T I G A P U L U H

2.2K 136 3
                                    

Sore ini, Fatimah tengah sibuk di dapur kecil yang berada di samping kamar. Ia sibuk memasak makanan spesial lewat sentuhan jari-jemarinya. Ia menggoreng telur dadar dan juga membuat sayur sup. Ia begitu telaten mengurusi masakan-masakannya sampai tidak sadar kalau Azfer tengah duduk di lantai sambil memperhatikan istrinya.

"Ambil piring," gumam Fatimah yang kemudian berbalik badan.

"Astagfirullah!" pekik Fatimah saat menemukan Azfer tengah duduk di lantai, tadinya ia kira yang duduk di sana adalah makhluk astral yang mau menakutinya, ternyata itu suaminya.

Azfer tertawa puas karena istrinya berekspresi begitu kaget saat melihatnya.

"Aa ih, ngagetin! Sejak kapan Aa di situ?" tanya Fatimah dengan pandangan yang terlihat kesal.

Azfer menghentikan tawanya dan berdiri mendekat ke hadapan istrinya. "Pengen liat istri masak. Gak boleh, ya? Lagian gak bakal dosa kalau aku mandang kamu." Azfer mencubit gemas pipi Fatimah.

"Ish." Fatimah menepis tangan Azfer, kemudian ia mengambil piring di rak.

Azfer cemberut karena sang istri tega menepis tangannya. Ia kecewa pada Fatimah yang berlaku abai seperti itu kepadanya.

"Telurnya takut keburu gosong, jangan godain aku. Aa mau makan sama telur gosong?" ucap Fatimah untuk menghilangkan efek su'uzan dari diri Azfer. Seakan-akan ia cenayang yang tahu kalau Azfer sedang kecewa gara-gara tingkahnya barusan.

Azfer menyunggingkan senyuman. Ternyata, ia telah salah menilai Fatimah. Seharusnya, ia tidak perlu merasa kecewa seperti tadi.

Fatimah mengangkat telur dadar berbentuk bundar yang telah dibagi dua itu ke piring.

"Dek," panggil Azfer yang kini berdiri di samping Fatimah.

"Hm?" tanya Fatimah sambil menaruh piring di atas meja dekat Azfer.

"Lain kali kalau belanja ambil uang di dompet Aa, ya? Jangan kayak tadi," nasihatnya lembut.

Fatimah tersenyum ke arah Azfer setelah mematikan kompor yang menjadi tumpuan sayur sop, ia lekas menghampiri Azfer dan meraih tangannya.

"Iya Aa, tapi jangan ngerasa kemalingan uang, ya?"

"Hmm, iya, atuh," balasnya.

"Yuk, nunggu di sana," ajak Fatimah sambil menunjuk ruang kamar yang menjadi tempat luas satu-satunya di kamar asrama yang kecil ini. "Kalau di dapur, Aa nanti malah khilaf makan masakan aku lagi." Fatimah menunjukkan juluran lidah.

Azfer mengerucutkan bibirnya. "Sembarangan kamu mah, Al."

"Hehehe."

Mereka berdua pun berjalan menghampiri kursi kayu yang berada tepat di sebrang ranjang.

Azfer merasa nyaman, karena Fatimah dari tadi tidak melepaskan tangannya dari lengannya. Bahkan, kini istrinya itu bersandar di bahunya. Apa ini ada sesuatu, ya? Hm, Azfer merasa aneh, dan entah apa itu.

"Tadi Kak Ali nelepon," curhat Fatimah dengan raut wajah cemberut.

Azfer yang mendengar nama Ali di sebut jadi menghela napas. Jujur, ia tidak suka mendengar apa pun tentang orang itu. Rasanya, jika ada yang menyebut namanya, darahnya mendadak mendidih, karena ingat dengan sakit hati dan air mata Fatimah waktu itu.

"Aa gak marah, kan?" tanya Fatimah memastikan suaminya rida dengan yang ia ucapkan.

Tidak ada pilihan lain bagi Azfer selain mengikhlaskan apa yang terjadi. Percuma jika Azfer memarahi, karena itu sudah terjadi. Lalu, jika ia memarahi, Fatimah akan merasa tertekan. Tidak, Azfer tidak ingin hal itu terjadi, ia harus bisa meluruskan tulang yang bengkok dengan pelan dan lembut. Karena, jika dipaksakan tentulah akan patah.

"Nggak, kok," balas Azfer sambil mengelus kepala Fatimah. "Mm ... apa kamu bersikap dekat seperti ini karena Ali?"

Fatimah mengangkat kepalanya, meninggalkan bahu kokoh Azfer. "Kak Ali nasehatin Fatimah soal adab istri pada suami. Katanya, aku harus bisa menyenangkan hati suami, karena setelah menikah rida Allah ada pada ridanya suami."

Sudut bibir Azfer terangkat, menciptakan segurat senyuman bahagia setelah mendengar penjelasan Fatimah. Ternyata, Ali tidaklah seburuk apa yang terlintas di hatinya. Sebagai sahabatnya Fatimah, Ali telah mengingatkan Fatimah akan tugasnya.

Fatimah mengambil kedua tangan Azfer, bola matanya kini saling beradu dengan Azfer. "Aku juga tidak mau mendapat cercaan dari bidadari surga karena menyakiti hati Aa."

Azfer memegang kedua pipi Fatimah dengan lembut. Mata mereka kini semakin beradu, hingga terasa seperti menyelami siratan mata satu sama lain. Bahkan, tanpa sadar, melalui siratan mata itu ada tali hati yang mulai tertambat, hingga degupan mulai terasa di jantung Fatimah.

"Aa senang kamu seperti ini, ya Zaujatii," ucap Azfer.

Rona merah menerpa kedua pipi Fatimah, matanya tidak berhenti berkedip karena memandang mata Azfer, ia benar-benar sudah hanyut dalam indahnya cinta yang tersirat di mata Azfer.

"Aa mau ke kamar mandi dulu, ya. Ambil wudu. Bentar lagi magrib," izin Azfer yang langsung bangkit dari duduknya.

Setelah cukup lama berdiri, tidak ada jawaban apa pun dari sang istri. Azfer pun memutuskan untuk beranjak ke kamar mandi saja karena tidak mau menahan hajat.

Sekian detik kemudian, Fatimah sadar dari lamunannya, ia berkedip dengan senyum lebar yang membuat lesung pipinya terlihat jelas. Ia pun menuju cermin untuk melihat wajahnya. "Itu." Fatimah menunjuk pantulan cermin yang memantulkan bayangan dirinya.

Ia lanjut memegangi kedua pipinya dengan mata yang berbinar dan mulut yang terbuka lebar. "Aaaaa ... berarti aku udah mulai ada rasa. Yes!" Ia begitu bergembira setelah merasakan apa yang dirasa hatinya. Tangannya terkepal kuat dan diarahkannya ke atas. "Alhamdulillah!" Ia meloncat pelan.

Cklek.

Pintu kamar mandi terbuka. Beruntungnya, Azfer membuka pintu setelah Fatimah selesai meloncat. Kalau tidak, Fatimah pasti malu tertangkap basah bahagia seperti itu.

"Udah gak bengong lagi?" tanya Azfer diakhiri kekehan kecil.

"Emmm ... udah ah aku mau wudu." Bukannya menjawab, ia malah mengalihkan pembicaraan dan masuk ke kamar mandi.

Azfer geleng-geleng. "Entah kenapa dia?"

***

Degup ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang