SATU

7.1K 311 12
                                    

Mentari mulai menampakkan dirinya sedikit demi sedikit ke atas cakrawala yang berbalut awan-awan putih. Benderangnya menyingkirkan sisa-sisa gelapnya langit fajar. Buana yang semula terselimuti suhu dingin, perlahan menghangat karena sinarnya. Karena sinarnya pula, nampak oleh pandangan mata, tetes-tetes embun yang membasahi rerumputan dan dedaunan.

Cicitan burung ikut menyambut kedatangannya sembari mengepakkan sayapnya di udara. Kokokan ayam pun tak mau kalah menyambut sang surya.

Suasana mulai ramai, manusia-manusia keluar dari bangunan kokohnya masing-masing. Mereka mulai mengisi hari dengan rutinitasnya. Mengisi paginya dengan kesibukan yang biasa mereka jalani. Pemandangan anak-anak sekolah tak asing di pandangan mata. Mulai dari yang berseragam putih-merah, putih-biru, putih-abu, dan seragam madrasah yang tak jarang berbeda dengan sekolah-sekolah negeri pada umumnya.

Seorang gadis berseragam putih-biru menapakkan kakinya di atas lapangan sekolah yang berdekatan dengan pintu masuk Pesantren Ar-Rahman. Ia menghirup udara pagi yang jauh dari polusi itu dalam-dalam, lalu menghelanya panjang. Seulas senyumnya terpancar, menyambut lembaran baru di jenjang sekolah yang baru.

Inilah pilihan gadis lulusan SMP Negeri di Kota Intan itu, masuk ke jenjang setara SMA, yaitu jenjang madrasah aliyah.

Ia sudah tahu risiko anak SMP Negeri masuk ke aliyah itu seperti apa. Sebelumnya semua itu telah ia pikirkan dengan matang. Walaupun memang harus tertatih-tatih memahami materi baru yang sudah dipelajari teman-temannya yang berasal dari tsanawiyah, ia tidak masalah. Yang terpenting ia bisa mempelajari ilmu agama di pesantren kecil yang tak jauh dari rumahnya ini.

"Kepada santri dan santriwati yang baru hadir, harap mengambil kartu peserta ke ustaz yang telah ditentukan. Untuk santri ke sebelah kanan, untuk santriwatinya ke sebelah kiri," intruksi seorang ustaz yang menjadi MC sambil menunjuk ke arah yang ia maksudkan.

Mata gadis itu mengikuti ke arah mana telunjuk ustaz itu tertuju. Matanya seketika berbinar saat mengetahui ada pemandangan apik yang membuatnya senyum-senyum sendiri. Ah. Ia memiliki kelemahan, mudah terpesona dengan sosok pria tampan berbalut baju koko dan peci.

"Astagfirullah," gumam gadis itu yang kemudian menundukkan pandangannya.

Ia mulai melangkahkan kakinya mendekati meja pengambilan kartu peserta acara ta'aruf, atau yang biasa dikenal di sekolah umum dengan masa orientasi sekolah.

"Ustaz, saya Fatimah." Gadis itu mengatakan namanya setelah tiba di kerumunan orang-orang yang juga ingin mengambil kartu peserta.

Keduanya masih sibuk melayani yang lain.

"Saya Fatimah, Ustaz."

"Sebentar, ya," balas yang satu terlihat ramah. Namun, yang satunya lagi malah melirik Fatimah dengan mata yang sinis. Fatimah jadi mendengkus melihat pemandangan tidak mengenakkan itu.

Menit demi menit berlalu, kerumunan yang tidak terantre ini tidak mau mengalah, bukannya menyurut malah semakin membludak. Ditambah matahari yang mulai meninggi, membuat rasa gerah menghampiri. Fatimah sampai menggibas-gibaskan tangannya ke hadapan wajah gara-gara kegerahan ini.

"Ustaz, saya Fatimah Alya Az-Zahra." Fatimah bersuara lantang kembali.

Spontan saja, ustaz yang ramah kepada Fatimah tadi langsung meliriknya dengan tatapannya yang membulat. "A-Al-Alya?"

Fatimah mengerutkan dahinya, ia aneh dengan ustaz satu itu malah mengucap nama tengahnya, itupun dengan gugup. Apakah ustaz itu tidak salah makan?

"Az, layanin dulu dia, ini udah mau mulai acara. Harus segera selesai," titah temannya yang berekspresi datar.

Degup ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang