Sebuah mobil angkutan umum berhenti tepat di depan gerbang Rumah Sakit Citra Ceria. Tiga penumpang yang bertujuan ke tempat tersebut turun dari dalam sana. Satu ustaz dan dua santrinya pun lanjut berjalan memasuki rumah sakit dan menyusuri koridor tersebut.
Di belakang ustaz, dua santri berbeda jenis kelamin itu berjalan berjauhan karena mereka tahu batas masing-masing. Si pria lumayan risi dengan apa yang terjadi di sini, sedangkan wanitanya merasa bahagia bisa bersama-sama dengan pria yang masih ia cintai. Terlebih, dia bisa keluar asrama sekarang, ya walaupun ke rumah sakit, tapi tidak apa asal ada pria itu, wanita itu gembira.
Tak lama kemudian, ustaz tersebut berdiri di depan pintu sebuah ruang inap dan membuka pintu yang bertuliskan "Kamar VIP Bougenville no. 2". Setelah pintu terbuka, matanya menangkap bahwa muridnya telah siuman, dan ia sedang memakan makan siangnya.
"Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumussalam."
"Alhamdulillah Alya, kamu sudah siuman," tutur Azfer sembari menyapanya dengan senyum manis.
"Iya A, alhamdulillah," balas Fatimah dengan senyum yang nampak di bibir merah pucatnya.
Fatimah menelisik ke tempat di mana dua orang di belakang Azfer berdiri. "Kakak-kakak ini—"
"Oh ini, mereka mau jenguk sama minta maaf ke kamu," potong Azfer.
Ali pun mengambil alih keadaan, dia berjalan mendekati sisi ranjang Fatimah dengan sapaan senyum yang menghadirkan lesung pipinya. Membuat ia terlihat manis dan tidak segarang apa yang Fatimah lihat di wajah Ali malam itu. "Soal kejadian waktu itu, kami selaku panitia pesantren Ar-Rahman minta maaf yang sebesar-besarnya sama kamu. Maaf ya kami sudah menuduh tanpa klarifikasi."
Entah ada magnet apa, melihat Ali tersenyum dan bersikap tulus seperti itu, membuat Fatimah merasakan ada sesuatu dalam hatinya. Rasanya, hatinya sejuk dan bahagia sekali. Cukup untuk membuat luka di hati Fatimah karena amarah Ali waktu itu hilang.
Fatimah pun mengangguk pelan diiringi dengan simpul senyum tipisnya.
"Lain kali kalian sebagai panitia tuh harus ramah sama adek kelas, jangan ngedepanin senioritas mulu," saran Raisya sambil menyuapi Fatimah.
"Iya maaf ya Bu, untung Ibunya pengertian, kalau nggak, ana pasti ngerasa bersalah banget. Iya kan, Aliyana?" Ali melirik Aliyana yang sedari tadi tersenyum tanpa mengeluarkan sepatah kata.
Aliyana mengangguk. "Oh, iya benar Bu. Maaf ya."
"Iya gak papa. Lagian ini semua sudah terjadi," balas Raisya.
Di balik percakapan mereka, Azfer diam-diam memandangi mata Fatimah yang sesekali melirik Ali dengan matanya yang berbinar. Entah apa yang tiba-tiba muncul di hatinya sekarang ini? Mengapa rasa yang hinggap di hatinya seperti sebuah rasa ... cemburu?
"Fatimah cepet sembuh ya." Ali memberikan semangat sambil mengisyaratkannya melalui tangannya yang dikepalkan.
Fatimah terkekeh kecil. "Kakak ini berlebihan."
Raut wajah Aliyana berubah cemberut, ia mendadak tidak suka berada di tempat ini. Ia tahu kalau Ali hanya memberi semangat kepada orang sakit, tapi Aliyana malah merasa cemburu dengan hal ini. Terasa seperti ada sesuatu yang lain.
"Gerah ya," celatuk Aliyana sambil menggibas-gibaskan tangannya ke hadapan wajahnya.
Ali menghela napas kasar, kemudian ia melirik Aliyana dengan tatapan tajam. Ia mengerti maksud perkataan Aliyana, perempuan itu memang tidak bisa membuat Ali bernapas lega. Perempuan itu terlalu cemburuan, padahal semua itu Ali lakukan untuk menebus rasa bersalahnya.
"Di sini dingin dan sejuk lho, anti berobat sana! Kali aja anti sakit," suruh Ali dengan tangan yang bersidekap di depan dada.
Aliyana menghentakkan satu kakinya dengan bibir yang berubah kerucut. "Permisi Ustaz, aku mau nunggu di luar."
Azfer yang melihat itu hanya bisa menghela napas dan geleng-geleng. Sebagai pembimbing asrama pria selama dua tahun ini, Azfer sudah mengenal betul apa yang terjadi diantara kedua 'Ali' itu.
"Kakak itu kenapa?" tanya Fatimah yang sedari tadi keheranan.
"Gak ada apa-apa kok, dia biasa gitu," balas Ali.
"Ekhm," dehem Azfer yang sedari tadi melihat Ali terlalu ramah kepada Fatimah.
"Iya Ustaz?" tanya Ali. Seolah dia peka, bahwa deheman Azfer itu tertuju untuknya.
"Sebaiknya kita pulang," jawab Azfer.
Fatimah mendadak cemberut. "Yha kenapa Aa? Kok bentar banget."
"Maaf Alya, Aa bawa anak asrama soalnya, gak boleh lama-lama nih," balas Azfer dengan nadanya yang ramah dan senyuman manisnya.
Fatimah pun pasrah, ia mengangguk menyetujui keputusan teman kakaknya yang berstatus Ustaz itu. "Iya atuh. Kak Ali, Aa sama kakak yang tadi hati-hati, ya."
"Iya Al, syafakillah ya," balas Azfer.
"Iya, amin."
"Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumussalam."
...
Azfer berjalan menyusuri koridor rumah sakit bersama Ali di sampingnya. Entah dengan Aliyana, dia ada di mana sekarang? Batang hidungnya belum mereka temukan. Sedari tadi, mereka belum juga melihat keberadaan gadis manja itu.
"Kenapa kamu sensi banget sama Liyan?" Gerutu Azfer. Liyan adalah panggilan Azfer pada Aliyana, alasannya supaya ada ciri khas panggilan.
Ali menggaruk bagian belakang kepalanya yang tidak gatal. "Ana tau sih, dulu ana salah karena pacaran. Ana kira, setelah putus Aliyana bakal ikhlasin ana, ternyata nggak toh."
Sebagai pembimbing asrama, Azfer memahami permasalahan anak muda, kadang dia sering jadi tempat curhat anak bimbingnya. Ya ... walaupun ia kadang tegas, tapi itu hanya pada beberapa kondisi saja. Selebihnya, dia orangnya ramah.
Azfer terkekeh kecil. "Kita gak bisa maksain hati sih, Li. Biarin aja waktu berjalan. Dan satu, jangan ketus-ketus amat sama cewek, hatinya lembut, Li," nasihat Azfer.
"Susah sih, Taz. Kalau liat dia caper malah bikin kesel sendiri, kayak otomatis gitu rasa keselnya teh," keluh Ali.
"Banyakin istigfar."
Ali manggut-manggut mengiyakan apa yang disarankan pembimbingnya.
"Hai!" seru seorang wanita yang tengah duduk di kursi tunggu dekat resepsionis.
Kepala dua pria itu mendongak, mata mereka menangkap gadis berkerudung panjang itu sedang menyantap rujak pedas.
"Astagfirullah, Liyan." Azfer bersidekap dengan mata yang sedikit melotot. "Anak asrama kan hari ini gak boleh makan pedes, kamu kok ngelanggar sih?"
Aliyana yang tengah asik menyantap rujak mendadak tersedak. "Uhuk uhuk!"
Azfer membulatkan matanya, ia jadi merasa bersalah telah menganggu muridnya yang sedang asik menyantap makanan. "Eh, minum minum."
Aliyana segera minum air mineral yang sudah ia pesan sebelumnya. Selesai minum, Aliyana langsung menekuk muka. "Ustaz sih ngasih taunya pas aku lagi makan, jadi keselek nih. Panas nih tenggorokan."
Ali geleng-geleng dan menepuk jidatnya. "Hush! Ini Ustaz bukan temen sebaya anti!"
"Eh, maaf Ustaz," lirih Aliyana sambil mengatupkan kedua tangannya.
"Hmm, udahlah. Ayo kita pulang!" ajak Azfer.
"Iya Ustaz."
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Degup ✔️
Espiritual[COMPLETED] Takdir mempertemukan seorang gadis bernama Fatimah Alya Az-Zahra dengan Ali Muhammad Ramdhan, ketika ia menginjakkan kakinya di sebuah Pesantren bernama Ar-Rahman. Pria tersebut begitu tampan, dan suara azannya begitu memikat kaum hawa...