Fajar belum menyongsong ke permukaan langit Garut. Udara dingin masih terasa menusuk pori-pori hingga siapa pun mengenakkan jaketnya agar terlindung dari tajamnya udara dingin. Sebagian, ada yang memilih bergelut dengan selimut sambil merebahkan tubuh di ranjang agar tetap terjaga dari udara dingin. Dan yang satu ini, sudah rapi dan siap untuk pergi menuju kondangan alumni hati yang masih di damba istrinya. Euh, itu hal yang paling membuat suaminya jengah.
Azfer mengenakkan helm di kepala Fatimah, ia begitu lembut dan penyayang, membuat Fatimah semakin hari semakin nyaman berada di dekatnya. Namun, entah dengan kabar perasaan istrinya pada Ali, rasanya tak menentu, antara ada dan tiada, seperti judul lagu.
"Biar gak dingin, ya," ucap Azfer sambil memegang kedua bahu Fatimah yang tertutupi kain jaket. Jaket itu, dipakaikan oleh Azfer—sebelum ia memakaikan helm kepada Fatimah. Memang, Azfer itu benar-benar sangat memanjakan istrinya seperti tuan putri.
Segurat senyum tampak di bibir Fatimah, ia mengangguk, kemudian mengekori suaminya untuk menaiki kendaraan roda dua.
"Doa, jangan lupa."
Fatimah melingkarkan tangannya di perut suaminya. "Iya, Aa."
Bagi Fatimah, ini adalah pertama kalinya ia menaiki motor dengan gaya seperti itu. Sebab, sebelumnya jika ia dibonceng, pasti tangannya memegang bagian belakang motor. Ia tidak mau menyentuh kulit si pengendara, sekalipun itu mahramnya ataupun sesama perempuan. Entah kenapa, dia memang lebih nyaman seperti itu.
Makanya, ia merasa cukup canggung. Keringatnya saja ada yang menetes gara-gara rasa kecanggungan itu. Huh! Padahal, ini selepas subuh, udaranya dingin, ia malah berkeringat.
Azfer yang memegang kemudi, tersenyum lebar karena istrinya tidak segan berpegangan romantis seperti itu. "Alya, kita pacaran, yuk!" Azfer mengajukan ajakannya sambil melajukan motornya, meninggalkan area pesantren Ar-Rahman.
Rentetan gigi Fatimah terlihat. Ajakan Azfer itu cukup menggelitik hatinya, sehingga terasa lucu untuk dibayangkan.
Namun, walaupun terasa lucu dan konyol, ini ada benarnya menurut Fatimah. Memang lebih indah, berpahala, dan juga syar'i kalau pacaran setelah menikah; bebas pegangan, bebas jalan, bebas romantisan, bebas bersentuhan, bebas tatap-tatapan, bebas berduaan, pokoknya dunia serasa milik berdua deh. Beda dong dengan yang pacaran sebelum menikah, apa-apa jadi dosa. Tatap mata dosa, pegangan dosa, bersentuhan dosa, berduaan dosa, apalagi berhubungan badan. Beuh, dosa besar toh.
Jadi, inilah rasanya pacaran setelah menikah. Terasa aneh memang, tapi indah juga, batin Fatimah sambil menikmati semilir angin yang menerpa wajahnya.
"Eh, Dek! Kok diem aja sih?" tanya Azfer yang geram, karena sedari tadi tidak mendapat balasan apa pun dari istrinya.
Fatimah yang semula melamun sambil senyum-senyum sendiri, kini sadar dan mengontrol bibirnya agar tidak terlalu mengembangkan senyum. "Iya, A?"
Azfer menghela napas. Fatimah bukannya menjawab malah balik bertanya. "Ish, kamu sebenarnya denger, gak, sih? Aa ngajak kamu pacaran."
Fatimah terkekeh kecil mendengar suaminya mengoceh karena kesal. Menggoda Azfer ternyata seru juga. Hm, ia jadi punya ide unik untuk mengerjai suaminya itu. "Masa nembaknya gak romantis."
"Alya, kamu cantik," puji Azfer sambil mengedipkan mata ke kaca spion, sehingga Fatimah dapat menangkap kelakuan suaminya.
"Jangan bilang, 'tapi cantikan janda di gang sana'," protes Fatimah tidak terlihat ada baper-bapernya.
Azfer mendengkus. Ia kesal, istrinya bukan balas terima kasih atau memuji balik, malah protes seperti itu. Namun, tidak apa, ia bisa mencobanya lagi. "Hari ini aku jatuh cinta sama kamu, gak tau kalau nanti, kayaknya bakal makin cinta."
"Dialognya kayak pernah denger." Fatimah berpikir keras mengingat dialog itu pernah ia temukan di mana. "Oh!" Ia mengingat dari mana dialog itu berasal. "Aa parodiin dialognya Dilan, ya?"
Gagal lagi. Entah bagaimana caranya menembak romantis? Azfer sebal, sudah dua kali ia gagal membuat Fatimah baper.
"Kamu tau apa yang membuatku jatuh cinta padamu? Matamulah yang melemahkanku," tutur Azfer mengganti topik sebelumnya.
"Kayak lagu. Ituloh yang matamu melemahkanku, saat pertama kaliku lihatmu. Dan jujur, ku tak pernah merasa, ku tak pernah merasa begini," balas Fatimah sambil menyanyikan lagu Jaz yang berjudul "Dari Mata".
Azfer memutar bola matanya jengah. Ia mendengkus lagi, dan ekspresi wajahnya berubah datar. Uh! Siapa yang salah di sini sebenarnya? Bukannya tadi Fatimah yang meminta ditembak romantis? Mengapa sekarang dia malah tidak peka?
"Jangan panggil aku Aa, Sayang. Namaku adalah Azfer ... namaku adalah Azfer," ujar Azfer menirukan ciri khas tokoh utama kartun Shiva. Ia sudah buntu ide untuk merayu istrinya. Ia menyerah, alhasil candaanlah yang keluar dari bibirnya.
Fatimah terkekeh kecil. "Apaan sih, Aa? Gak jelas." Tangannya kini menepuk punggung Azfer. "Katanya mau nembak romantis, kok gak jadi?"
Azfer mengerucutkan bibirnya diiringi mata yang terlihat malas melayani. "Dahlah."
Di belakang, Fatimah cekikikan karena melihat ekspresi Azfer yang refleksinya tampak lewat kaca spion. Rasanya sungguh menggelitik hati. Benar, ya? Seru sekali mengerjai Azfer.
"Apaan sih ketawa-ketawa?" tanya Azfer ketus.
"Becanda dikit. Jangan marah, ya," balas Fatimah yang kembali mengeratkan pelukan di perut Azfer
"Okay, fine. But, will you be mine?" tanya Azfer dengan nada romantis kembali.
"Aku sudah menjadi milikmu. Lantas, mengapa kamu mempertanyakan itu lagi?" ucap Fatimah dengan nada serius dan terdengar baku sekali.
"Oh ana salah, haha." Ia menjeda ucapannya. "Alyaku, mau kah kau menjadi pacarku?"
Kedua sudut bibir Fatimah terangkat, hingga lesung pipinya terlihat. "Of course, my husband."
Sekarang, barulah Azfer merasa lega, karena Fatimah mau menerimanya sebagai pacar halalnya.
Semoga kedepannya hubungan mereka bisa lebih baik lagi.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Degup ✔️
Spiritual[COMPLETED] Takdir mempertemukan seorang gadis bernama Fatimah Alya Az-Zahra dengan Ali Muhammad Ramdhan, ketika ia menginjakkan kakinya di sebuah Pesantren bernama Ar-Rahman. Pria tersebut begitu tampan, dan suara azannya begitu memikat kaum hawa...