Riasan-riasan sederhana, gaun yang syar'i dengan kerudung menjulur sampai ke pusarnya menambah aura kecantikan dirinya. Ia memang sengaja memilih MUA dan Dress yang syar'i, agar pernikahan yang memang seharusnya ibadah bisa berjalan dengan semestinya.
Ia tersenyum gembira, karena saat ini ia sudah terhindar dari badai. Azfer pun sudah sembuh dari sakitnya, lewat perantara tukang urut, Allah sudah mengirimkan kesembuhan padanya.
"Neng, kami tinggal dulu, ya," pamit salah satu orang dari tim make up.
"Iya, silakan, Bu."
Seusai kepergian mereka, Fatimah menghampiri jendela gedung pernikahan. Ia mengamati taburan bintang yang menghiasi langit malam yang berwarna biru gelap. Ia menghirup napasnya panjang, karena selanjutnya ia akan menemui khalayak di luar sana. Ia tidak boleh gugup, harus bisa bersikap santai.
"Sst ... hei!" seru seseorang.
Fatimah menoleh ke sumber suara, seorang pria tinggi dan berdada bidang itu berdiri tepat di luar jendela. Pakaiannya yang sudah rapi dengan warna putih yang senada dengan pakaian Fatimah menambah aura ketampanannya.
Fatimah membulatkan mata, antara terkejut dan kagum melihat pesona sang suami. "Aa ngapain di sini?" tanya Fatimah.
Azfer menggiring langkahnya mendekati istrinya, ia memegang dagu bidadarinya itu. "Jangan ketus-ketus, dong. Aa ke sini cuma mau liat bidadari hati Aa," balasnya sambil menatap mata Fatimah dalam. "Dan ternyata ... kamu cantik sekali, ya Zaujatii."
Riasan Blush-on sukses menutupi pipi asli Fatimah yang berubah merah merona. Azfer memang tipikal pria romantis, sudah jadi hal yang lumrah bagi Fatimah digombali seperti ini, tapi tetap saja ia sering merasa malu dan baper.
Ia menunduk, cukup gugup juga berada di dekat Azfer. "Aa kembali ke ruangan Aa. Kita, kan, mau datang di tangga yang berbeda," suruh Fatimah mengingatkan Azfer bahwa mereka akan datang di tangga yang tentunya beda letak. Tangga yang akan mereka datangi nanti adalah tangga yang saling berhadapan, sehingga mereka akan bertemu di bawah—tempat utama acara.
"Bentar aja," balas Azfer yang masih setia memandangi Fatimah di sana.
Fatimah melirik jam dinding. "Lima menit lagi lho, jangan sampai telat."
Azfer mengerucutkan bibirnya. "Iya deh, dadah, ya. Sampai bertemu di sana," pamit Azfer sambil melambaikan tangannya.
Fatimah membalas lambaian tangannya. "Iya, dah."
...
"Mari kita sambut, kedua mempelainya, Aa Azfer dan Fatimah," ucap Ahmad—adik Azfer selaku MC.
Riuh suara tepukan para tamu yang hadir, menghiasi suasana. Kedua mempelai pun turun dari tangga yang berbeda ditemani orang tua masing-masing. Kegembiraan di kedua wajah mereka tampak jelas, senyuman yang mengembang-ngembang layaknya bunga bermekaran itu terukir di bibir mereka.
Sampai di lantai bawah, Azfer dan Fatimah pun saling memandang. Azfer menunduk untuk bisa menatap kedua bola mata Fatimah. Dan Fatimah mendongak untuk bisa menatap kedua bola mata suaminya.
"Ini bunganya," ucap Hasan yang berdiri tepat di tengah-tengah mempelai.
"Terima kasih." Fatimah mengambil buket bunga itu dari tangan keponakannya dengan keramahan.
"Sama-sama, Ateu." Hasan pun berhambur menuju ke pelukan Aisyah yang berdiri tidak jauh dari sana.
Fatimah melingkarkan tangannya pada lengan Azfer, mereka berjalan bergandengan dengan bubuhan buket bunga. Suasana elegan nan romantis semakin menghiasi kedua pasangan itu. Mereka berjalan menuju kursi pelaminan dan duduk di sana.
Fatimah merasa canggung karena melihat tamu yang datang begitu banyak, ia gugup melihat setiap mata mereka menjurus ke kedua pasangan yang duduk ini.
"Kita adalah sepasang sepatu, berjalan beriringan dan tidak ada artinya kalau salah satunya menghilang," ucap Azfer pelan, bibirnya berjarak beberapa senti dari telinga Fatimah, sehingga istrinya itu dapat mendengarnya dengan sangat jelas.
"Aa gombal mulu." Fatimah lanjut terkekeh geli.
"Kan, sayang," balasnya, yang langsung membuat Fatimah tersipu malu.
Tamu-tamu mulai menghampiri pelaminan, mereka memberikan doa dengan senyum bahagianya kepada pengantin yang bersanding di kursi. Tamu yang diundang cukup banyak, apalagi santri dari pesantren milik Alhaq semuanya datang.
"Aa mau ngajar di Garut aja nih? Gak mau di pesantren Abi?" tanya Ahmad saat ia sudah sampai di hadapan kakaknya.
"Kayaknya mau di Garut aja deh," balas Azfer.
Fatimah melirik suaminya sambil mengerutkan dahinya. "Kenapa? Kalau mau di sini juga gak papa."
Azfer menggiring senyum manisnya, menatap Fatimah dengan tulus. "Di Ar-Rahmanlah cinta kita berawal."
"Bucin ... bucin," ledek Ahmad. "Dahlah males aku mau makan, lapar," pungkasnya kemudian pergi dan membuat rentetan tamu yang semula macet, jadi berjalan lancar kembali.
Menit demi menit berlalu, akhirnya tamu sudah tidak terlalu ramai. Azfer dan Fatimah bisa menghirup napas segar sambil duduk santai di sana.
"Maaf telat." Suara itu langsung membuat Azfer dan Fatimah mendongak dengan tatapan kaget.
Ya, Ali dan Malika datang bergandengan menghampiri mereka berdua dengan senyum semringah.
"Maaf telat, ya. Maklum, jarak Jungle Land ke sini jauh," ucap Ali.
Fatimah dan Azfer saling bertukar pandang. Satu sama lain saling menyiratkan kenangan tentang pesan 'itu' dan teringat akan sakit hati hari itu.
"Em-em Jungle Land?" balas Fatimah mencoba bersikap biasa saja.
Ia harus bisa menepis kecanggungan dan sisa-sisa rasa. Jika Ali saja bisa terlihat biasa seperti itu, maka Fatimah pun harus bisa.
"Iya, Fat, abis jalan-jalan di sana, seruu," balas Malika dengan pembawaan yang semangat.
Azfer merangkul bahu Fatimah sambil memberikan senyum manis. "Kalau kamu mau ke Jungle Land juga, hayu!"
Fatimah menggeleng, ia tidak merasa cemburu sama sekali. "Nggak, Aa. Sama Aa aja indah kok."
"Ekhm ... ciee," goda Malika yang membuat Azfer dan Fatimah tersipu malu.
"Kami permisi ke sana, ya," pamit Ali sambil menunjuk tempat yang ingin ditujunya.
"Iya," balas Azfer dan Fatimah kompak.
Seusai kepergian Ali dan Malika, kedua mempelai kembali duduk dan menghela napas panjang. Yang barusan lewat itu hampir membuat mereka sesak.
"Kamu nggak akan ikut Ali, kan?" tanya Azfer yang masih menaruh rasa khawatir.
Fatimah mengernyit. "Hm? Buat apa? Suami aku di sini."
Azfer menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "Ya ... barangkali mau—"
"Sstt ...," potong Fatimah sambil menaruh telunjuknya di bibir Azfer. "Aku gak bakal ninggalin Aa," lanjutnya sambil menggeleng pelan.
Azfer menyimpulkan senyum manis, ia senang mengetahui istrinya tidak akan pergi darinya.
Fatimah mengalihkan tangannya. "Kalau Aa galau, nanti malah bunuh diri lagi kayak waktu itu di tangga." Ia lanjut bergurau dan tertawa renyah.
Azfer mendengkus dan memutar bola matanya jengah. "Udah berapa kali dibilangin, aku gak bunuh diri, itu kecelakaan, tau!" Ia pun lanjut mencubit hidung Fatimah.
Fatimah terkekeh geli karena melihat wajah suaminya yang kesal. Itu terasa seperti hiburan untuknya.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Degup ✔️
Espiritual[COMPLETED] Takdir mempertemukan seorang gadis bernama Fatimah Alya Az-Zahra dengan Ali Muhammad Ramdhan, ketika ia menginjakkan kakinya di sebuah Pesantren bernama Ar-Rahman. Pria tersebut begitu tampan, dan suara azannya begitu memikat kaum hawa...