan Azfer.
"Iya. Yuk, kita bayar dulu. Nanti kita makan di luar sana," ajak Azfer diakhiri menunjuk pada kursi yang tersedia di luar toko.
"Iya," balas Fatimah.
...
"Udah lama gak makan es krim," ungkap Fatimah setelah selesai menikmati satu wadah es krim.
Azfer terkekeh kecil saat melihat istrinya belepotan. Membuatnya bernostalgia pada masa lalu, di mana dia menghapus noda cokelat itu dari pipinya yang masih kecil.
"Kenapa?" tanya Fatimah sambil mengernyit karena melihat Azfer terkekeh-kekeh kecil.
Azfer geleng-geleng, kemudian tangannya meraih satu lembar tisu dari wadah tisu yang tersedia di meja. Ia pun mendekatkan selembar tisu itu ke wajah Fatimah, untuk menghapus bekas es krim yang ada di pipinya.
Fatimah yang diperlakukan seperti itu mendadak mati kutu, degupan di hatinya seakan berdentuman satu sama lain. Suaminya benar-benar romantis, ia sampai tidak habis pikir, mengapa ada pria sebaik suaminya? Ingin rasanya ia segera tarik pria itu kepelukannya dan membiarkannya dipelukan, tidak usah pergi-pergi lagi.
Ah, kadang hatinya begitu plinplan, di saat bersama Azfer dan diperlakukan romantis seperti ini, ia merasa baper yang teramat luar biasa. Namun, di saat melihat Ali dan Malika bahagia, hatinya teriris. Ayolah, bagaimana hatinya itu merasa? Apa mungkin ada dua hati yang bersemayam di hatinya dalam satu waktu?
"A Az, kenapa Aa selalu baik sih?" tanya Fatimah dengan lirih.
"Tugas suami menyenangkan istri, begitupun sebaliknya. Ya, kan?" balas Azfer sambil membuang tisu dan wadah es krim ke tempat sampah yang dekat dari mejanya.
Ia kini memegang kedua tangan Fatimah sambil menatap kedua bola mata istrinya. "Katakan, gimana tadi pas ketemu Ali?"
Perasaan yang semula berkembang indah karena perlakuan romantis Azfer, kini berubah pilu akibat mengingat luka yang masih belum kering. "Sakit."
Azfer mengusap-ngusap tangan Fatimah dengan ibu jarinya. Ia jadi ikut merasakan perasaan Fatimah. Ia ikut sakit hati karena ia tahu betul rasanya. "Ini suamimu. Dan, suamimu akan membuatmu bahagia. Insyaallah, ya."
"Amin," balas Fatimah diakhiri senyum manis.
Setelah itu, Fatimah mengedarkan pandangan ke sekitar sambil memikirkan sesuatu. "Btw, kita pulang ke gedung gimana?"
Ekspresi Azfer terlihat santai, tidak sedikit pun kekhawatiran ia tampakkan di wajahnya. "Tenang, kan, ada aplikasi transpostasi online."
"Pinter." Fatimah mengacungkan jempolnya. "Ayo kita pulang," ajaknya yang kemudian berdiri.
"Ayo."
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Degup ✔️
Spiritual[COMPLETED] Takdir mempertemukan seorang gadis bernama Fatimah Alya Az-Zahra dengan Ali Muhammad Ramdhan, ketika ia menginjakkan kakinya di sebuah Pesantren bernama Ar-Rahman. Pria tersebut begitu tampan, dan suara azannya begitu memikat kaum hawa...