Seusai salat dhuha, Fatimah berjalan dengan langkah kakinya yang gontai. Perasaannya memang sudah lebih baik daripada sebelumnya, hanya saja ada yang masih mengganjal. Pun ia tidak yakin untuk kembali ke kelas, rasanya ia belum siap untuk bertemu dengan orang-orang, apalagi bertemu Malika, Gisti, dan Aghniya. Ia merasa masih butuh ruang untuk melegakan hatinya.
Langkahnya terhenti dan matanya mengambil tugas sebagai penyapu sekitar. Hingga sekian detik berikutnya, ia memutuskan untuk pergi ke perpustakaan. Kebetulan, jadwal hari ini adalah jadwal kunjungan bagi akhwat.
Ya, sekolah ini hanya memiliki satu gedung perpustakaan, oleh karena itulah sekolah ini memiliki kebijakan, kalau jadwal kunjung akhwat dan ikhwan dibedakan. Pesantren ini memang menjaga ketat peraturan, akhwat dan ikhwan hanya dalam beberapa waktu saja bisa bertemu. Saat masuk sekolah, pulang sekolah, dan acara sekolah.
Petugas keamanan di sini menurut Fatimah cukup killer, tapi walau begitu, tetap saja ada yang santai dan tidak acuh peraturan. Salah satunya, pacaran diam-diam di belakang ustaz. Fatimah suka heran sendiri dengan hal itu.
Fatimah lanjut melangkahkan kakinya menuju bangunan menenangkan kedua setelah masjid. Kakinya melangkah melewati wustho' karena letak perpustakaan itu berada di sebelah kantor ruang guru.
Sampai di pintu perpustakaan, ia mendorong pintu itu dan membawa tubuhnya memasuki ruangan beribu buku.
Tunggu!
Fatimah bergeming saat netranya berjumpa dengan netra seorang ikhwan. Apa Fatimah salah jadwal, ya? Tapi, tapi, tapi ia rasa ia tidak salah jadwal, ia sudah hapal betul jadwal kunjungan perpustakaan. Lalu, kenapa wujud pangeran impian Fatimah muncul di sini?
"Fatimah," sapanya yang langsung membuat lamunan Fatimah buyar seketika.
Bola mata Fatimah langsung melirik ke kanan dan ke kiri, karena salah tingkah. Ia tersenyum canggung dengan tangan yang fokus memainkan ujung khimar khas pesantren itu yang panjang sedikit di bawah pusar.
"Kak Ali," balasnya malu-malu.
Kenapa dia ada di sini sih? Fatimah terus menggerutu dalam hatinya. Ia gugup jika berhadapan dengan Ali. Entah mengapa, sepertinya haluannya yang semula hanya main-main saja, kini menjelma menjadi sebuah rasa cinta di hatinya.
"Maaf, ana di sini abis kumpulin buku, kalau mau baca-baca silahkan, ya," ucap Ali dengan ramah.
Ingin rasanya Fatimah berteriak sekencang mungkin. Ucapan Ali begitu ramah dan hangat sekali. Membuat dirinya bak es batu yang meleleh dengan kehangatan yang berada di dekatnya.
"Maaf sudah membuat tidak nyaman, ana permisi assalamu'alaikum," pamit Ali yang kemudian berlalu meninggalkan Fatimah.
Fatimah menggigit bagian bawah bibirnya sambil memejamkan mata. Ia mencoba menetralkan perasaannya yang berdebaran. Kalau ia tidak menetralkan perasannya, bisa-bisa ia berteriak dan mengganggu suasana damai di perpustakaan. Oh, itu tidak boleh terjadi. Image-nya tidak boleh rusak.
"Kamu teh mau diem aja di situ?" tanya ustaz petugas perpustakaan. Diketahui dari nametag-nya, ia bernama Karim.
Fatimah sedikit terbelalak saat mendapat teguran dari ustaz tersebut. Spontan bibirnya membentuk sebuah senyuman canggung, kemudian ia menggeleng pelan. "Eh hehe, mau baca, Ustaz."
...
Bel masuk berbunyi, gadis yang sedari tadi asik membaca kalimat demi kalimat yang tertera di dalam sebuah buku yang ia pilih sebelumnya, kini bangkit dari posisi duduknya. Lalu, ia menutup buku tersebut dan membiarkannya di atas meja itu—sesuai dengan peraturan yang berlaku di sana. Setelah itu, ia pun lanjut berjalan keluar perpustakaan sembari senyum-senyum sendiri. Tingkah orang yang kasmaran, pertemuan singkat yang mungkin saja biasa bagi orang lain, malah membuatnya senyum-senyum seperti itu.
Hmm ... dasar orang jatuh cinta, hal biasa dirasa luar biasa.
"Hei, Dek jangan senyum-senyum mulu."
"Mikirin siapa sih? Awas lho zina pikiran."
Teguran dua kakak kelasnya yang tidak sengaja berpapasan dengannya di koridor lingkungan akhwat, membuat Fatimah mengangguk diiringi perasaan malu. Segera ia beristigfar dalam hati. Rasa cinta memang kadang membuat diri jadi lalai.
Maafin Fatimah, ya Allah.
Fatimah lanjut melangkahkan kakinya setelah menghela napas panjang.
Mulai saat ini, ia harus pandai-pandai menjaga hatinya agar tidak terlalu berlebihan dalam mencintai Ali. Biarlah, rasa ini ada, tapi pikiran tidak boleh mengada-ngada, agar pikiran tentangnya tidak semakin kental. Fatimah harus melatih hatinya agar lebih mantap berharap pada-Nya daripada berharap padanya. Okay, bismillah.
Sampai di kelas, rupanya ustaz yang mengajar pada jam ini belum tiba di kelas. Lega, berarti Fatimah tidak telat masuk kelas.
Ia menghela napas berat sebelum akhirnya melangkahkan kaki menuju tempat duduknya. Setelah sampai di tempat duduk, ketiga temannya yang tadi mendapatkan ungkapan maaf darinya, lekas memfokuskan penglihatannya ke raga Fatimah berada.
"Fatimah, maaf," ucap mereka bertiga kompak.
Spontan Fatimah terkekeh kecil, ia merasa senang sekali menjumpai temannya kompakan seperti itu.
"Kalian gak usah minta maaf, aku yang salah kok," balas Fatimah.
"Jadi, kita temenan lagi, kan?" tanya Aghniya sambil mengulurkan tangannya.
Senyum Fatimah semakin mengembang, ia mengangguk semangat. "Iya, pasti." Tangannya pun terulur menjabat tangan Aghniya.
"Alhamdulillah," ujar Gisti dan Malika kompak.
"Ekhm, permisi." Sedang asik-asiknya mengobrol, tiba-tiba datang tiga orang senior akhwat ke kelas 10-6 itu.
Semua orang di kelas langsung memfokuskan matanya pada tiga senior itu.
"Bismillah, di sini kami mau mengumumkan, kalau minggu depan akan ada acara kamping. Nah, untuk pembayarannya 50 ribu. Kemudian, barang-barang yang harus dibawanya akan dituliskan oleh Teteh ini," intruksinya diakhiri menunjuk pada teman yang berada di sampingya.
"Yha, jarak pengumuman ke hari-H deket banget ya," lirih Fatimah yang mampu didengar oleh Malika.
"Iya sih, dasar emang," timpal Malika.
Beberapa menit kemudian, kakak kelas tersebut pun pergi meninggalkan catatan yang berisikan barang bawaan yang harus dibawa nanti.
"Elah banyak amat."
"Apaan nih deadline-nya juga mepet banget."
"Eh, deadline apaan?"
"Deadline itu, hari terakhir ngumpulinnya, Nyet."
Fatimah geleng-geleng saat mendengar kelasnya jadi riuh. Bahkan, ada yang sampai mengucapkan perkataan yang tidak sopan seperti itu. Astagfirullah.
"Mau ikut, Fat?" tanya Malika.
Fatimah menoleh dengan membawa senyum manisnya. "Insyaallah."
"Gak akan kenapa-kenapa, kan?" Rupanya Malika menaruh kekhawatiran pada Fatimah. Walau Fatimah baru mengenalinya, tetapi Malika seakan sudah mengenal betul mengenai dirinya. Sepertinya, selama ini ia memperhatikan Fatimah. Mungkin, ia takut kejadian yang sama saat masa ta'aruf terulang di acara kamping.
"Hehe, insyaallah, aku kuat," balas Fatimah semangat.
"Amin."
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Degup ✔️
Spiritual[COMPLETED] Takdir mempertemukan seorang gadis bernama Fatimah Alya Az-Zahra dengan Ali Muhammad Ramdhan, ketika ia menginjakkan kakinya di sebuah Pesantren bernama Ar-Rahman. Pria tersebut begitu tampan, dan suara azannya begitu memikat kaum hawa...