D U A P U L U H T I G A

2.1K 141 7
                                    

Kondisi Fatimah belum sepenuhnya pulih. Namun, ia memaksa untuk segera pulang ke kota Dodol untuk bertemu orang tua tercinta. Dirinya ingin memeluk ibunda agar ada sandaran untuknya meluapkan kesedihan selepas hatinya dipatahkan oleh Ali.

"Baru dua hari kamu dirawat, yakin mau pulang?" tanya Aisyah sambil memapah Fatimah menuju ke lobi rumah sakit.

"Yakin, Teh."

Aisyah mengangguk diiringi bubuhan senyum lebar. "Kalau begitu, Teteh nitip ini buat Bapak sama Mamah. Maaf gitu ya, Teteh gak bisa ikut," ucap Aisyah sambil menaruh sebuah amplop putih di telapak tangan Fatimah.

Sebagai seorang anak, walaupun sudah berumah tangga, Aisyah masih suka memberikan sedikit uang untuk diberikan kepada orang tuanya sebagai bentuk baktinya. Ya, memang itu tidak bisa membalas semua jasa orang tuanya, tetapi tidak apa, yang penting dia sudah menjalankan tugasnya sebagai anak, yaitu bil walidaini ihsaana, berbuat baik kepada orang tua.

Fatimah tersenyum dan mengangguk semangat. "Iya Kak, insyaallah aku pasti sampaikan."

Aisyah kini melirik Azfer yang sudah ada di lobi bersama Malik dan juga kedua anaknya.

"Azfer, nitip ya, aku percayakan adekku sama kamu," tutur Aisyah yang kini sudah dengan mantap percaya pada Azfer.

Azfer menarik sudut bibirnya, sehingga tampak lengkungan bulan sabit. Ini pertanda, bahwa Aisyah sudah bisa menerimanya dan menjadikan masa lalunya sebatas kenangan saja. "Insyaallah, ana jaga."

Aisyah mengepalkan tangannya sebagai tanda semangat. "Ganbatte!"

Azfer mengangguk. "Ayo Fatimah, tas kamu ana yang bawa saja ya." Azfer mengenakkan tas ransel milik Fatimah.

Fatimah mengangguk pelan.

"Fii amanillah ya," ucap Aisyah dan Malik kompak.

"Amin," balas Fatimah dan Azfer kompak.

Setelah berpamitan, Azfer dan Fatimah pun pergi meninggalkan rumah sakit dengan kendaraan roda dua.

...

Waktu demi waktu telah berlalu, motor yang dikendarai Azfer kini sampai di jalan Kamojang, artinya mereka sudah sedikit dekat dengan wilayah Garut, tapi masih membutuhkan waktu yang lama untuk sampai ke kecamatan Garut Kota.

Di belakang Azfer, Fatimah merasakan kantuk menyerangnya. Matanya yang sipit bak orang china, semakin tidak terlihat, karena berat menahan mata untuk tetap terjaga.

"Alya, nanti mampir dulu ke tempat ayam bakar langganan Aa, ya? Makan dulu."

Tidak ada jawaban sama sekali dari belakang, sekian detik kemudian Azfer mengernyit. "Alya?"

Dug!

Azfer mendadak merasa tegang ketika keadaan terasa tidak kondusif lagi. Rasa hangat yang berasal dari kepala Fatimah yang tersandar di dekat bahunya membuat Azfer merasa speechless.

Ckit!

Motor berhenti mendadak saat Azfer menekan rem tiba-tiba.

Fatimah kaget, kepalanya hampir saja akan jatuh dari motor. Untung saja, ia masih bisa mengendalikan keseimbangan tubuhnya, kalau tidak ia bisa lecet-lecet.

"Astagfirullah Aa!" pekik Fatimah sambil memegang dada kirinya. Jantungnya hampir lepas karena terkejut.

Azfer mengalihkan tatapannya ke spion yang dapat dilihat oleh Fatimah. "Maafin Aa, Al. Aa tadi kaget pas kamu tiba-tiba tidur di punggung Aa."

Fatimah jadi terpaku. Ia teledor lagi dan menyentuh raga Azfer untuk kesekian kalinya. Astagfirullah, ia memang harus banyak beristigfar karena sudah banyak menyentuh raga yang bukan mahramnya ini.

"M-ma-maaf," ucap Fatimah sambil menggaruk bagian belakang kepalanya yang tidak gatal.

Azfer menggeleng. "Lupakan. Di depan ada jembatan kuning, mau foto di sana gak?" Azfer menunjuk jembatan kuning yang menjadi objek indah daerah Kamojang.

Fatimah menarik sudut bibirnya, matanya pun terlihat berbinar. "Mau ... mau!" Fatimah terlihat begitu antusias, seolah sudah lupa dengan kejadian dua hari lalu. "Biasanya kalau aku lewat sini gak pernah mampir. Soalnya bapak suka bilang, 'buat apa atuh?' jadi aku gak punya kesempatan buat foto deh."

Azfer bahagia, karena Fatimah hari ini sudah bisa terbuka dan ceria lagi. "Okay, Aa bawa motornya ke sana." Azfer lanjut memajukan motornya ke dekat jembatan kuning.

Sampai di jembatan kuning, Azfer memakirkan motornya di sana, kemudian mereka turun dibubuhi dengan senyum semringah.

Pemandangan alam yang indah serta udara yang sejuk, terasa merilekskan perasaan Fatimah yang sedang sakit hati. Fatimah bisa menghirup udara segar di sana, yang lumayan ampuh melegakan perasaannya.

"Kamu pasti merasa rileks, kan?" tanya Azfer yang memandang pemandangan di depannya, disertai tangan yang memegang pembatas besi.

"Iya, alhamdulillah. Kuasa Allah telah menjadikan alam yang indah ini bagi hamba-Nya supaya dijadikan bahan bertafakur dan menghilangkan rasa resahnya," balas Fatimah.

Matanya tidak berhenti mengamati pemandangan alam yang memanjakan mata itu.

"Ayo, Aa foto kamu," ucap Azfer setelah mengeluarkan gawainya dari saku.

Fatimah menarik sudut bibirnya, kemudian mengambil pose.

Ckrek!

Ckrek!

Ckrek!

Setelah puas berfoto-foto ria, Azfer pun menghampiri Fatimah dan menunjukkan kamera depan. Tanpa perlu bertanya, Fatimah sudah paham kalau Azfer ingin mengajaknya berswafoto.

Simpulan senyum terpampang jelas di bibir keduanya, tidak lupa Fatimah menunjukkan dua jarinya sebagai gaya umum yang biasa di tunjukkan orang-orang.

Ckrek!

Selesai berfoto, Azfer memasukkan gawainya kembali ke dalam saku.

"Terima kasih Aa, seneng deh aku, rasanya beban tuh kayak hilang," ungkap Fatimah sembari memandang indahnya pemandangan dan menggenggamkan tangannya pada pembatas besi..

"Alhamdulillah, Alya."

"Walaupun degup cinta itu telah usai, tapi hidupku belumlah usai," lanjut Fatimah.

Azfer ikut memandangi pemandangan. "Alhamdulillah kamu sudah semangat lagi." Ia melirik Fatimah sekilas, bagaimana pun Azfer belum bisa menahan diri untuk tidak curi-curi pandang. "Tapi, degup cinta yang ada di pesantren belum sepenuhnya usai. Ada hati yang belum mendapat kepastian."

Lipatan di dahi Fatimah seketika terlihat. Kemudian, ia pun menoleh kepada Azfer, sehingga matanya dapat melihat jelas raut wajah Azfer yang tersenyum ke arahnya. "Maksudnya?"

Azfer berdiri tegap menghadap Fatimah, wajahnya kini terlihat serius. Tidak perlu ditanya lagi, sudah pasti Azfer akan menjalankan niat baiknya sekarang, "Ana sudah empat tahun ini memendam rasa padamu."

Deg!

"Apa?" lirih Fatimah.

*** 

Degup ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang