"Apa?" lirih Fatimah.
Fatimah mematung di sana. Spontan saja, waktu seakan melambat di saat itu juga. Ia mencoba untuk terus mencerna perkataan Azfer, barangkali ada yang salah dari ucapannya itu. Namun, setelah berulang kali ia mencerna, ucapan yang baru saja dikatakan Azfer tidak ada bedanya, tidak ada yang salah, dan itu terdengar serius.
Raut wajah Fatimah yang semula ceria, kini berubah menjadi datar tak berekspresi. Pikirannya berputar pada kejadian empat tahun lalu. Kejadian di mana ia selalu menceritakan Ali, Ali dan Ali pada Azfer. Kejadian di mana Azfer sering menegurnya ketika dia sedang bersama Ali.
Berarti ... itu bukan hanya sekadar terguran, tapi juga rasa cemburu?
Rasa kaget masih berefek pada diri Fatimah, ia masih diam tidak bersuara walaupun detik telah bergulir cukup lama.
"Alya, ini pasti mengagetkan, kan? Tapi, ini kenyataannya dan ana tidak bisa membohongi perasaan ana sendiri." Azfer lanjut menyuarakan isi hatinya karena Fatimah tidak kunjung bersuara.
"Apa kamu mau menerima Aa sebagai pendampingmu?" tanya Azfer.
Fatimah menghela napasnya panjang, kemudian ia menunduk karena tidak berani menatap lawan bicaranya. "Maaf Aa, sejauh ini aku hanya menganggap Aa sebatas Kakak yang selalu ada untukku. Tapi ...," Fatimah meremas sisi gamisnya dengan sangat erat, "em, sebaiknya kita langsung pulang saja," balas Fatimah yang kemudian melenggangkan kakinya menghampiri motor.
Ia sengaja mengalihkan pembicaraan, karena ia tidak sanggup melihat Azfer sakit hati terlalu dalam. Azfer telah baik sekali padanya selama ini, mana mungkin ia tega mengeluarkan kata yang menyakiti batinnya?
Azfer menghela napas berat saat melihat punggung Fatimah menjauh dari pandangan matanya. Untuk saat ini, ia hanya bisa pasrah dengan keadaan. Ia juga tidak bisa memaksa perasaan Fatimah yang masih mengharapkan Ali untuk menerimanya. Azfer sadar diri, Fatimah masih memerlukan waktu untuk menyembuhkan luka hatinya.
...
Sudah berkilo-kilo meter jalanan yang ditempuh, tapi tidak ada pembicaraan di antara Azfer dan Fatimah. Setelah kejadian di jembatan tadi, mereka tidak ada yang berani untuk membuka suara. Keceriaan yang seharusnya meliputi perjalanan mereka, kini berubah canggung.
Fatimah yang sebelumnya hanya menganggap kepedulian Azfer hanya sebagai kebaikan seorang kakak pada adiknya, kini harus menelan pil kenyataan yang pahit, bahwa Azfer memiliki rasa lain yang bernama cinta. Bukannya ia merasa risi dengan rasa yang dirasakan Azfer, tapi ia menjadi membisu karena merasa bersalah telah membuat Azfer sakit hati selama ini.
Tentulah, rasa sakit hati yang Fatimah rasakan saat ini tidak sepadan dengan apa yang Azfer rasakan selama empat tahun belakangan ini. Oh, sungguh Fatimah benar-benar merasa bersalah kepada pria yang selalu menjadi pahlawannya.
Motor, kini telah sampai di pekarangan rumah Zikri, Azfer menghentikan motornya di sana.
"Turun, Dek," suruh Azfer
Fatimah pun menurut dan turun dari motor, kemudian Azfer pun ikut turun.
"Alya, bagaimana perasaan kamu sekarang?" tanya Azfer dengan sorot mata yang menatap lurus netra Fatimah.
Fatimah mengalihkan matanya ke arah lain, bola matanya melihat ke mana saja yang penting tidak melihat wajah Azfer. "Sepertinya aku harus masuk." Fatimah hendak melangkahkan kakinya menghampiri pintu.
"Berhenti lari dari masalah," cegah Azfer. Alhasil, Fatimah pun berhenti melangkah.
Fatimah menggeleng, karena tidak tahu harus mengatakan apa, ia tidak sanggup mengatakan perasaan yang sebenarnya.
"Coba katakan yang sejujurnya, Dek," pinta Azfer.
Fatimah menghela napasnya, sepertinya memang tidak ada pilihan lain jika sudah begini. Keadaan seolah mengepung Fatimah, hingga ia buntu pada tempat yang hanya menyisakan satu jalan keluar. "Maaf Aa, sudah aku bilang, aku hanya menganggap Aa tidak lebih dari seorang Kakak."
Lagi, tidak ada yang berubah. Ah, entah apa yang Azfer pikirkan, sudah jelas satu jam lalu Fatimah mengatakan dirinya hanya menganggap Azfer sebatas Kakak. Lalu, sekarang Azfer malah mempertanyakan lagi? Uh! Rasanya Azfer terlalu buru-buru. Harusnya, ia mengerti kalau perasaan tidak bisa berubah dalam hitungan jam.
"Ini tas kamu," ucap Azfer sambil menyerahkan barang-barang Fatimah ke empunya.
Fatimah meraihnya sambil tersenyum tipis.
"Terima kasih untuk waktunya, Aa harap kamu bisa mempertimbangkan semuanya." Setelah mengatakan itu, Azfer menaiki motornya kembali dan menghidupkannya.
Fatimah tidak bisa mencegah kepergian Azfer ataupun memintanya untuk singgah dulu sebagai tamu di rumah. Suasananya sedang tidak mendukung, sebaiknya mereka sama-sama menjaraki saja dulu.
...
Azfer tiba di kamar pengurus, ia langsung merebahkan raganya yang lelah itu ke punggung ranjang empuk. Setelah sejenak merenung, ia pun melangkahkan kakinya menuju kamar mandi. Kebetulan, ia belum melaksanakan salat dhuha hari ini. Curhat kepada Sang Pemilik Hati adalah jalan terbaik untuk meredakan kegundahan hati yang tengah ia rasakan.
Seusai salam dan membaca doa, Azfer menengadahkan wajah dan kedua tangannya ke langit. Ia begitu terlihat pasrah dengan keadaan, harapan di hatinya sekarang bertumpu pada Allah.
"Ya Allah, sungguh hamba tidak pernah kecewa dalam berharap kepada-Mu. Hamba mengharapkan seorang pendamping yang namanya sering hamba curhatkan pada-Mu selama empat tahun ini, Fatimah Alya Az-Zahra. Hamba harap, hamba bisa menjalankan ibadah pernikahan bersamanya. Amin."
Selesai sudah ia mengeluarkan keluh kesahnya, ia pun membereskan alat-alat salatnya dan kemudian menaruhnya di atas kasur.
Tringg
Suara gawai Azfer berdering, ia pun mengambil gawai tersebut dan melihat siapa yang telah menghubungi.
"Abi?"
Sepertinya, Alhaq akan menerornya kembali dengan pertanyaan 'kapan nikah?' Ah, Azfer rasanya bosan. Tapi walau begitu, ia tidak bisa mengabaikan panggilan ayahnya, karena dia adalah orang tua yang patut Azfer perlakukan baik.
Azfer menaruh benda pipih itu di telinganya setelah menekan panel hijau. "Assalamu'alaikum, Abi."
"Wa'alaikumussalam. Bagaimana Nak, ada perkembangan?"
Azfer tidak mungkin mengatakan, kalau Fatimah hanya menganggapnya sebagai kakak. Ia harus menutupi semua itu sekarang, biarlah kedepannya yang mau terjadi, terjadilah. Ia menghela napasnya terlebih dahulu. "Abi tunggu saja kabar baiknya nanti."
"Semoga lancar, ya. Abi sama Umi selalu mendoakan yang terbaik." Terdengar suara uminya di sana.
"Umi?" Lengkungan di bibir Azfer kini terukir. "Udah lama gak denger suara Umi."
"Maklum, Umi kamu tuh lagi sibuk pengajian dua minggu ini," balas Alhaq.
"Iya, Fer. Tapi, sekarang udah ada waktu senggang," timpal uminya Azfer —Zainab.
"Alhamdulillah, pokoknya Umi sama Abi tunggu kabar baiknya saja ya."
Semoga nanti ada keajaiban, batin Azfer.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Degup ✔️
Spiritual[COMPLETED] Takdir mempertemukan seorang gadis bernama Fatimah Alya Az-Zahra dengan Ali Muhammad Ramdhan, ketika ia menginjakkan kakinya di sebuah Pesantren bernama Ar-Rahman. Pria tersebut begitu tampan, dan suara azannya begitu memikat kaum hawa...